Pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani Sebagai Manhaj Gerakan Muhammadiyah
Sejarah Bayani, Burhani dan Irfani Sebagai Manhaj Muhammadiyah
Tahun 2000 adalah momentum besar bagi Persyarikatan ketika Majelis Tarjih dalam Munas ke-24 dan ke-25 menegaskan pendekatan bayani, burhani dan irfani sebagai Manhaj atau pendekatan dalam tajdid dan spirit dalam tarjih. Meskipun mengalami proses dialog yang hangat, ketiga pendekatan diterima dalam putusan Majelis Tarjih.
Pada tahun yang sama, ketiga pendekatan itu ditegaskan sebagai cara berpikir Islami dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yang ditetapkan pada Muktamar ke-44 di Jakarta. Dengan resepsi dalam dokumen, maka ketiga pendekatan menjadi bagian tidak terpisahkan dari norma kepribadian warga Muhammadiyah.
Istilah bayani, burhani, dan irfani sendiri sudah populer dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi berkat karya Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi dan Bunyah al-Aql al-Arabi. Karya al-Jabiri itu menyimpulkan bagaimana Islam didekati dan dipahami oleh para pemeluknya dalam lintasan sejarah panjang perkembangannya.
Amin Abdullah, ilmuwan yang diakui luas dan sekaligus Ketua Majelis Tarjih, saat itu banyak berperan dalam membumikan ketiga pendekatan tersebut, baik di lingkungan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam maupun di lingkungan Muhammadiyah.
Banyak pihak yang terkejut dengan lompatan dalam Manhaj Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tersebut. Muhammadiyah sering disangka sebagai organisasi dengan alam pikir yang tekstualis dan rasionalitas yang positivistik (saklek). Namun, keberadaan ketiga pendekatan itu sebenarnya bukan hal baru dalam praktik warga Muhammadiyah.
*
Pandangan Muhammadiyah dipengaruhi pandangan Ibnu Taimiyah tentang pengakuan otoritas wahyu dan hadis secara tidak bertentangan dengan akal sebagaimana ditegaskan dalam karyanya Muwafaqah Shahih al-Manqul li Sharih al-Ma’qul (Kesesuaian riwayat atau nash yang benar dengan akal yang terang). Meskipun Ibnu Taimiyah menolak ketergantungan kebenaran kepada logika Aristotelian, tetapi argumentasi rasional dipandang tidak bertentangan dengan nash-nash yang sahih.
Hal senada juga dikemukakan dengan Muhammad Abduh. Abduh sangat terinspirasi dengan perkembangan dunia modern sebagai buah dari rasionalitas manusia. Baginya, akal dan wahyu itu sejalan dan sejajar, namun hanya wahyu yang menjadi sumber agama.
Dimensi spiritual menjadi bidang yang kurang terformulasikan di Muhammadiyah. Pendekatan irfani sempat menjadi polemik di internal ulama Muhammadiyah karena dikhawatirkan mengandung unsur-unsur non-Islami.
Sebenarnya, masalah spiritual bukan hal asing di Muhammadiyah. HAMKA, ulama besar Muhammadiyah, sejak tahun 1930-an sudah mendedikasikan usaha untuk merumuskan tasawuf yang sesuai dengan spirit modernitas. Lebih jauh, Kiai Ahmad Dahlan memberikan pengajaran-pengajaran kepada KRH Hadjid yang sarat tuntutan moral-spiritual.
Namun, semangat kemajuan untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) membuat persoalan keruhanian kurang terumuskan, meskipun keruhanian menjadi bagian dari praktik hidup dalam keseharian warga Muhammadiyah.
Pendekatan bayani, burhani dan irfani diterima bukan sebagai tiga pendekatan terpisah. Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih, menyebut hubungan ketiga hal tersebut sebagai hubungan sirkuler, yaitu saling melengkapi, menjadikan praktik yang hidup di kalangan warga Muhammadiyah terwadahi secara konseptual.
Dalam berbagai kesempatan, Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah) menegaskan pentingnya warga Muhammadiyah berpegang pada ketiga pendekatan sebagai Manhaj Muhammadiyah. Beliau menyadari bahwa kesatuan tiga pendekatan itu merupakan bagian dari ciri Muhammadiyah.
Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani adalah pemahaman agama yang didasarkan atas petunjuk nash Alquran dan hadis. Adapaun pendekatan ini adalah pendekatan paling dasar dalam beragama Islam sebagaimana pertama kali Muhammad diseru Allah dengan:
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (Q.S. Al-Alaq [96]: 1).
Dengan ayat itulah Al-Qur’an secara berangsur-angsur diturunkan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi umat Islam dan bayan atau tibyan (penjelasan) bagi berbagai persoalan kehidupan manusia:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An-Nahl [16]: 89).
Istilah bayan pertama kali mengemuka dalam karya al-Risalah Imam Syafii. Bayan adalah penjelasan agama yang berakar pada wahyu. Ia mengatakan:
“Tiadalah musibah atau kesulitan menimpa seorang ahli agama Allah kecuali dalam Alquran terdapat dalil sebagai jalan petunjuk di dalamnya.”
Lingkar pertama dari ketentuan agama berasal dari wahyu, kemudian sunnah, dan terakhir adalah ra’yu (pikiran) yang menghubungkan persoalan baru dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh nash.
Jadi, sunah Nabi Muhammad menempati posisi kedua sebagaimana firman Allah:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Apabila kalian berselisih pada suatu perkara, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Hadits). Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59).
Dengan demikian, pendekatan bayani berlandaskan pada petunjuk Alquran dan sunnah. Selain itu, pendekatan bayani disebut pendekatan tekstualis karena menekankan nash sebagai pijakan norma agama.
Pendekatan Burhani
Pendekatan burhani adalah penggunaan akal manusia untuk memahami kebenaran. Istilah burhan dikenal dalam logika tradisional sebagai bentuk argumentasi paling kuat (demonstrasi). Dalam keilmuan tradisional Islam istilah burhani lekat dengan penggunaan logika tradisional dalam pembuktian kebenaran.
Namun, esensi dasar pendekatan burhani adalah penggunaan akal dalam agama. Dalam hukum Islam, akal itu mendapat ruang dalam ra’yu, sedangkan dalam filsafat dan kalam akal dipahami sebagai pengetahuan tidak langsung yang disimpulkan dari pengetahuan langsung.
Penggunaan akal dalam Islam merentang dari proses ijtihad, upaya membela pokok-pokok keyakinan agama dengan nalar, pembuktian fakta dalam pengadilan, hingga refleksi fenomena alam untuk membaca tanda kekuasaan Allah.
Pendekatan burhani dalam bentuk kaidah berpikir terwujud dalam logika, dalam bentuk penelitian ilmiah melahirkan ilmu dan sains, dalam ijtihad tergambar dalam penggunaan ra’yu, dan dalam refleksi melahirkan kesadaran tentang Sang Pencipta.
*
Dalam berislam, penjelasan wahyu akan dapat dipahami oleh mereka yang berpikir.
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. An-Nahl [16]: 44)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa wahyu selain menjadi petunjuk juga menjadi penggugah orang untuk berpikir. Orang yang berpikirlah yang bisa memahami tanda-tanda kebesaran-Nya:
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 9).
Banyak orang yang masuk neraka baru menyadari bahwa kesalahan mereka adalah karena tidak mau mendengarkan peringatan dari Rasul dan tidak mau memakai akalnya.
وَقَالُوا۟ لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ
Dan mereka (orang kafir) berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala (Q.S. Al-Mulk [67]: 10)
Imam Abu Hasan al-Mawardi dalam karyanya Adab al-Dunya wa al-Din Bab Pertama tentang Keutamaan Akal dan Celaan Hawa Nafsu mengatakan:
“Ketahuilah bahwa bagi setiap keutamaan ada pondasi dan bagi setiap adab ada sumber. Pondasi keutamaan dan sumber adab adalah akal yang dijadikan Allah sebagai dalil agama dan tiang dunia.”
Jadi, pendekatan burhani menekankan pemggunaan akal dalam memahami agama, meski tidak lepas dari nash. Dalam Manhaj Tarjih, penggunaan pendekatan burhani terwujud dalam penggunaan pendekatan sosiologi dan antropologi dalam beristinbath.
Pendekatan Irfani
Pendekatan irfani didasarkan atas hati dan rasa. Ada banyak istilah yang berdekatan dengan hati dalam tradisi Islam, seperti dzauq (rasa atau kemampuan membedakan benar salah tanpa melihat teks), bashirah (mata batin sebagai kekuatan hati), qalb (hati/ unsur ruhani tempat pengetahuan rasa), wijdan (gerak batin yang mengakibatkan sedih atau senang khususnya terkait dengan interaksi dengan Allah), dan sirr (unsur dalam hati yang bisa menyaksikan Tuhan).
Pendekatan irfani memiliki akar panjang dalam tradisi gnostik. Tradisi tersebut ada dalam filsafat Yunani dan praktik spiritual Persia maupun India. Dalam Islam, tasawuf adalah perwujudan dari pendekatan irfani. Namun, pelembagaan tasawuf dalam tarekat dan tasawuf falsafi yang cenderung panteistik menimbulkan kontradiksi dengan semangat pembaharuan dan purifikasi di Muhammadiyah, meskipun secara prinsip keruhanian adalah kekuatan dasar dari agama.
Oleh karena itu, pendekatan irfani di Muhammadiyah lebih menekankan substansi rasa untuk menghayati kehadiran-Nya, rasa untuk berempati pada sesama manusia, rasa sebagai bagian dari dakwah kultural dan rasa untuk menghindari keterikatan kuat dengan hal-hal duniawi yang syubhat dan haram.
*
Dalam al-Quran, hati adalah pintu cahaya Tuhan. Hati manusialah yang bisa menghayati dan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian buruk. Alquran menyatakan:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati (Q.S. Qaf [50]: 3)
Jadi, kejadian-kejadian buruk yang menimpa umat terdahulu mengandung pelajaran bagi orang yang punya hati.
Hati manusia pula yang menentukan baik dan buruk manusia:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ
Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR Syaikhani)
Orang yang tidak menggunakan hati akan mengisi neraka jahanam.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) (Q.S. Al-A’raf [7]: 79).
*
Dalam ayat di atas hati berperan membedakan baik dan buruk, sebagaimana akal.
Di Muhammadiyah, pendekatan bayani dan burhani sudah diterima tanpa keberatan karena sangat jelas praktik dan konsepnya di Muhammadiyah. Namun, pendekatan irfani masih dalam proses pencarian bentuk rumusan, meski elemen-elemen keruhanian telah dipraktikkan warga Muhammadiyah.
Pendekatan irfani diterjemahkan ulama-ulama Muhammadiyah dengan pengertian yang sejalan dengan semangat dan pandangan keagamaan di Muhammadiyah. Pendekatan irfani masih dalam proses pengembangan dan dinamika pemahaman para ulama Muhammadiyah menjadi wacana yang patut dijadikan kaca benggala.
1. Irfani sebagai Ihsan
Pengertian irfani yang luas dipakai di kalangan ulama Muhammadiyah adalah ihsan. Pengertian tersebut diintrodusir oleh Amin Abdullah. Namun, ihsan memiliki pemahaman berbeda di antara ulama Muhammadiyah.
a. Ihsan dalam kontes menyembah Allah secara khusyu dengan seolah-olah melihat-Nya:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Engkau beribadah kepada Allah seakan akan Engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu, (Riwayat Al Bukhari)
b. Ihsan juga berarti berlaku baik terhadap sesama, khususnya terhadap orang tua, kerabat, yatim dan anak miskin.
وَاِذۡ اَخَذۡنَا مِيۡثَاقَ بَنِىۡٓ اِسۡرَآءِيۡلَ لَا تَعۡبُدُوۡنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا وَّذِى الۡقُرۡبٰى وَالۡيَتٰمٰى وَالۡمَسٰکِيۡنِ وَقُوۡلُوۡا لِلنَّاسِ حُسۡنًا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 83).
Amien Rais awal tahun 1990-an menawarkan konsep tauhid sosial. Perwujudan penyembahan kepada Tuhan dapat diwujudkan dalam amal sosial.
*
Haedar Nashir lebih lanjut mengartikan pendekatan irfani dengan rasa kemanusiaan atau empati. Ia mencontohkan dalam kasus covid-19 di mana upaya mentaati protokol kesehatan adalah bagian dari empati kepada para petugas kesehatan.
c. Sementara itu, Amin Abdullah juga mengartikan irfan dengan etika syari dalam budaya. Tidak kebetulan pula kebijakan dakwah kultural di Muhammadiyah muncul bersama dengan mengemukanya Manhaj Tarjih dan Tajdid tahun 2000. Amin Abdullah mencontohkan ihsan dalam budaya adalah dalam kasus tari-tarian. Jika ada tari-tarian yang tidak menutup aurat maka disempurnakan dengan memberi pakaian penutup aurat.
2. Irfani sebagai Pilihan Lebih Baik
Pendekatan irfani dalam hukum diterapkan dengan memilih pendapat yang lebih maslahat dan lebih baik. Pemahaman demikian dikemukakan oleh Wawan Gunawan. Poligami, contohnya, hukumnya boleh, tetapi lebih baik beristri satu, utamanya jika tidak bisa berlaku adil. Hukum qishash bisa dilakukan dengan membalas bunuh, tapi memaafkan itu lebih baik. Dalam ibadah, pendekatan irfani diwujudkan dengan melakukan ibadah yang jelas dasarnya dan lebih utama.
3. Irfani sebagai Zuhd dan Wara’
Pemaknaan irfani dengan zuhud dan wara’ dikemukakan oleh Suparman Syukur. Ia memberikan batasan bahwa zuhud dan wara itu merupakan pengejawantahan ajaran Islam yang berlandas rukun iman dan rukun Islam.
Zuhud memiliki pengertian tidak terikatnya hati dengan harta benda secara berlebihan. Kemudian zuhud bisa dalam bentuk amalan dengan tanpa terikat dengan hasil, perkataan tanpa ketamakan, dan kemulyaan tanpa kekuasaan. Zuhud dimaksudkan pada hal-hal yang dilarang.
Zuhud merupakan jalan untuk mencari keridlaan Allah dan kerelaan manusia. Sabda Nabi SAW:
عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiallahuanhu dia berkata: Seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam, maka beliau berakata: Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda, Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia (HR Ibnu Majah).
Sementara wara’ itu lebih kepada kemampuan bertindak untuk menghindari yang perkara syubhat dan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani. Perkara syubhat itu mudah menjatuhkan pada hal yang Allah Swt. larang atau haram.
Adapun perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani menimbulkan keraguan dan kegundahan bagi mereka yang masih punya hati.
*
Imam Nawawi dalam Riyadl al-Shalihin memberikan beberapa contoh hadis Nabi SAW yang mengajarkan perilaku wara’, seperti:
الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar-sama) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa menjaga dirinya dari barang syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun mudah terjerumus ke dalam yang haram (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis lain:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkan apa yang meragukanmu dan lakukan yang tidak meragukan. Sesungguhnya kejujuran itu merupakan ketenangan, sedangkan kedustaan merupakan keraguan. (HR.At-Tirmidzi).
Kedua perilaku tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam amaliah warga persyarikatan. Membangun amal usaha di Muhammadiyah harus didasari sikap zuhud karena apa yang seseorang bangun bukan menjadi milik pembangunnya, melainkan milik umat dan milik Persyarikatan. Semua penggunaan uang juga harus dicatat dengan baik serta dilaporkan secara transparan sehingga jauh dari syubhat.
Tulisan telah terbit di tarjih.or.id