Sastra

Pesta Perang di Tanah Jawa

Pesta Perang di Tanah Jawa

Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Penasehat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang, Sekretaris Korps Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah, & Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang)

PWMJATENG.COM – Suara dentuman genderang perang telah reda. Kota Daha, yang semalam diliputi pekik pertempuran, kini berubah menjadi medan pesta. Pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese tertawa lepas, meneguk arak tanpa henti, merayakan kemenangan mereka atas Kerajaan Kediri. Mayat-mayat musuh yang terkapar di medan laga menjadi saksi bisu keangkuhan pasukan Kekaisaran Yuan.

Di antara mereka, duduklah Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, wajah mereka tenang, tangan mereka memegang gelas perak berisi arak. Keduanya ikut berpura-pura menikmati kemenangan ini. Padahal, jauh di dalam hati mereka, strategi balas dendam telah dirancang.

“Orang-orang Mongol ini begitu pongah,” bisik Arya Wiraraja, matanya melirik ke sekeliling.

Raden Wijaya meneguk sedikit araknya, lalu berkata pelan, “Kita harus segera bertindak sebelum mereka menyadari apa yang akan terjadi.”

Malam itu, di tengah kegembiraan dan perut yang dipenuhi anggur, Raden Wijaya mendekati Ike Mese.

“Jenderal, aku dan pasukanku harus kembali ke Tarik,” ucapnya dengan penuh hormat.

Ike Mese mengangkat alisnya. “Kembali? Untuk apa?”

“Kami ingin menyiapkan upacara penyerahan diri dengan layak,” jawab Raden Wijaya. “Majapahit kini berada di bawah naungan Kekaisaran Yuan. Kami ingin menunjukkan kepatuhan kami dengan cara yang benar.”

Ike Mese, yang tengah mabuk kemenangan, menganggap permintaan itu masuk akal. Ia tidak mencium gelagat pengkhianatan.

“Baiklah,” katanya, menepuk bahu Raden Wijaya. “Aku akan mengirim seratus prajuritku untuk mengawal kalian.”

Raden Wijaya membungkuk hormat. Dalam hati, ia tersenyum sinis.

Di perjalanan menuju Tarik, suasana hening. Para prajurit Mongol yang mengawal Raden Wijaya sama sekali tak menyadari bahwa mereka sedang berjalan menuju kematian.

Baca juga, Mengelola dan Mendayagunakan Potensi Derma Agama: Studi Komparatif antara Zakat Islam dan Konsep Derma Agama Lain

Di antara pepohonan, pasukan Majapahit telah bersiaga. Sora dan Ranggalawe memimpin barisan prajurit yang menyelinap dalam kegelapan. Mereka menahan napas, menunggu aba-aba dari Raden Wijaya.

Begitu rombongan Mongol masuk ke titik penyergapan, Raden Wijaya mengangkat tangannya. Seketika, dari segala arah, prajurit Majapahit muncul. Panah berdesing di udara, menancap di dada dan leher prajurit Mongol. Jeritan pertama terdengar, disusul pekik panik lainnya.

Pedang beradu dengan tombak. Darah membasahi tanah. Mongol yang tersadar mencoba melawan, tapi mereka terpojok.

Sora menebas seorang prajurit Mongol dengan sekali ayunan. Ranggalawe menusukkan tombaknya ke perut lawan, lalu menariknya kembali dengan kasar.

Dalam waktu singkat, seratus prajurit Mongol habis tak bersisa.

Raden Wijaya menghela napas panjang. “Satu langkah selesai,” gumamnya. “Kini, kita habisi yang lainnya.”

Di Daha, pasukan Mongol masih berpesta. Mereka tak sadar bahwa sekelompok besar pasukan Majapahit dan Madura telah bergerak ke arah mereka.

Menjelang fajar, serangan dimulai.

Teriakan perang menggema di udara. Dari segala penjuru, prajurit Majapahit menyerbu perkemahan Mongol. Pedang-pedang berkilatan dalam cahaya fajar, membelah tubuh-tubuh yang masih setengah sadar akibat pesta semalam.

Pasukan Mongol kocar-kacir. Beberapa mencoba mengambil senjata, tapi terlambat. Raden Wijaya sudah memperhitungkan segalanya.

Ike Mese, yang terbangun oleh suara jeritan anak buahnya, bergegas keluar dari tendanya. Matanya melebar melihat pasukan Majapahit membantai tentaranya.

“Pengkhianatan!” pekiknya marah.

Namun tak ada yang bisa dilakukannya.

Arya Wiraraja dan pasukannya menekan dari satu sisi, sementara Raden Wijaya memimpin serangan dari sisi lain. Mongol yang tersisa hanya bisa lari, mencoba menyelamatkan diri.

Mereka berusaha menuju kapal, tapi Raden Wijaya telah mengantisipasi hal itu. Di sebuah candi di dekat pantai, tentara Mongol disergap.

Panah-panah meluncur. Tombak menancap di tubuh mereka. Sisa pasukan Mongol yang bisa bertahan tak punya pilihan selain kabur secepat mungkin ke kapal mereka.

Dengan sisa tenaga, Ike Mese dan beberapa tentaranya berhasil mencapai kapal. Namun, mereka tidak membawa kemenangan. Mereka kembali ke negerinya dengan tangan kosong, meninggalkan tanah Jawa yang telah menolak kehadiran mereka.

Di atas bukit, Raden Wijaya memandang ke laut. Kapal-kapal Mongol semakin jauh, lenyap di cakrawala.

“Kita berhasil,” ujar Arya Wiraraja.

Raden Wijaya mengangguk. “Tapi ini baru permulaan. Kita harus membangun sesuatu yang lebih besar.”

Di bawah langit pagi, Majapahit lahir. Sebuah kerajaan yang akan bertahan selama berabad-abad, membawa kejayaan bagi Nusantara.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE