Manhaj Tarjih Muhammadiyah
PWMJATENG.COM, Semarang – Pada Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah ke XXXII, disepakati beberapa putusan, di antaranya: 1) Munas menyetujui peralihan penggunaan kalender Hijriyah Global. 2) Munas menyetujui lahirnya fiqih wakaf kontemporer. 3) Munas Tarjih Menyetujui pengembangan manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Berikut kami jabarkan salah satu produk Munas Tarjih ke XXXII, yakni pengembangan manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Manhaj tarjih merupakan sistem yang memuat wawasan, sumber, pendekatan, dan prosedur teknis tertentu dalam melakukan aktivitas intelektual untuk merespons masalah sosial dan kemanusiaan dari perspektif agama Islam. Tarjih dilakukan dengan mengembangkan kerangka pemikiran keislaman yang responsif, baik dalam kerangka evaluatif maupun eksplanatif, untuk menetapkan petunjuk normatif dan arahan dalam menjawab berbagai permasalahan.
Wawasan Paham Agama
Perspektif wawasan dalam tarjih meliputi pemahaman agama yang diilhami oleh wawasan tajdid, toleransi, keterbukaan, tidak berafiliasi mazhab tertentu, dan wasathiyah. Perspektif ini didasarkan pada sumber-sumber dalil agama, termasuk Al-Qur’an dan Sunnah, serta pemikiran ulama Islam seperti Ibn ‘Asyur yang menginspirasi definisi agama sebagai tatanan normatif untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Perspektif ini juga mencerminkan pandangan Muhammadiyah tentang agama sebagai pengalaman imani yang menuntun manusia menuju kebaikan, dengan manifestasi dalam bentuk amal saleh yang mengacu pada norma-norma syariah. Selain itu, perspektif ini memperhitungkan interaksi agama dengan budaya, di mana tajdid dan ijtihad memiliki peran penting dalam menafsirkan dan memperluas norma-norma untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Wawasan Tajdid
Perspektif wawasan Tajdid dalam Muhammadiyah menekankan pada pembaruan sosial dan keagamaan, didasarkan pada sumber-sumber Al-Qur’an dan as-Sunnah, serta inspirasi dari pemikiran Deliar Noer tentang gerakan modernis. Tajdid dalam akidah dan ibadah mencakup pemurnian sesuai dengan Sunnah Nabi, sementara dalam muamalat duniawiah, tajdid berarti mengadaptasi kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif. Pemurnian dalam ibadah mencari bentuk yang sesuai dengan Sunnah, sementara dalam akidah, berarti membebaskan dari khurafat dan tahayul dengan mengikuti Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam muamalat duniawiah, tajdid memungkinkan perubahan hukum syarak untuk memenuhi tuntutan zaman, seperti penggunaan hisab untuk menentukan masuknya bulan kamariah dan izin bagi perempuan untuk menjadi pemimpin berdasarkan ijtihad hukum.
Wawasan Toleransi
Perspektif wawasan Toleransi dalam Muhammadiyah mengajarkan bahwa putusan Tarjih tidak mengklaim kebenaran mutlak, melainkan bersifat terbuka terhadap pandangan lain. Sumberrnya dalam HPT Jilid 1 disebutkan “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang menegaskan bahwa Tarjih tidak menentang atau menolak pendapat lain. Tarjih Muhammadiyah menganggap keputusannya sebagai capaian terbaik saat itu dan terbuka terhadap masukan baru dengan argumen yang lebih kuat. Prinsip keterbukaan terhadap penemuan baru menjadi landasan wawasan ketarjihan Muhammadiyah.
Wawasan Keterbukaan
Wawasan Keterbukaan dalam Tarjih Muhammadiyah menekankan bahwa setiap keputusan dapat dikritik dan diperbaiki dengan dalil dan argumen yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih”. Sumber dalilnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah, dengan prinsip ijtihad sebagai mekanisme utama. Perspektif ini menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak terikat pada satu mazhab tertentu, tetapi mengambil pendapat fukaha sebagai pertimbangan dalam menentukan hukum yang sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah.
Wawasan Wasatihtah
Wawasan Wasathiyah dalam Islam didasarkan pada prinsip umat tengah yang ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS al-Baqarah ayat 143) dan dijelaskan oleh ulama seperti Abū Isḥāq Aḥmad ibn Ibrāhim al-Ṡa’labī. Nabi Muhammad adalah contoh utama dalam menjalankan norma kehidupan secara seimbang, seperti yang tercatat dalam sebuah hadis yang direkam oleh Anas bin Mālik. Prinsip Wasathiyah menolak perilaku ekstrem dalam semua aspek kehidupan, sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kesederhanaan dan keseimbangan. Dokumen Risalah Islam Berkemajuan dari Muktamar Muhammadiyah ke-48 merinci gagasan Wasathiyah dalam sikap sosial dan prinsip-proses ijtihad yang sejalan dengan nilai-nilai tersebut.
Sumber Ajaran Agama
Sumber-sumber ajaran agama Islam didasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti yang dijelaskan dalam dokumen resmi Muhammadiyah dan putusan Tarjih. Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber utama dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Putusan Tarjih di Jakarta tahun 2000. Hadis daif dapat menjadi hujah syar’iah jika memiliki banyak jalur periwayatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an serta hadis sahih, sebagaimana dijelaskan dalam Putusan Tarjih. Matan Keyakinan Cita-cita dan Hidup (MKCH) Muhammadiyah menegaskan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber utama ajaran Islam yang mengandung kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Salah satu sumber tambahan adalah tafsir Al-Qur’an dan syarah hadis yang harus mengungkapkan kebenaran yang terkandung dalam dua sumber utama tersebut.
Sumber Paratekstual
Sumber paratekstual adalah sumber-sumber selain Al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti ijmak, qiyas, dan lainnya, yang digunakan dalam praktik ketarjihan untuk mendukung putusan hukum Islam. Unsur-unsur ini dapat dianggap sebagai sumber karena merupakan produk dari kesepakatan para ahli fikih, bukan sekadar proses.
Ijma’, qiyas, dan maslahat mursalah dianggap sebagai sumber ajaran agama paratekstual karena mereka memungkinkan untuk menetapkan hukum dalam Islam ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijma’ melibatkan kesepakatan umat Muhammad saw., qiyas merupakan analogi dari kasus yang sudah ditetapkan hukumnya, sementara maslahat mursalah merujuk pada kemaslahatan yang tidak secara eksplisit diatur oleh petunjuk syariat. Penggunaan ketiga sumber ini dalam fatwa Tarjih menunjukkan pentingnya memperhitungkan konteks sosial dan kebutuhan manusia dalam menetapkan hukum Islam.
Istihsan, istishab, dan konsep lainnya dianggap sebagai sumber ajaran agama paratekstual karena mereka memungkinkan penyesuaian dalam penerapan hukum Islam ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Istihsan, misalnya, mempertimbangkan pandangan masyarakat dan nilai-nilai yang diakui oleh komunitas Muslim, serta memungkinkan pengecualian atau penyesuaian dalam penerapan hukum untuk mencapai kemaslahatan yang menjadi tujuan utama ketentuan hukum tersebut.
Istishab, di sisi lain, menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya, sehingga memungkinkan untuk menjawab problematika sosial yang kompleks dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kemaslahatan. Dalam konteks pengambilan keputusan hukum, istihsan dan istishab memberikan fleksibilitas yang diperlukan untuk menjaga relevansi dan keberlakuan hukum Islam dalam berbagai situasi dan zaman.
Pendekatan dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan utama: bayani, burhani, dan irfani. Pendekatan bayani mengutamakan nas-nas syariah (Al-Qur’an dan as-Sunnah) dalam memecahkan masalah terkait ibadah khusus, sementara pendekatan burhani menggabungkan ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu falak, untuk menjawab masalah yang berkaitan dengan perhitungan awal bulan kamariah dan ibadah terkait. Pendekatan irfani, di sisi lain, menekankan pada pengembangan kepekaan nurani dan intuisi batin melalui pembersihan jiwa, sehingga keputusan tidak hanya didasarkan pada akal belaka tetapi juga pada kepekaan batin. Ketiga pendekatan ini digunakan secara bersama-sama atau sirkular, saling melengkapi satu sama lain sesuai kebutuhan, untuk menyusun hukum Islam yang relevan dan sesuai dengan konteks zaman.
Metode Teknis Penetapan Hukum
Bagaimana metode teknis penetapan hukum dalam Manhaj Tarjih diterapkan adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam asumsi integralistik, Majelis Tarjih akan mengumpulkan dan mengkaji berbagai sumber untuk menemukan kesesuaian antara elemen-elemen tersebut, sehingga norma yang dihasilkan memiliki kekuatan yang lebih tinggi secara probabilitas. Proses ini biasanya menggunakan metode istiqrā’ (induktif) untuk mengoperasionalisasikan sumber-sumber tersebut.
Kedua, asumsi hirarkis menyatakan bahwa norma-norma berjenjang, dimulai dari norma dasar hingga norma konkret, dengan norma dasar yang bersumber dari nilai-nilai universal Islam, seperti tauhid dan keadilan. Ini memungkinkan pengembangan norma-norma konkret yang berlandaskan pada asas-asas dan nilai-nilai dasar yang mendasarinya.
Ketiga, asumsi kebermaksudan menekankan bahwa setiap norma memiliki maksud atau tujuan, yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik dari keluasan cakupannya maupun dari sudut pandang hirarkisnya. Dengan menerapkan tiga asumsi ini, penentuan hukum tidak hanya didasarkan pada norma konkret, tetapi juga mempertimbangkan asas-asas, nilai-nilai dasar, dan tujuan dari setiap norma, sehingga respons terhadap permasalahan sosial atau kemanusiaan bisa dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan nilai-nilai yang relevan.
Ragam metode seperti interpretasi (metode bayani), kausalitas, dan sinkronisasi memainkan peran penting dalam penetapan hukum fiqih. Metode interpretasi digunakan untuk menjelaskan nas-nas yang masih kabur atau tidak jelas, sementara metode kausalitas digunakan untuk menangani masalah yang tidak memiliki nas langsung dengan menggali kausalitas efisien atau finalis. Selain itu, metode sinkronisasi digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus di mana terjadi pertentangan antara dalil-dalil. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hadis juga memberikan panduan dalam menafsirkan dan memahami berbagai jenis hadis untuk memperkuat metode penetapan hukum fiqih.
Kaidah perubahan hukum memainkan peran penting dalam metode penetapan hukum fiqih dengan mengakui kemungkinan perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Praktik Ketarjihan Muhammadiyah menegaskan bahwa ada ketentuan hukum yang dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, seperti dalam masalah kepemimpinan wanita. Namun, perubahan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk adanya tuntutan kemaslahatan, bukan mengenai pokok ibadah mahdlah, tidak bersifat qat’i, dan didasarkan pada dalil syar’i.
Editor : M Taufiq Ulinuha