
PWMJATENG.COM, Surakarta – Fenomena udara dingin yang melanda wilayah Jawa dan sekitarnya belakangan ini tengah menjadi perbincangan hangat. Warga menyebutnya sebagai bediding, sebuah istilah lokal untuk menggambarkan hawa dingin yang menusuk terutama di pagi hari. Namun, menurut pakar geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), hal ini bukan sesuatu yang luar biasa.
“Fenomena bediding seperti yang kita alami saat ini merupakan siklus tahunan yang biasa terjadi pada musim kemarau, khususnya antara bulan Juli hingga September,” ujar Yuli Priyana, Dosen Fakultas Geografi UMS saat diwawancarai pada Kamis (17/7).
Fenomena ini ternyata memiliki penjelasan ilmiah yang berkaitan erat dengan pergerakan angin dan posisi matahari. Mengutip informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dilansir Antara, Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi Jawa Timur, Linda Firotul, menjelaskan bahwa bediding dipicu oleh hembusan Angin Timuran dari Australia.
Yuli pun menambahkan bahwa angin muson dari Australia terbentuk karena saat ini kawasan tersebut sedang berada dalam musim dingin. Akibatnya, udara dingin dari Australia bergerak menuju Indonesia, terutama ke bagian selatan seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
“Karena Australia sedang musim dingin, tekanannya tinggi. Sedangkan Indonesia lebih panas sehingga tekanannya rendah. Udara secara alami bergerak dari tekanan tinggi ke rendah, inilah yang membawa udara dingin ke wilayah kita,” jelas Yuli.
Ia juga menjelaskan bahwa selama bulan Juli hingga September, posisi matahari lebih banyak menyinari belahan bumi utara. Hal ini membuat belahan selatan, seperti Australia, mengalami suhu yang lebih rendah karena kurang menerima sinar matahari.
Baca juga, Menimbang Tokoh dan Praksisme Islam di Media Sosial
Selain pergerakan angin, kondisi langit juga menjadi penyebab utama dinginnya udara di pagi hari. Menurut Yuli, pada musim kemarau langit cenderung cerah dan minim awan. Akibatnya, pada siang hari bumi menerima radiasi matahari secara langsung, tetapi saat malam datang, panas tersebut dengan cepat lepas ke atmosfer.
“Saat tidak ada awan, panas bumi mudah keluar pada malam hari. Inilah mengapa suhu bisa sangat dingin hingga pagi,” imbuhnya.
Di tengah fenomena ini, warganet ramai mengaitkan suhu dingin dengan peristiwa aphelion—yakni saat bumi berada pada titik terjauh dari matahari. Namun, Yuli menepis anggapan tersebut.
“Aphelion memang terjadi, tetapi dampaknya terhadap suhu di bumi sangat kecil. Tidak ada hubungan langsung antara aphelion dengan bediding,” tegasnya.
Fenomena ini bukan hanya memengaruhi kenyamanan, tetapi juga berpotensi berdampak pada kesehatan. Menurunnya suhu udara bisa menyebabkan daya tahan tubuh melemah sehingga masyarakat lebih rentan terserang penyakit.
“Tubuh manusia memiliki mikroorganisme yang menjaga keseimbangan. Namun, jika imunitas menurun, maka akan lebih mudah jatuh sakit,” jelas Yuli.
Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk lebih waspada dan menjaga kesehatan selama periode cuaca dingin ini. Yuli menyarankan agar warga menggunakan pakaian hangat, menjaga asupan makanan, dan mengonsumsi minuman hangat untuk menjaga kondisi tubuh tetap stabil.
“Fenomena ini mungkin akan berlangsung hingga akhir musim kemarau. Jadi penting bagi masyarakat untuk menjaga diri agar tetap sehat,” pungkasnya.
Kontributor : Besti
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha