Muhammadiyah dan Salafi: Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru
Oleh : Muhammad Fikri Hidayattullah*
PWMJATENG.COM – Salafi merupakan sebuah gerakan Islam kontemporer yang membawa semangat purifikasi agama. Gerakan ini terinspirasi dari pemikiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dilanjutkan oleh Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab at-Tamimi. Istilah Salafi yang dimaksud di sini adalah salafi kontemporer (salafiyyah mu’ashirah) bukan salafiyyah syafi’iyyah yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Karena penggunaan istilah salafi atau salafiyyah juga sering dipakai di sekolah dan pondok NU.
Propaganda utama dakwah Salafi adalah menawarkan metode beragama yang sering mereka istilahkan dengan nama manhaj salaf. Metode beragama ini mengajak umat Islam agar mengikuti para salaf ash-shalih (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dalam memahami nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Tawaran untuk mengikuti manhaj salaf ala Salafi mendapat sambutan yang hangat di sebagian kalangan, seperti mahasiswa umum non syariah, muslim perkotaan, birokrat hingga artis. Tak terkecuali juga kalangan akar rumput warga Muhammadiyah.
Mereka yang menerima ajaran Salafi ini berasumsi bahwa beragama harus langsung mengambil rujukan dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah sekaligus dipahami menurut pemahaman salaf ash-shalih. Kenapa harus mengikuti salaf ash-shalih bukan mengikuti Imam Madzhab atau putusan fatwa organisasi? Karena dalam doktrin Salafi mengikuti salaf ash-shalih lebih genuine dan lebih terjamin keabsahannya disebabkan lebih dekat dengan periode kenabian.
Genealogi Keilmuan Muhammadiyah dan Salafi
Jika dirunut secara genealogi keilmuan antara Muhammadiyah dan Salafi ada semacam titik temu dalam hal ulama dan kitab yang dijadikan referensi. Akan tetapi, kesamaan tersebut tidak lantas menjadikan Muhammadiyah dan Salafi menjadi entitas yang sama.
Prof. Yunahar Ilyas dalam salah satu ceramahnya pernah menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan salafi. Namun, bukan dalam artian salafi kontemporer seperti yang berkembang saat ini. Lebih tepatnya mengikuti model salafi Sayyid Muhammad Rasyid Ridla.
Rasyid Ridla sendiri merupakan seorang ulama pembaharu, pemimpin majalah Al-Mannar sekaligus inpirator bagi pemikiran dan gerakan dakwah KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah. Bahkan, salah satu tokoh utama gerakan Salafi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga terinspirasi dari gagasan pembaharuan pemikiran Islam Rasyid Ridla [1]. Ketertarikan awal Al-Albani terhadap ilmu hadits bermula dari perjumpaannya dengan rubrik kajian hadits di majalah Al-Mannar yang diasuh oleh Rasyid Ridla [2].
Persamaan genealogi keilmuan lainnya adalah ketika KH. Ahmad Dahlan ikut serta mengkaji kitab-kitab Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan tentang bid’ah, di antaranya adalah kitab at-Tawasul wa al-Wasilah [3]. Fakta tersebut dikuatkan oleh penyataan murid KH. Ahmad Dahlan yang bernama KRH. Hajid di Muqadimah buku Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan yang ditulisnya sendiri. Namun yang perlu diperhatikan secara seksama, KH. Ahmad Dahlan tidak hanya membaca buku-buku Ibnu Taimiyah saja. Beliau juga menelaah dan mempelajari kitab-kitab mainstream yang dikaji mayoritas ulama nusantara pada waktu itu, meliputi kitab-kitab aqidah Aswaja (Ahlusunnah wal Jama’ah), fikih syafi’iyyah dan tasawuf al-Ghazali [4]. Dan kitab-kitab tersebut tidak termasuk rujukan yang dikonsumsi oleh komunitas Salafi, kecuali beberapa komunitas Salafi belakangan yang tertarik mendalami kajian madzhab Syafi’i.
Baca juga, Penggunaan Biji Tasbih untuk Berzikir, Bid’ahkah?
Beberapa anasir Salafi mencoba mencari titik temu lain antara Muhammadiyah dengan komunitasnya. Di antaranya adalah mengkaitkan penerjemahan Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab ke dalam Bahasa Indonesia oleh orang-orang yang dianggap dekat dengan Muhammadiyah seperti Bey Arifin, Dja’far Soedjarwo dan Moehammad Thahir Badrie. Salafi beranggapan bahwa tidak semestinya Muhammadiyah bersikap antipati terhadap komunitasnya karena proses penyebaran dakwah Salafi di masa lalu melalui penerjemahan Kitab Tauhid ditopang oleh orang-orang Muhammadiyah. Dan posisi Kitab Tauhid sendiri di kalangan Salafi memiliki posisi istimewa karena berisi konsepsi akidah yang diyakininya.
Akan tetapi di lain sisi, agaknya Salafi harus kecewa jika mengetahui bahwa ternyata KH. Ahmad Dahlan dalam kitab akidanya yang berjudul Akoid doel Iman [5] mengajarkan tauhid sifat 20 yang identik dengan akidah Asy’ariyyah yang kontra dengan konsepsi akidah asma’ wa shifat-nya Salafi. Belum lagi kitab akidah yang dulu dikaji KH. Ahmad Dahlan juga bukan Kitab Tauhid-nya Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab melainkan Risalah Tauhid-nya Syaikh Muhammad Abduh yang berisi sintesa akidah Salaf dan Asy’ariyyah [6].
Masuknya Salafi di Tubuh Muhammadiyah
Seringkali kalangan akar rumput memaknai Persyarikatan Muhammadiyah secara sederhana. Muhammadiyah dipandang sebatas organisasi keagamaan yang mengajarkan cara beragama secara puritan dengan berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Gagasan-gagasan Muhammadiyah seputar membangun peradaban terkesan elitis dan asing bagi kalangan akar rumput. Mereka tidak mengenal tentang nalar bayani, irfani dan burhani yang digunakan Muhammadiyah dalam menunjang pemikiran keislamannya [7]. Terlebih mengenai gagasan-gagasan besar dalam Risalah Islam Berkemajuan. Di dalam alam pikiran mereka Muhammadiyah hanyalah gerakan tajdid yang memerangi kesyirikan dan kebid’ahan dalam agama. Tidak lebih.
Sementara itu muncul Salafi dengan membawa jargon pemurnian tauhid dan perlawanan terhadap bid’ah. Tentu saja hal tersebut menjadi daya pikat bagi kalangan akar rumput Muhammadiyah tadi. Salafi dianggap sebagai saudara muda yang gagah perkasa dan pemberani dalam memerangi kesyirikan dan kebid’ahan. Para ustadznya pun sangat piawai dalam menjelaskan narasi pemurnian Islam disertai dengan kitab-kitab berbahasa Arab. Ditambah lagi dengan penampilannya yang sangat islami. Semakin menambah daya tarik. Dari sinilah panggung untuk mengisi kajian di masjid-masjid Muhammadiyah mulai diberikan ke para ustadz Salafi.
Titik Seteru
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang sudah sangat dewasa. Unggul dalam bidang manajemen modern. Terbukti dengan lahirnya berbagai amal usaha mulai dari sekolah, rumah sakit, panti asuhan hingga kampus yang tersebar ribuan jumlahnya di seluruh Indonesia. Semua itu ditempuh untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana tujuan utama didirikannya Muhammadiyah.
Pada asalnya Muhammadiyah tidak anti terhadap dakwah Salafi. Muhammadiyah dikenal mudah bekerjasama sama dengan siapa saja demi kemaslahatan umat dan bangsa. Di dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban [8].
Bahkan dulu ketika Muktamar Setengah Abad pada tahun 1962, Junus Anies dalam khutbah iftitahnya juga menyampaikan bahwa Muhammadiyah menghargai dan dapat bekerjasama dengan segala pihak, organisasi dan partai apa saja yang menghargai serta memahami cita-cita Muhammadiyah. Namun, Junus Anies juga menegaskan bahwa Muhammadiyah juga berhak menaruh kewaspadaan dan bersikap tegas kepada pihak-pihak yang hanya memanfaatkannya demi kepentingan pribadi atau golongannya [9].
Baca juga, Mengkaji Keunggulan Bahasa dan Sastra Al-Qur’an
Gesekan dengan Salafi mulai timbul ketika adanya infiltrasi yang terlalu jauh di tubuh Muhammadiyah yang memunculkan resistensi bahkan konflik di antara keduanya [10]. Secara organisatoris tentu saja hal ini tidak sehat dan kurang pas. Belum lagi ketika Salafi menyerang putusan-putusan Muhammadiyah, seperti dalam penggunaan Hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri [11]. Bukan berarti Muhammadiyah dalam konteks ini tidak mau menerima pendapat yang berlainan. Tentu saja tidak. Muhammadiyah terbiasa dengan permasalahan ikhtilaf fiqhiyyah. Namun, akan berbeda ketika sikap berlainan tersebut disampaikan dengan bahasa provokatif, tidak ilmiah dan dibalut tuduhan ngawur. Seperti beberapa waktu yang lalu ketika salah seorang dai Salafi menyebut bahwa metode Hisab yang dipakai Muhammadiyah berasal dari Syi’ah. Meskipun akhirnya dai tersebut meminta maaf secara terbuka, tapi semestinya fenomena ini menjadi perhatian khusus bagi persyarikatan dengan semakin maraknya aktivisme Salafi di Muhammadiyah.
Muhammadiyah tidak menolak aqwal salaf ash-shalih dalam merumuskan putusan-putusannya. Akan tetapi penerimaan terhadap aqwal salaf ash-shalih tersebut tidak dipahami secara literal sebagaimana Salafi. Karena organisasi Muhammadiyah telah memiliki manhaj tersendiri dalam berinteraksi terhadap sumber-sumber rujukan dalam agama, sebagaimana tertuang dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Perbedaan manhaj inilah yang nanti akan menentukan corak gerakan masing-masing. Muhammadiyah berorientasi ke masa depan, sementara Salafi menengok ke belakang (konservatif), karena bagi Salafi zaman Salaf dipandang lebih murni. Muhammadiyah menerima modernisasi dari Barat, sedangkan (sebagian) Salafi menganggapnya sebagai polusi budaya.
Doktrin berikutnya yang tak kalah menarik untuk dicermati adalah klaim Salafi sebagai pemegang kebenaran tunggal dalam memahami nash agama. Kelompok Islam di luar Salafi dituduh memiliki cacat pemahaman. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam praktik dakwahnya seringkali muncul gesekan terhadap pihak lain karena merasa superior dan berhak memvonis siapa saja yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan manhaj salaf ala Salafi. Berbeda dengan Muhammadiyah yang mengajak umat Islam untuk mengembangkan pemahaman agama yang luas dan mendalam, realistis terhadap masalah-masalah kekinian, menghargai rasionalitas dan nilai-nilai transendental, berorientasi ke masa depan, serta terbuka dan toleran terhadap perbedaan.
Boleh jadi hari ini infiltrasi Salafi baru sampai merambah ke masjid-masjid Muhammadiyah dan beberapa amal usaha di daerah. Namun, jika dibiarkan akan dikhawatirkan nasib Muhammadiyah terpecah seperti al-Irsyad. Polarisasi di tubuh al-Irsyad mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1990-an antara al-Irsyad lama (al-Irsyad al-Islamiyyah) dan kubu al-Irsyad yang terpengaruh ajaran Salafisme [12]. Setelah itu al-Irsyad terpecah menjadi al-Irsyad al-Islamiyyah dan Perhimpunan al-Irsyad yang kental dengan paham Salafi.
Menjadi Salafi Berkemajuan
Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Paham Islam Berkemajuan yang dirumuskan oleh Muhammadiyah di antara isinya adalah bersikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya asal argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih akurat [13].
Dalam hal ini Salafi bisa mencontoh Muhammadiyah. Terutama para pengikutnya yang selama ini dibelenggu dengan batas-batas demarkasi yang ketat agar tidak mengambil ilmu di luar ustadz atau ulama panutannya. Jika selama ini kajian Salafi bernuansa rigid dan skriptualis dalam mengkaji hadits dan aqwal salaf, maka harus semakin digalakkan kajian yang berfokus ke ushul fiqih agar semakin dinamis dalam memahami dalil.
Jika selama ini para pengikut Salafi diminta untuk menjauhi pemikiran Syaikh Yusuf al-Qardhawi, maka para pengikutnya harus mulai berani melirik buku-buku al-Qardhawi dan mencoba membacanya secara mandiri. Pembacaan bisa dimulai dari kitab ash-Shahwah al-Islamiyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru wa at-Tafarruq al-Madzmum (Kebangkitan Islam di antara perbedaan yang disyariatkan dan perpecahan yang tercela). Kitab tersebut akan membuka wawasan seputar aneka perbedaan pendapat di dalam Islam dan bagaimana seorang muslim harus menyikapinya. Tidak hanya perbedaan dalam permasalahan fikih saja, namun sampai ke permasalahan akidah.
Baca juga, Kondisi Buruh Jelang Indonesia Emas: Refleksi Hari Buruh
Begitu juga ketika Salafi memposisikan Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali ke posisi minor, harusnya para pengikut Salafi berfikir secara kritis kenapa sekaliber al-Ghazali yang digelari hujjah dalam agama tidak patut dijadikan rujukan. Jangan hanya menerima doktrin bahwa al-Ghazali lemah dalam ilmu hadits, pengamal tasawuf, dan tokoh Asy’ariyyah. Baca otobiografinya, al-Munqidz min ad-Dlalal (Pembebas dari jalan kesesatan) yang sangat memukau. Jika kita membaca buku tersebut dengan pikiran yang objektif dan hati yang bersih, niscaya kita akan menemukan betapa luar biasanya keilmuan dan perjalanan ruhani al-Ghazali.
Buku-buku Syaikh Dr. Abdul Fattah Qudais al-Yafi’i bisa dijadikan referensi bagi para kalangan Salafi yang semakin menggebu menemukan kebenaran. Beliau ulama dari negeri Yaman sekaligus ‘mantan’ pengikut Salafi. Al-Yafi’i banyak menulis buku dengan pendekatan studi komparatif (dirasah muqaranah) sehingga kita bisa menikmati ragam pendapat yang pro dan kontra dalam berbagai permasalahan agama. Tidak hanya dimonopoli oleh satu pendapat dan memaksakan pendapat tersebut sebagai satu-satunya kebenaran tunggal. Di antara judul buku-buku al-Yafi’i adalah al-Bid’ah al-Mahmudah wa al-Bid’ah Idlafiyyah bayna al-Mujizin wa al-Mani’in (Dirasah Muqaranah), at-Tawasul bi ash-Shalihin bayna al-Mujizin wa al-Mani’in (Dirasah Muqaranah), at-Thariq ila al-Alfah al-Islamiyyah dan sebagainya. Buku terakhir diberi kata pengantar oleh lima puluh orang ulama.
Seorang pengikut Salafi harus memperbanyak asupan literasi yang berkualitas. Semakin banyak, maka akan semakin luas pandangan keagamaannya dan lebih bijak dalam bertindak.
Bisakah Muhammadiyah dan Salafi Berkolaborasi?
Sangat bisa. Kuncinya adalah tasamuh (toleran) dan tafahum (saling memahami). Kualitas literasi yang unggul dan semangat bersama untuk membangun peradaban Islam akan bisa merealisasikan itu semua. Satu sama lain bisa saling melengkapi. Apa jaminannya Salafi bersedia melakukan itu?
Perlu kita ketahui bersama bahwa Salafi itu tidak hanya satu wajah. Ada beberapa varian. Bahkan sudah menjadi rahasia umum antar fraksi Salafi sering terjadi friksi (tahdzir). Robby H. Abbror dalam disertasinya mengklasifikasikan Salafi ke dalam tiga kategori, yaitu mutasyaddid (ekstrim), mutawassith (moderat) dan mutasahil (toleran). Kelompok mutasyaddid memiliki sikap keras dan teguh dalam menjalankan dan mematuhi manhaj salaf sehingga bersikap intoleran terhadap modernisme termasuk produk-produk modernisme itu sendiri. Dalam konteks ini, kelompok salafi yang berada dalam kategori ini dilihat sebagai
kelompok yang ekstrim.
Kelompok mutawassith merupakan kelompok yang intoleran terhadap modernisme dan produknya jika bersifat merusak akhlak akan tetapi juga bersikap toleran jika mengandung manfaat. Kategori ini bisa dibilang sebagai kategori yang moderat. Kelompok mutasahil adalah kelompok yang toleran terhadap modernisme dan produk-produk yang dihasilkannya karena dianggap mendidik, sehingga kelompok ini menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada individu anggota jama’ah atau kelompok [14].
Kerjasama antara Muhammadiyah dengan Salafi masih memungkinkan dijalin dengan kelompok salafi mutawassith dan mutasahil. Kedua varian ini cukup fleksibel dan toleran. Belum lagi belakangan muncul beberapa varian baru. Ada yang menamakan dirinya taimiy (pengikut Ibnu Taimiyyah), dan ada juga aktivis Salafi yang giat menghidupkan khazanah madzhab fikih (Syafi’i dan Hanbali). Kelompok ini terlihat lebih toleran dan bersahabat dengan pihak lain.
Para ustadz Salafi dapat membantu menghidupkan kajian turats Islam yang semakin langka di Muhammadiyah. Atau bisa juga berbagi ilmu Bahasa Arab agar para dai di tingkat cabang atau ranting Muhammadiyah memiliki kapasitas untuk mengakses turats (mengkaji kitab berbahasa Arab gundul). Pada beberapa kesempatan banyak warga Muhammadiyah yang mengeluhkan para dai-nya tidak memiliki kapasitas keilmuan seperti para ustadz Salafi.
Pelan tapi pasti akhirnya mereka pun memilih meninggalkan pengajian-pengajian Muhammadiyah secara total, kemudian bertransformasi secara utuh menjadi Salafi. Penyebabnya adalah tidak tersedianya para ustadz Muhammadiyah yang memiliki kapasitas mengkaji turats Islamy. Sedangkan di tingkat akar rumput dahaga warga Muhammadiyah terhadap pengajian dengan model tersebut cukup tinggi. Hal ini juga semestinya menjadi PR bagi persyarikatan, karena berpindahnya banyak warga Muhammadiyah ke Salafi tidak serta merta karena bujukan tapi juga disebabkan tidak tersedianya ustadz Muhammadiyah yang mampu mengkaji kitab layaknya para ustadz Salafi.
Wallahu ta’ala a’lam bishshawwab.
Rerefensi:
Abbror, Robby Habiba. “Identitas Islamis Dalam Tegangan Dan Negosiasi Antara Dogma Dan Modernitas: Resepsi Komunitas Salafi Di Yogyakarta Terhadap Fenomena Ghibah Infotainment.” Universitas Gajah Mada, 2014.
Abidin, Muhammad Zainal, and Yulia Hafizah. “Conflict and Integration in The Salafi-Wahabi Purification Movement in South Kalimantan.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 4, no. 2 (December 31, 2019): 191–201. https://doi.org/10.15575/jw.v4i2.6194.
Anwar, Syamsul. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXX, 2018.
AR, Zaini Tamin, and Riduwan Riduwan. “Resistensi Dakwah Salafi Terhadap Amal Usaha Muhammadiyah Di Sidoarjo.” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 3, no. 1 (2020): 51–68. https://doi.org/10.20414/sangkep.v3i1.1881.
Asy-Syaibani, Muhammad Ibrahim. Hayat Al-Albani, Atsaruhu Wa Tsana’ ’Ulama ’Alaihi. Kairo: Maktabah As-Sadawi, 1987.
Busyairi, Kusmin. “Pembahasan Risalah Tauhid Karya Muhammad Abduh.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, no. 2 (1983). https://doi.org/https://doi.org/10.14421/ajis.1983.029.38-56.
Dahlan, Ahmad. Akoid Doel Iman. Yogyakarta: Druk. Aman Dk., 1941.
Departemen Penerangan. Makin Lama Makin Tjinta: Muhammadijah Setengah Abad 1912 – 1962. Jakarta: Pertjetakan Nagara D/H “De Unie” Departemen Penerangan, 1962.
Dermawan, Andy. “Dialektika Dakwah, Politik Dan Gerakan Keagamaan Kontemporer (Telaah Pemikiran Nasir Al-Din Al-Albani Dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Salafy Kontemporer).” Jurnal Dakwah XIV, no. 2 (2013): 159–75.
Hajid, K.R.H. Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan. Kedua. Yogyakarta: Penerbitan Siaran, n.d.
Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Dan Pengembangan Pemikiran Islam, 2000.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010.
Salam, Solichin. KH. Ahmad Dahlan: Reformer Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Djajamurni, 1963.
Wahid, Din. “Kontestasi Otoritas Agama: Radio Dakwah Di Ranah Banjar.” In Suara Salafisme: Radio Dakwah Di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, 2017.
[1] Andy Dermawan, “Dialektika Dakwah, Politik Dan Gerakan Keagamaan Kontemporer (Telaah Pemikiran Nasir Al-Din Al-Albani Dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Salafy Kontemporer),” Jurnal Dakwah XIV, no. 2 (2013): 159–75.
[2] Muhammad Ibrahim Asy-Syaibani, Hayat Al-Albani, Atsaruhu Wa Tsana’ ’Ulama ’Alaihi (Kairo: Maktabah As-Sadawi, 1987).
[3] Solichin Salam, KH. Ahmad Dahlan: Reformer Islam Indonesia (Jakarta: Penerbit Djajamurni, 1963).
[4] K.R.H. Hajid, Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan, Kedua (Yogyakarta: Penerbitan Siaran, n.d.).
[5] Ahmad Dahlan, Akoid Doel Iman (Yogyakarta: Druk. Aman Dk., 1941).
[6] Kusmin Busyairi, “Pembahasan Risalah Tauhid Karya Muhammad Abduh,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, no. 2 (1983), https://doi.org/https://doi.org/10.14421/ajis.1983.029.38-56.
[7] Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Panitia Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXX, 2018).
[8] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010).
[9] Departemen Penerangan, Makin Lama Makin Tjinta: Muhammadijah Setengah Abad 1912 – 1962 (Jakarta: Pertjetakan Nagara D/H “De Unie” Departemen Penerangan, 1962).
[10] Zaini Tamin AR and Riduwan Riduwan, “Resistensi Dakwah Salafi Terhadap Amal Usaha Muhammadiyah Di Sidoarjo,” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 3, no. 1 (2020): 51–68, https://doi.org/10.20414/sangkep.v3i1.1881.
[11] Muhammad Zainal Abidin and Yulia Hafizah, “Conflict and Integration in The Salafi-Wahabi Purification Movement in South Kalimantan,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 4, no. 2 (December 31, 2019): 191–201, https://doi.org/10.15575/jw.v4i2.6194.
[12] Din Wahid, “Kontestasi Otoritas Agama: Radio Dakwah Di Ranah Banjar,” dalam Suara Salafisme: Radio Dakwah Di Indonesia (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, 2017).
[13] Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Dan Pengembangan Pemikiran Islam, 2000.
[14] Robby Habiba Abbror, “Identitas Islamis Dalam Tegangan Dan Negosiasi Antara Dogma Dan Modernitas: Resepsi Komunitas Salafi Di Yogyakarta Terhadap Fenomena Ghibah Infotainment” (Universitas Gajah Mada, 2014).
*Dosen Politeknik Harapan Bersama dan Santri Ma’had Ki Bagus Hadikusumo, Yogyakarta Periode 2008 – 2010
Editor : M Taufiq Ulinuha