Menyelami Pemikiran Sang Muazin Bangsa
Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)
PWMJATENG.COM – “Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia. Bahkan, dengan penuh kebanggaan, rasa syukur tetap menyertai kehidupan saya yang kini berusia 76 tahun. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak melihat perkembangan Tanah Air yang begitu jauh dari cita-cita kemerdekaan.” – Buya Syafii Maarif, Bulir-Bulir Refleksi Seorang Mujahid.
Membaca tulisan, apa pun topiknya, selalu membawa kita berselancar ke dalam alur pemikiran penulis. Beberapa bulan lalu, saya membaca buku berjudul Bulir-Bulir Refleksi Seorang Mujahid karya Buya Syafii Maarif (Allah yarham) yang diterbitkan oleh Kompas. Buku ini berisi coretan tinta yang begitu mendalam, mengajak pembaca untuk memahami perjalanan bangsa, mulai dari era pra-kemerdekaan hingga reformasi.
Problematika Bangsa yang Terus Menghantui
Dalam buku tersebut, Buya Syafii memaparkan berbagai isu yang membayangi bangsa ini, seperti problematika keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Perjalanan Indonesia penuh dengan tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Pasca-kemerdekaan, Indonesia menghadapi agresi militer dan pemberontakan yang mengancam eksistensinya. Pemerintah Soekarno-Hatta bahkan harus membentuk Pemerintahan Darurat Indonesia yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Setelah stabil, bangsa ini kembali diuji oleh penguasa yang masih terjebak dalam perilaku kolonialisme. Kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sering kali mengorbankan rakyat. Etika politik para elite jauh dari kenegarawanan, sementara sumber daya alam yang melimpah justru dieksploitasi untuk kepentingan segelintir pihak.
Harapan di Tengah Keterpurukan
Meski demikian, Buya Syafii tetap optimistis. Ia percaya bahwa dari 279 juta penduduk Indonesia, masih ada pemimpin yang berpolitik dengan sikap kenegarawanan. Buya mengajak masyarakat Muslim, sebagai mayoritas, untuk menjadi pionir dalam membangun bangsa yang adil dan beradab. Ego pribadi, kelompok, dan golongan harus dikesampingkan demi kebersamaan. Nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan kebangsaan perlu dihidupkan kembali, terutama di era digital yang penuh tantangan.
Baca juga, Digelar Akhir Pekan Ini, Musypimwil Jateng Dihadiri Berbagai Pejabat Tinggi Negara
Menurut Buya, masyarakat Indonesia harus saling mendukung, menjunjung nilai kemuliaan manusia yang sejati. Dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat, Allah berfirman, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Oleh karena itu, Buya menekankan pentingnya keseimbangan antara hati, pikiran, dan tindakan.
Sang Muazin Bangsa
Buku ini mencerminkan keresahan dan perenungan mendalam Buya Syafii terhadap problematika bangsa. Sebagai sosok yang dianugerahi kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional, Buya mengingatkan bahwa manusia harus menyelaraskan hati, pikiran, dan tindakan. Dengan panduan nilai-nilai keislaman, keumatan, dan keindonesiaan, Buya mengajak bangsa ini menuju kemerdekaan hakiki.
Sebutan “Muazin Bangsa” melekat pada Buya Syafii karena kesederhanaannya dan seruannya untuk memperjuangkan keadilan, toleransi, serta kemanusiaan. Meski sering menghadapi kritik dan cercaan, Buya tetap teguh pada prinsipnya. KH Mustofa Bisri (Gus Mus) bahkan menyebut Buya sebagai wali Allah karena keberaniannya menyuarakan kebenaran tanpa pamrih.
Warisan untuk Generasi Penerus
Sebagai generasi penerus, kita wajib menjaga warisan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan Buya Syafii. Meski manusia tidak luput dari kesalahan, kita harus mengambil pelajaran dari nilai-nilai yang baik. Dengan menjaga moral, adab, dan akhlak, kita dapat membangun bangsa yang beradab dan bermartabat.
Buya Syafii bukan hanya milik keluarga atau Muhammadiyah, tetapi guru bangsa yang menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Semangat dan ajarannya akan terus hidup, menjadi inspirasi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha