Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Oleh : Abi Ramadhan As-Samarani
Bagian 7
Fajria Mengadukan Yadi
Waktu makan malam, kebetulan Haryanto berada di rumah. Tidak setiap hari ia bisa makan malam di rumah. Terkadang pagi di rumah, baru dua hari kemudian bisa pulang. Posisinya sebagai pejabat di BUMN membuatnya harus bekerja maksimal agar mendapatkan keuntungan saat pelaporan.
Fajria melayani suaminya pada waktu makan malam. Ia melaporkan kondisi Yadi pada suaminya itu.
“Pa, ini lho, anak kita Yadi. Sekarang tingkahnya semakin aneh!”
Mendengar ucapan istrinya, Haryanto menghentikan makannya sebentar sambil menatapnya “Aneh, bagaimana, Mah?”
“Papa kan tahu. Yadi ini anaknya agak Badung. Kerjaannya kongkow-kongkow dan kebut-kebutan. Kadang agak cuek dengan Mamanya. Tapi akhir-akhir ini, ia agak tertutup, jarang bergaul dengan gengnya, dan banyak mengurung diri di kamar pada alam hari. Pada waktu sore, entah ia menghilang ke mana, bahkan teman-teman akrabnya tidak tahu. Tolong dong Papa bantu untuk mengawasi atau berbicara dengan anak kita itu, ya! Mama, merasa khawatir kalau dia kenapa-kenapa.” Pinta Fajria.
“Mama kan tahu, Papa ini sibuk. Hari ini Papa haru bertugas ke luar Provinsi, mungkin sampai tiga hari” Haryanto menjawab sambil meraih gelas minuman. “Apa hal begitu, Mama tidak bisa mengatasi sendiri. Anak laki-laki biasanya lebih terbuka dengan Mamanya?” Jawab Haryanto sembari mengembalikan penyelesaian masalahnya kepada Fajria.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (1)
“Jangan begitulah, Pa! Yadi itu anak kita berdua. Anak laki-laki meski dekat dengan mamanya, tetap saja butuh figur ayah. Lagi pula, soal pendidikan anak itu menjadi kewajiban kita berdua, bukan kewajiban mama saja, toh! Kalau Mama tidak khawatir dengan perkembangannya akhir-akhir ini, tentu Mama tidak akan melapor pada Papa,” kata Fajria dengan kesal karena suaminya kembali menganggap enteng urusan anak.
“Lah, trus apa masalahnya, Mah. Anak remaja yang beranjak dewasa memang dalam proses mencari jati diri dan suka bersosialisasi dengan teman sebaya. Jika Yadi sekarang semakin berkurang tingkahnya dan jarang keluyuran, kan malah bagus, menurut Papa!” Jawab Haryanto. “Harusnya Mama lebih senang kalau Yadi berada di rumah malam-malam daripada begadang tidak karuan.”
“Bukan itu masalahnya, Pa!” Seru Fajria. “Mama khawatir kalau dia terkena pengaruh asing yang tidak kita tahu. Bagaimana kalau dia ikut kegiatan terlarang, subversif, atau kejahatan!? Itu, yang Mama takutkan!?” Suara Fajria semakin meninggi karena Haryanto tampak sulit memahami kekhawatirannya. Ia tidak habis piker bagaimana suaminya kini begitu abai terhadap perkembangan anak dan memandang itu semua urusan istri, padahal istri sudah mengurus segala urusan rumah.
Haryanto memandang Fajria dengan serius. “Nah, apa Mama sudah langsung bertanya pada Yadi tentang kegiatannya? Kemana dia sekarang?”
“Yadi sedang tidak di rumah, Pa. Secara singkat, Mama sudah pernah menanyainya. Tapi dia bilang: ‘Tidak perlu khawatir!’ katanya ia baik-baik saja! Gitu, Pa!” Jawab Fajria sambil mengambil nasi. “Jawaban anak-anak kita selalu terdengar enteng saja kalau ditanya oleh mamanya.”
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (2)
Tiba-tiba, “Hai Pa, Hai Mam!” Ratri berlari kecil mendekati keduanya. “Wah, tumben nih Papa dan Mama kompak!” Olok Ratri sambil mendekat dan duduk di kursi dekat Mamanya.
“Hus, kamu anak kecil sok tahu!” Kata Fajria dengan nada tinggi.
Tetapi Ratri tidak terlalu menanggapi dan memilih untuk meraih kue-kue di atas meja lalu memakannya.
“Mam, minta minuman hangat dong!” Pinta Ratri tanpa memandang ke arah Mamanya.
“Kamu itu! Ambil sendiri! Anak gadis, sudah besar kok tidak tahu tempat minuman!” Jawab Fajria dengan jengkel.
“Hehehe…Uah, Mama. Gitu saja kok sewot!” Balas Ratri dengan santainya, seraya beranjak ke tempat minum.
Haryanto yang sedang makan hanya menyaksikan peristiwa itu tanpa bertindak apa-apa. Baginya, sepanjang ia sudah memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membiayai anak-anaknya bersekolah di sekolah favorit, maka tugasnya selesai. Masalah perilaku anak, bukan bagiannya karena ia merasa sudah bekerja keras.
“Ratri, kemana kakakmu sekarang?” Tanya Fajria. Bagaimana tugas yang Mama berikan. Apa sudah ada hasil?”
“Tugas apaan, Mam? Perasaan Mama tidak memberi tugas sesuatu pada Ratri?” Ratri memandang mamanya dengan bengong.
“Haduh, bagaimana sih! Kan, Mama memintamu untuk mencari kabar lingkungan pergaulan kakakmu sekarang ini. Mama khawatir dengan perubahan perilaku kakakmu. Kamu juga sudah bilang ‘beres.’ Lalu, bagaimana hasil penyelidikanmu?” Seru Fajria.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (3)
“Oh, ya Mam! Aduh, Ratri lupa! Habis, setelah itu Ratri banyak kerjaan”
“Ah, kamu ini. Pekerjaan apa yang kamu lakukan? Dulu bekerja sebentar malah keluar dan sekarang habis waktumu untuk jalan-jalan dan mejeng. Mama minta bantuan sekali saja, malah lupa!” Fajria mendongkol sambil mengomel.
“Okelah, Mam. Besok Ratri akan bergerak. Mama tunggu saja kabarnya. Tim Shopping siap melaksanakan tugas!” seru ratri sambil bersikap menghormat ala hormat bendera.
Selesai berkata demikian Ratri pun mengambil makan dan mereka bertiga makan bersama, tanpa kehadiran Yadi. Suasana makan malam yang akrab seperti inilah yang sebenarnya disukai oleh Fajria. Sayangnya, sekarang suami maupun anak-anaknya suka punya urusan masing-masing. Hari ini mereka sudah bisa makan malam Bersama, meski tanpa kehadiran Yadi.
Benar saja esok harinya Ratri bertemu dengan geng shopping-nya. Ia ajak mereka untuk berkumpul di kafe langganan. Ada empat orang yang datang, yaitu: Yuni, Sinta, Raras dan Ratri sendiri. Ketiganya sobat kental Ratri sejak masih duduk di bangku SMA. Hubungan mereka tetap terjalin sampai mereka lulus kuliah karena mereka mengambil kuliah di kota ini pula.
“Gini, Sob,” Ratri membuka pembicaraan dengan teman-temannya. “Aku mau minta bantuanmu semua, Cuy. Aku dapat tugas dari Mama untuk menyelidiki kegiatan kakakku yang katanya sekarang ini bertingkah aneh dan tidak diketahui kemana tempat mangkal barunya. Jadi, tugas yang saya minta adalah untuk mengetahui kegiatan kakaku pada sore hari: kemana dia, bersama siapa dan apa saja kegiatannya.” Terang Ratri pada teman-temannya dengan serius.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (4)
“Emang, kakakmu kenapa, Rat?” Tanya Raras. Biasanya kan dia mangkal di dekat alun-alun bersama geng motornya. Aku kenal Mas Eko, kenapa tidak kau cari ke sana?”
“Udah, Cuy! Tapi, gak ketemu. Teman-teman kakak bahkan datang menemui Mama untuk menanyakan tentang kak Yadi. Makanya, aku minta bantuan kalian. Jika ada info, tolong kabari aku, ya!”
“Oke, Ratri, Kita kan sobat kental. Kita siap untuk membantu! Iya, nggak!?” Jawab Sinta sambil minta persetujuan dua temannya lagi. Dengan serempak Yuni dan Raras menganggukkan kepala.
“Baiklah, kita akan berbagi tugas. Masing-masing mencari di tempat dekat rumah atau dari teman-teman dekat masing-masing. Info apa pun kita sampaikan di WA-Group kita.” Imbuh Yuni dan disetujui seluruh anggota geng.
Dua hari kemudian, masuk sms ke WA-Group geng shopping. Isinya foto dan keterangan di bawahnya. “Subyek terdeteksi di halaman masjid al-Mahabbah, dekat lampu lalu lintas.” Pengirim SMS adalah Sinta.
Yuni berkomentar. “Gak salah, tuh! Sejak kapan Kak Yadi memakai peci putih begitu!”
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (5)
“Benar! Seumur-umur Kak Yadi itu gak pernah pakai peci, apalagi berkeliaran di masjid.” Tegas Raras dan diiyakan oleh Ratri sendiri.
“Jangan kau ragukan aku, Cuy! Info ini terverifikasi, loh! Lagian, itu mesjid letaknya hanya 2 KM dari rumahku, jadi aku pahamlah daerah situ.” Jawab Sinta meyakinkan para sobatnya.
“Udah, daripada berdebat, mending kita samperin yuk!” Ajak Ratri. Mungkin besok sore. Sinta, tolong aku dijemput, ya. Aku masih belum pede masuk masjid sendirian.”
“Baiklah, tapi kita sebaiknya berdua saja dulu. Jika ramai-ramai datang, takutnya dikira ikut pengajian.” Kata Sinta sambil memasang emoji ketawa terbahak.
“Benar! Seumur-umur Kak Yadi itu gak pernah pakai peci, apalagi berkeliaran di masjid.” Tegas Raras dan diiyakan oleh Ratri sendiri.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (6)
“Jangan kau ragukan aku, Cuy! Info terverifikasi, loh! Lagian, itu mesjid letaknya hanya 2 KM dari rumahku.” Jawab Sinta meyakinkan para sobatnya.
“Udah, daripada berdebat, mending kita samperin yuk!” Ajak Ratri. Mungkin besok sore. Sinta, tolong aku dijemput, yah. Aku masih belum pede masuk masjid sendirian.”
“Baiklah, tapi kita sebaiknya berdua saja dulu. Jika ramai-ramai datang, takutnya dikira ikut pengajian.” Kata Sinta sambil memasang emoji ketawa terbahak.
Editor : M Taufiq Ulinuha