(Potret KH Mas Mansur bersama para pengajar Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta perkiraan tahun 1939)
PWMJATENG.COM – KH. Mas Mansur adalah salah satu pahlawan nasional, sebagaimana SK Presiden RI No. 162 tahun 1964, yang memiliki kontribusi besar dalam pembaharuan Islam di Indonesia. Lahir di Surabaya pada tanggal 25 Juni 1896, Mansyur adalah putra dari KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam di Jawa Timur, dan ibunya, Raudhah, berasal dari keluarga terpandang dari Pesantren Sidoresmo Wonokromo, Surabaya.
Mansur menerima pendidikan awalnya dari ayahnya di Pesantren Sawahan. Selain itu, ia juga belajar ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) dan Sharaf (perubahan bentuk dan makna bahasa Arab) di Pesantren Sidoresmo di bawah bimbingan Kiai Mas Thoha. Pada usia 10 tahun, Mansyur dikirim untuk belajar di Pesantren Demangan di Bangkalan, Madura, di bawah pimpinan Kiai Haji Khalil yang terkenal di Jawa dan Madura karena keahliannya di bidang Nahwu, Sastra Arab, Fiqh, dan Tasawuf.
Mansur melanjutkan studinya di Mekah sebelum akhirnya pergi ke Mesir pada tahun 1910. Di Perguruan Tinggi Al-Azhar, Kairo, ia belajar di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Maskawih. Selama di Mesir, Mansyur juga memperhatikan perkembangan sosial-politik Mesir melalui pidato tokoh setempat dan tulisan di media massa.
Pengalaman Mansur di Mesir memperkaya wawasannya, terutama setelah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Syekh Rasyid Ridha. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1915, ia bergabung dengan Syarikat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto, serta aktif dalam gerakan kebangkitan nasional di tanah air.
Baca juga, Dari Halaqah Al-Qur’an Menuju Kedigdayaan
Pada usia 20 tahun, Mansur menikah dengan Siti Zakiyah, anak perempuan H. Arief, dan tetap aktif dalam aktivitas dakwah. Ia juga membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar dan mendirikan Nahdlatul Wathan, sebuah organisasi yang fokus pada penguatan pendidikan dan semangat patriotisme.
Aktivitas dakwah Mansur tidak hanya dilakukan melalui organisasi dan pendidikan, tetapi juga melalui media massa. Ia memanfaatkan jurnalisme untuk menyebarkan pemikiran Islam melalui majalah seperti Soeara Santri dan Djinem.
Pada Muhammadiyah, Mansur menduduki posisi penting sebagai Ketua Cabang di Surabaya dan kemudian sebagai Ketua Majlis Tarjih. Ia juga aktif memperkuat peran Aisyiyah dan mengembangkan berbagai inisiatif dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Pada tahun 1937, Mansyur dipilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dan terlibat dalam reformasi organisasi dengan orientasi salafiyah Ridhā. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan pesat, terlibat dalam banyak kerja sama, dan mendirikan sekolah serta fasilitas kesehatan.
Menjelang akhir tahun 1937, Mas Mansur membawa keluarganya dari Surabaya ke Yogyakarta, tempat kedudukan Pengurus Besar Muhammadiyah. Karena sebagai hoofd bestuur tidak mendapatkan gaji, untuk menghidupi keluarganya, Mas Mansur diangkat menjadi guru dan direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, sekaligus bertindak sebagai kepala kompleks asrama Mu’allimin.
Selama pendudukan Jepang, Mansur terlibat dalam beberapa organisasi kebangsaan yang strategis, termasuk MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan Masyumi. Namun, ia tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia, meskipun pada akhirnya ditangkap dan dituduh sebagai “kolaborator” oleh Belanda.
Meskipun mengalami tekanan dan penahanan, Mansur tetap memberikan semangat kepada para pemuda dan terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pada tanggal 24 April 1946, Mansyur wafat dalam status tahanan musuh. Ia kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964 sebagai penghormatan atas pengabdiannya terhadap Indonesia.
Sumber Foto : Istimewa
Editor : M Taufiq Ulinuha