Mengobati Tubuh Demokrasi
PWMJATENG.COM, Pemilihan umum (pemilu) yang sering diibaratkan sebagai pesta demokrasi di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 kali, dari beberapa dekade perjalanannya, mungkin pemilu pada tahun 2019 inilah yang paling dramatis dan paling melelahkan. bagaimana tidak, pemilu yang sering diibaratkan sebagai pesta demokrasi melahirkan beberapa masalah baru. Salah satu masalah yang paling menjadi sorotan adalah pemilu tahun ini melahirkan polarisasi dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan persepsi yang terjadi dalam organ masyarakat justru memunculkan bibit-bibit kebencian yang terus meruncing. Lebih liar lagi, perang urat syaraf antar anggota masyarakat diekspresikan di dunia maya (media sosial) dengan nada provokatif. Inilah babak baru pesta demokrasi yang memberikan awan kelabu bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Polusi kebencian memberikan dampak yang berbahaya bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di negeri ini, karena akan menggerus kualitas nalar public dan berubah menjadi ketidakpercayaan public terhadap sistem ketatanegaraan yang telah ditetapkan. Hatta (1997) telah mengingatkan bahwa, demokrasi di Indonesia secara fundamental didasarkan pada cita-cita perjuangan yang menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Jadi gambaran tentang demokrasi tidak hanya secara sempit hanya dengan pemilu. Jika kondisi seperti ini dipertahankan, maka tidak heran jika pelaksanaan kehidupan demokrasi saat ini lebih berorientasi pada aspek prosedural, sehingga secara kultural belum menunjukkan demokrasi yang ideal. Karena demokrasi yang hanya bersifat prosedural khususnya dalam pelaksanaan pemilu (demokrasi electoral) justru sulit mewujudkan demokrasi yang sebenarnya.
Pendidikan Demokrasi
Sejatinya seluruh elemen dalam kehidupan masyarakat perlu kembali memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat awam terkait dengan pentingnya pendidikan demokrasi. Karena saat ini masyarakat hanya memahami pendidikan demokrasi dari sudut politik secara sempit, hanya sekedar pemilu. Pendapat di atas sangat mendasar terhadap jika melihat kondisi praktik demokrasi saat ini, sehingga substansi nilai-nilai demokrasi sering diejawantahkan. Tidak heran jauh-jauh hari kekhawatiran tentang sistem demokrasi sebenarnya telah lama dirasakan, bahkan semenjak kemunculannya pertama kali kira-kira 5 abad sebelum tarikh Masehi dalam masa Yunani Antik di kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan, salah satunya keraguan dari sang filsuf Sokrates (Kleden, 2004) yang cenderung menolaknya. Menurut Sokrates, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Sokrates tentulah memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, bukanlah selalu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka.
Maka rekonstruksi pendidikan demokrasi kiranya sangat penting untuk membangun cita-cita kehidupan masyarakat yang lebih demokratis. Pendidikan demokrasi tidak hanya dilihat dari aspek partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam kontestasi pemilu, namun perlu dipahamkan kembali bahwa demokrasi juga terkait dengan sikap hidup. Sehingga Hatta menambahkan, jika demokrasi bukan hanya masalah kekuasaan tetapi secara politik juga dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Namun, hal tersebut juga harus diperkuat dengan kedudukan demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Oleh karena itu peran dari pemerintah, institusi pendidikan, organisasi politik (parpol) dan masyarakat harus mampu memberikan dampak yang nyata terhadap pendidikan demokrasi yang utuh pada masyarakat.
Maka, untuk membangun kehidupan demokrasi, paling tidak mencakup dua hal : struktur dan sosiokultur. Struktur merupakan instrumen yang diperlukan untuk dapat memberikan fasilitas berlangsungnya demokrasi, misalnya berupa undang-undang, keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga yudikatif, pemilihan umum dan lain-lain. Mungkin jalan cepat dalam memperbaiki struktur demokrasi bisa diciptakan dan disediakan dalam waktu yang relatif singkat serta diimpor, namun perlu diingat bahwa harus menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat supaya dapat memperkuat demokrasi. Sedangkan sosiokultur demokrasi tidak bisa diimpor atau diciptakan dalam waktu yang pendek. Sosiokultur demokrasi harus dikembangkan secara bertahap, perlahan-lahan seirama dengan kondisi dan perkembangan masyarakat, kemudian diperkuat oleh perilaku yang mengedepankan etika dalam demokrasi oleh seluruh elemen kehidupan masyarakat, sehingga diharapkan dapat mengobati tubuh demokrasi menjadi lebih sehat dan ideal.
Elly Hasan Sadeli
Dosen PPKn UMP dan mahasiswa S3 UNY