Abu Bakar As-Shidiq – Sahabat Sejati Rasulullah dan Pemimpin Umat

Abu Bakar As-Shidiq – Sahabat Sejati Rasulullah dan Pemimpin Umat
Seri 6: Penaklukan Mekah – Perjalanan Abu Bakar Kembali ke Tanah Kelahirannya
Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang, Sekretaris Korps Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah, & Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang)
PWMJATENG.COM – Matahari belum tinggi saat angin gurun berhembus lembut menyapu tenda-tenda pasukan Muslim yang berkemah di sekitar Madinah. Di dalam salah satu tenda utama, Abu Bakar As-Shidiq duduk bersama Rasulullah. Ada ketegangan yang terasa di udara, bukan karena kecemasan, melainkan antisipasi akan sesuatu yang besar.
Perjanjian Hudaibiyah telah berlangsung hampir dua tahun. Sejak saat itu, Islam berkembang dengan pesat. Banyak tokoh Quraisy yang dulunya menentang, kini memeluk Islam. Namun, ada satu hal yang membuat hati kaum Muslimin membara—kaum Quraisy melanggar perjanjian dengan menyerang Bani Khuza’ah, sekutu kaum Muslimin.
Rasulullah tahu bahwa pelanggaran ini tidak bisa dibiarkan. Quraisy sendiri datang dalam ketakutan ke Madinah untuk meminta perpanjangan perjanjian, tetapi mereka datang dengan tangan kosong, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki kesalahan mereka. Rasulullah pun memutuskan, sudah saatnya Mekah kembali ke tangan yang berhak.
Persiapan Menuju Mekah
Rasulullah menginstruksikan seluruh pasukan Muslim untuk bersiap. Tidak ada teriakan perang, tidak ada genderang pertempuran yang menggema. Semua dilakukan dengan rapi dan tenang. Kali ini, bukan perang yang diinginkan Rasulullah, tetapi kemenangan tanpa pertumpahan darah.
Abu Bakar berada di tengah persiapan itu. Sebagai salah satu sahabat terdekat Rasulullah, ia menjadi bagian penting dalam strategi perjalanan ini. Dengan pasukan berjumlah 10.000 orang—jumlah terbesar yang pernah dikumpulkan dalam sejarah Islam saat itu—Rasulullah bergerak menuju Mekah.
Satu hal yang menarik, pergerakan pasukan ini dirahasiakan dengan baik. Rasulullah tidak langsung mengumumkan tujuan mereka, bahkan kepada pasukan sendiri. Hal ini dilakukan agar kaum Quraisy tidak memiliki waktu untuk bersiap melakukan perlawanan yang dapat berujung pada pertumpahan darah.
Abu Bakar, yang telah berusia lebih dari lima puluh tahun, tetap bergerak dengan semangat seorang pemuda. Ia tidak hanya bertindak sebagai penasihat Rasulullah, tetapi juga sebagai pengingat bagi kaum Muslimin agar tetap menjaga sikap mereka selama perjalanan.
Masuknya Pasukan Islam ke Mekah
Setelah menempuh perjalanan panjang, pasukan Islam akhirnya tiba di pinggiran kota Mekah. Abu Bakar berdiri di dekat Rasulullah, menyaksikan pemandangan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan—kota suci yang selama bertahun-tahun menindas kaum Muslimin, kini berada dalam genggaman Islam.
Namun, Rasulullah tidak ingin masuk dengan cara yang kasar. Beliau membagi pasukan ke dalam beberapa kelompok dan memberi perintah tegas:
“Jangan menyerang kecuali jika kalian diserang. Jangan menyakiti siapa pun yang tidak mengangkat senjata. Barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, ia aman. Barang siapa yang tetap berada di dalam rumahnya, ia aman. Barang siapa yang berlindung di dalam Masjidil Haram, ia aman.”
Abu Bakar, seperti biasa, memahami kebijaksanaan Rasulullah. Ia tahu bahwa kemenangan sejati bukanlah melalui pertumpahan darah, tetapi melalui hati yang terbuka untuk kebenaran.
Saat pasukan Islam memasuki kota, hampir tidak ada perlawanan yang berarti. Sebagian besar penduduk Mekah memilih bersembunyi di rumah mereka. Beberapa pemimpin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, akhirnya menerima kenyataan bahwa Mekah telah ditaklukkan.
Air Mata Abu Bakar di Depan Ka’bah
Setelah kota benar-benar dalam kendali kaum Muslimin, Rasulullah berjalan menuju Ka’bah. Abu Bakar mengikutinya dengan langkah yang penuh haru. Ia melihat Rasulullah memegang kunci Ka’bah, lalu masuk ke dalamnya bersama beberapa sahabat terdekat.
Baca juga, Muhammadiyah Siapkan Ribuan Titik, Berikut Lokasi Salat Idulfitri Tahun 2025 se-Jawa Tengah
Di dalam Ka’bah, patung-patung berhala yang dulu diagungkan oleh kaum Quraisy masih berdiri. Dengan tangannya sendiri, Rasulullah menghancurkan berhala-berhala itu, sambil membaca firman Allah:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: ‘Telah datang kebenaran, dan telah lenyap kebatilan.’ Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra: 81)
Abu Bakar menundukkan kepalanya, matanya basah oleh air mata. Ini adalah momen yang tidak pernah ia bayangkan bisa terjadi dalam hidupnya. Dulu, ia dan para sahabat harus bersembunyi saat beribadah. Dulu, ia melihat Rasulullah dihina dan dicaci oleh penduduk Mekah. Sekarang, Islam tegak dengan penuh kehormatan di tanah kelahirannya sendiri.
Pemaafan yang Menggetarkan Hati
Setelah membersihkan Ka’bah dari berhala, Rasulullah berdiri di hadapan masyarakat Mekah yang berkumpul dengan ketakutan. Mereka tahu bahwa di masa lalu mereka telah menyakiti kaum Muslimin. Mereka telah mengusir, menyiksa, dan bahkan membunuh banyak pengikut Islam. Kini, mereka berada di bawah kekuasaan Islam.
Namun, apa yang Rasulullah lakukan? Dengan suara penuh kasih sayang, beliau berkata:
“Wahai penduduk Mekah, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan kepada kalian?”
Mereka terdiam. Lalu, dengan suara penuh harap, mereka menjawab: “Engkau adalah saudara kami yang mulia, putra saudara kami yang mulia.”
Rasulullah tersenyum, lalu berkata:
“Pergilah, kalian semua bebas.”
Kata-kata itu menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya, termasuk Abu Bakar. Ini adalah kemenangan sejati Islam—kemenangan dengan kasih sayang, bukan kebencian.
Abu Bakar dan Masuk Islamnya Ayahnya
Di tengah kebahagiaan itu, ada satu peristiwa yang membuat hati Abu Bakar semakin bersyukur. Ayahnya, Abu Quhafah, yang sudah tua dan hampir buta, akhirnya memeluk Islam.
Abu Bakar sendiri yang membimbingnya menemui Rasulullah. Ketika Abu Quhafah mengucapkan syahadat, air mata Abu Bakar jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia teringat bagaimana dulu ayahnya menentang Islam, bagaimana keluarganya pernah dipecah oleh perbedaan keyakinan. Kini, semua telah berubah.
Rasulullah pun tersenyum dan berkata kepadanya:
“Seharusnya engkau tidak perlu membawa ayahmu ke sini. Aku yang akan mendatanginya.”
Tetapi Abu Bakar, dengan rendah hati, hanya berkata, “Wahai Rasulullah, lebih pantas baginya untuk datang sendiri menghadapmu.”
Kemenangan Islam di Mekah bukan hanya sekadar penaklukan kota, tetapi juga penaklukan hati. Kaum Quraisy yang dulu menentang, kini berbondong-bondong memeluk Islam. Dan Abu Bakar, dengan segala ketabahannya, menyaksikan bagaimana perjuangan bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa.
Namun, perjalanan Islam belum selesai. Masih ada tantangan yang lebih besar di hadapan mereka. Dan Abu Bakar, sahabat setia Rasulullah, akan tetap berada di samping beliau, menjalani setiap ujian dengan keimanan yang teguh.
(Bersambung ke Seri 7 – Perang Hunain: Ujian Keimanan di Medan Perang)
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha