Jumari: Umat Islam Harus Menumbuhkan Kesadaran untuk Menjaga Ifah

PWMJATENG.COM – Dalam ceramahnya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, mengulas tema yang sangat relevan dalam kehidupan modern: menjaga kehormatan diri, atau dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah ‘ifah (العفة). Ia menegaskan bahwa ifah merupakan salah satu pilar penting dalam membentuk karakter Muslim sejati.
Menurut Jumari, ifah adalah kemampuan seseorang untuk memelihara kehormatan diri dari segala bentuk hal yang merendahkan martabat, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. “Harga diri seseorang itu tidak tergantung pada status sosial, jabatan, wajah, atau kecantikannya. Tapi pada kemampuan mengendalikan diri agar tidak dikendalikan oleh orang lain,” tegasnya.
Lebih lanjut, Jumari menjelaskan bahwa konsep ifah dalam Al-Qur’an mencakup tiga aspek utama, yakni menjaga kehormatan dalam hubungan seksual, pengelolaan harta, dan menjaga kepercayaan orang lain.
Ifah dalam Hubungan Antar Lawan Jenis
Aspek pertama yang dijelaskan Jumari adalah ifah yang berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, menjaga pandangan dan pergaulan menjadi bagian penting dari penjagaan kehormatan diri. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Surah An-Nur ayat 30–31:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَـٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ ۖ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka… Katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya…”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk tergoda. Oleh karena itu, keduanya diperintahkan menjaga pandangan dan kehormatan.
Jumari juga menyinggung soal pengelolaan pakaian sebagai bentuk hijab lahiriah. Pakaian bukan hanya pelindung fisik, tetapi juga identitas dan penjaga moral. Menurutnya, pakaian yang menutup aurat secara sempurna menjadi bagian dari sistem proteksi diri seorang Muslim.
Pakaian dan Simbol Kehormatan
Jumari mengutip dua ayat Al-Qur’an yang membahas perintah menutup aurat, yakni Surah An-Nur ayat 31 dan Surah Al-Ahzab ayat 59. Dalam Surah Al-Ahzab dijelaskan:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali (sebagai perempuan baik-baik) dan karena itu mereka tidak diganggu.”
Baca juga, Panglima Tinggi Dzulfikar: KOKAM Adalah Perisai Ideologi dan Moral Bangsa
Menurut Jumari, jilbab bukan hanya menutupi kepala, tetapi harus menutupi seluruh bagian tubuh yang berpotensi menggoda. Ini bukan sekadar simbol keagamaan, tetapi perisai dari gangguan dan bagian dari pengakuan sosial sebagai perempuan yang menjaga kehormatan.
Ia juga menyinggung perkembangan sosial mengenai pemakaian jilbab di Indonesia. Dahulu, menurutnya, perempuan berjilbab mudah dikenali sebagai yang salehah karena belum banyak yang mengenakannya. “Dulu, jilbab itu menjadi indikator kesalehan perempuan. Tapi sekarang, karena sudah lazim, perlu dikaji lagi bagaimana kualitas akhlaknya,” ujarnya.
Ifah dalam Pengelolaan Harta dan Kepercayaan
Selain dalam relasi seksual dan penampilan, ifah juga berkaitan erat dengan pengelolaan harta dan amanah. Sayangnya, dalam ceramah tersebut, Jumari belum banyak mengulas dua aspek ini. Namun secara umum, dalam literatur Islam, seseorang dikatakan memiliki ifah jika ia tidak tamak terhadap harta dan mampu menjaga amanah yang diberikan kepadanya, baik berupa jabatan, rahasia, atau tanggung jawab lainnya.
Konsep ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Orang yang dimintai nasihat adalah orang yang diberi amanah.” (HR. Abu Dawud)
Jadi, kehormatan tidak hanya dijaga melalui perilaku kasat mata, tetapi juga dalam hal ketulusan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Menjadi Muslim yang Berkepribadian Ifah
Jumari menutup ceramahnya dengan ajakan agar umat Islam menumbuhkan kesadaran untuk menjaga ifah dalam seluruh aspek kehidupan. Ia menekankan bahwa kemampuan menjaga kehormatan diri menjadi kunci kebebasan spiritual seorang Muslim.
“Kalau kita tidak bisa mengendalikan pandangan dan perilaku, maka kita akan dikendalikan oleh orang lain dan oleh hawa nafsu. Itulah yang membuat kita kehilangan harga diri,” pungkasnya.
Dalam dunia yang serba terbuka ini, menjaga ifah menjadi tantangan besar. Media sosial, budaya populer, dan arus informasi bebas bisa mengikis batasan-batasan moral. Namun, dengan bimbingan Al-Qur’an dan pemahaman yang benar, seorang Muslim tetap bisa menjaga marwahnya.
Seperti ditegaskan dalam firman Allah:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya…” (QS. Al-Mu’minun: 5)
Ayat ini mempertegas pentingnya kontrol diri sebagai bentuk konkret ifah. Bukan hanya melindungi dari zina, tetapi juga dari kehinaan dan ketidakterhormatan yang mungkin terjadi di tengah pergaulan bebas.
Dengan demikian, ifah bukan sekadar konsep moral, tapi merupakan kompas hidup yang membimbing umat Islam untuk hidup mulia, terhormat, dan selamat di dunia maupun akhirat.
Ass Editor : Winda Friska Novia; Editor : M Taufiq Ulinuha