Kajian Tafsir Al-Qur’an: Pesan untuk Tidak Mudah Menghakimi Sesama Muslim
PWMJATENG.COM, Surakarta – Setiap Kamis, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan Kajian Tafsir Al-Qur’an yang rutin dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting. Kegiatan ini wajib diikuti oleh seluruh tenaga pendidik (tendik), dosen, serta sivitas akademika UMS, dimulai pukul 12.30 hingga 13.30 WIB.
Pada pertemuan yang berlangsung pada Kamis, 5 Desember 2024, kajian dibawakan oleh Ainur Rha’in. Seperti biasa, acara diawali dengan mengaji bersama. Dalam pengantar pembukaannya, Ainur mengutip sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, “Rasulullah SAW menganggap orang yang mengkaji Al-Qur’an bersama-sama itu bagaikan kepingan taman-taman syurga yang diturunkan oleh Allah SWT ke bumi.” Ungkapan ini menggambarkan betapa besar nilai ibadah dalam memperdalam pemahaman terhadap kitab suci Al-Qur’an.
Selanjutnya, Ainur memulai pembahasan dengan melanjutkan materi dari pekan sebelumnya, yakni tentang turunnya Surah Al-Alaq ayat 9. Menurut Ainur, ayat tersebut diturunkan ketika Abu Jahal dengan sombong berusaha menginjak tengkuk Nabi Muhammad SAW yang sedang salat. Abu Jahal, yang dikenal sebagai salah satu tokoh Quraisy yang sangat memusuhi dakwah Islam, berkata penuh kesombongan di hadapan pemuka Quraisy, menentang Nabi Muhammad yang sedang melaksanakan ibadah.
“Yang dimaksud di sini adalah Abu Jahal yang melarang Nabi Muhammad ketika salat,” jelas Ainur, yang kemudian melanjutkan penjelasannya mengenai konteks sejarah yang mendasari turunnya ayat tersebut.
Ainur juga mengungkapkan bahwa dalam kisah tersebut, meskipun di sekitar Ka’bah terdapat berhala, Nabi Muhammad tetap menghadap kiblat untuk salat. Pada masa itu, penghapusan berhala bukanlah hal yang mudah dilakukan, mengingat kekuatan Quraisy yang sangat besar. Barulah pada 21 tahun kenabian, pengaruh berhala dapat dihancurkan. “Itu artinya apa? Dakwah butuh proses,” tegas Ainur, mengingatkan pentingnya kesabaran dalam berjuang di jalan Allah.
Baca juga, Download Keputusan Tanwir Muhammadiyah Tahun 2024 di Kupang
Salah satu bagian menarik dalam kajian ini adalah penjelasan Ainur mengenai penyebutan nama Abu Jahal dalam sejarah Islam. Ainur menegaskan bahwa meskipun Abu Jahal dikenal sebagai tokoh yang menentang keras dakwah Nabi Muhammad, ia sebenarnya adalah seorang yang cerdas. Namun, karena kebenciannya terhadap kebenaran, ia menjadi simbol kebodohan. “Abu Jahal bukan karena dia bodoh, dia sebenarnya pintar. Tapi, dia disebut sebagai bapaknya kebodohan karena meskipun sudah beberapa kali menyaksikan mukjizat Al-Qur’an, hatinya tetap keras,” kata Ainur, mengenang kisah Abu Jahal yang tidak pernah jera meskipun telah diberi banyak peringatan.
Ainur melanjutkan ceritanya dengan menceritakan bagaimana pada saat-saat terakhir hidupnya, Abu Jahal tetap menunjukkan sikap sombong dan tidak menyesal. “Bahkan, di tengah kesekaratannya, ketika mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan umat Islam memenangkan Perang Badar, dia masih tertawa,” ungkap Ainur, yang menekankan bahwa sikap sombong itu membuatnya semakin terpuruk dalam kesesatan.
Pesan yang sangat kuat disampaikan Ainur pada akhir kajian tersebut. Ia mengingatkan bahwa sikap iri dan dengki tidak boleh membuat kita melarang sesama Muslim untuk beribadah, mendirikan lembaga pendidikan, atau berdakwah dengan alasan klaim agama. Meskipun ayat ini diturunkan pada masa Nabi Muhammad untuk menghadapi tindakan Abu Jahal, Ainur menegaskan bahwa pesan ayat ini berlaku untuk semua umat Muslim di masa kini.
“Jangan mudah menahan atau menyalahkan orang lain sebelum kita benar-benar memahami masalahnya. Jika memang seseorang salah, maka kita wajib menegurnya. Namun, jangan sampai kita cepat menghakimi tanpa dasar yang jelas,” pesan Ainur, menekankan pentingnya sikap bijak dan adil dalam melihat perbedaan.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha