
PWMJATENG.COM – Pada suatu kesempatan, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Muhammad Abduh Hisyam, menyampaikan pandangan mendalam tentang sosok Nabi Muhammad ﷺ. Ia menekankan bahwa Rasulullah bukan hanya seorang nabi dalam arti spiritual, melainkan juga seorang negarawan yang luar biasa.
Menurut Abduh Hisyam, dalam sejarah kenabian, sangat sedikit nabi yang memiliki kekuasaan politik. Sebagian besar nabi, seperti yang dikenal, hidup dalam tekanan penguasa dan lebih dekat kepada kaum miskin. Namun, Nabi Muhammad ﷺ berbeda. Beliau adalah sosok yang memimpin masyarakat, mengelola kekuasaan, dan menggunakan politik sebagai sarana dakwah. Hal ini menunjukkan bahwa mengelola kekuasaan untuk tujuan kebaikan adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam.
“Berdakwah menggunakan kekuatan politik tidak masalah, bahkan sering kali lebih efektif,” ungkapnya.
Seorang profesor terkemuka dari Universitas Edinburgh, Montgomery Watt, banyak menulis tentang hal ini. Buku-bukunya menjadi rujukan penting dalam studi Islam di berbagai perguruan tinggi, termasuk di Indonesia. Watt menggambarkan Rasulullah ﷺ sebagai sosok berempati yang memahami dinamika sosial dan spiritual, serta mampu mengelola kekuasaan dengan adil.
Dalam sejarah, hanya beberapa nabi yang berkuasa secara politik, seperti Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Nabi Dawud ‘alaihissalam membangun Kerajaan Israel Raya di Bukit Zion, sementara Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membangun tempat peribadatan yang dikenal sebagai Masjidil Aqsha. Namun, Nabi Muhammad ﷺ lebih istimewa: beliau memimpin bukan untuk mewariskan kekuasaan kepada keturunannya, melainkan untuk mengajak umat kepada keimanan dan akhlak mulia.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ”,
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari)
Baca juga, Abduh Hisyam: Bulan Suci Ramadan Momen Memperkuat Kepedulian Sosial
Sebelum kenabian, masyarakat Arab dikenal dengan kedermawanannya. Namun, menjelang kelahiran Nabi, muncul kecenderungan bakhil dan kompetisi memperkaya diri tanpa memperhatikan maslahat sosial. Melihat kondisi ini, Nabi bertugas mengembalikan nilai-nilai luhur tersebut, bukan semata-mata merebut kekuasaan.
Selain itu, Rasulullah ﷺ dikenal memiliki modal sosial yang kuat: kejujuran, kelembutan, serta hubungan kekerabatan dengan penduduk Yatsrib (Madinah). Ketika masyarakat Aus dan Khazraj di Madinah mengundang beliau, mereka tidak hanya menginginkan dakwah, tetapi juga kepemimpinan yang bisa menyatukan mereka.
Allah Swt. kemudian menurunkan izin untuk berperang demi membela diri. Allah berfirman,
“وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ”
“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)
Perang yang diizinkan bukanlah untuk agresi, melainkan murni defensif. Rasulullah ﷺ mendirikan sebuah negara kota yang pluralis di Madinah, di mana kaum Muslimin, Yahudi, dan bahkan kaum musyrik hidup berdampingan dalam perjanjian sosial, yang dikenal sebagai Piagam Madinah.
Abduh Hisyam mengungkapkan bahwa Piagam Madinah menjadi miniatur ideal hubungan antarumat beragama. Nabi Muhammad ﷺ berhasil menyatukan berbagai kelompok dengan prinsip keadilan, kasih sayang, dan saling menghormati, bukan semata-mata kesamaan akidah.
Ia menekankan, generasi muda saat ini harus meneladani kepemimpinan Rasulullah ﷺ. Mereka perlu membangun kapital (modal sosial dan ekonomi), habitus (kebiasaan luhur), dan kesiapan memasuki arena sosial-politik untuk berkontribusi membangun masyarakat.
“Pemimpin itu harus punya modalitas kuat, bukan sekadar kekuasaan, tapi juga akhlak dan empati seperti yang dicontohkan Rasulullah,” tutup Abduh Hisyam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha