Tradisional atau Modernis? Muhammadiyah dan Jalan Tajdid dalam Gerakan Islam

Tradisional atau Modernis? Muhammadiyah dan Jalan Tajdid dalam Gerakan Islam
Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Perdebatan antara konservatisme dan modernisme dalam gerakan Islam masih menjadi topik yang relevan. Sebagian kalangan merasa bangga menjadi konservatif yang mempertahankan nilai-nilai lama, sementara sebagian lainnya memuja modernisme yang berpijak pada perubahan dan inovasi. Bahkan ada pula yang mengambil posisi tengah melalui istilah seperti post-traditionalisme dan post-modernisme.
Pertanyaannya, mana yang lebih baik: mempertahankan warisan atau menyesuaikan diri dengan zaman?
NU dan Muhammadiyah: Dua Pendekatan
Jika hendak disederhanakan, Nahdlatul Ulama (NU) sering diidentikkan dengan tradisionalisme. NU mengedepankan rujukan terhadap kitab-kitab klasik, mempertahankan kultur feodal, praktik taqlid, dan unsur mistik dalam praktik keagamaan.
Sementara itu, Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan modernis dalam Islam. Gerakan ini menekankan kesederhanaan dalam beragama, tetap merujuk kepada ulama klasik, namun juga terbuka terhadap ulama kontemporer. Yang utama, Muhammadiyah menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah Maqbûlah sebagai dasar, melalui pendekatan Manhaj Tarjih.
Dengan kultur egaliter, rasional, dan kritis, Muhammadiyah menjunjung tinggi semangat tajdid atau pembaruan. Seperti slogan Gontor, al-muhâfazhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik), Muhammadiyah mengekspresikannya secara lugas dalam dua kata kunci: Tarjih dan Tajdid.
Konservatif dalam Bingkai Modern
Konservatisme dalam bingkai modernisme bukan berarti mundur. Demikian pula, modernisme dalam bingkai konservatisme tidak harus dianggap keluar dari jalur. Keduanya bisa bertemu dalam satu titik: wasathiyah, atau moderasi. Inilah yang menjadi inti tajdid Muhammadiyah: tetap murni dalam akidah dan ibadah, namun luwes dalam urusan sosial dan muamalah.
Baca juga, Kepeloporan Hanya Soal Waktu dan Pembuktian
Dalam batin kita, ada keinginan agar nilai-nilai lama tidak sirna—seperti tata krama, unggah-ungguh, penggunaan bahasa halus kepada orang tua, hingga pelestarian kitab-kitab klasik dan warisan sejarah lainnya. Nama-nama institusi seperti Madrasah Diniyah Islamiyah, PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), Rumah Miskin, dan Tabligh mengandung nilai historis dan ideologis yang kuat.
Namun, ketika nama-nama tersebut berubah menjadi Sekolah, PKU (Pembina Kesejahteraan Umum), atau Panti Asuhan, terasa ada jarak yang makin jauh dari akar sejarah gerakan. Perubahan nama seringkali diiringi dengan pelunturan militansi dan hilangnya semangat ideologis.
Antara Identitas dan Regulasi
Konservatisme dibutuhkan, bahkan menjadi fondasi penting. Akan tetapi, realitas zaman menuntut keterbukaan. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan harus tetap berada di garis depan perubahan, tanpa kehilangan akar ideologisnya.
Organisasi telah memberikan panduan kepada warganya untuk bersikap wasathiyah dalam seluruh aspek kehidupan: mulai dari ibadah, intelektual, praksis sosial, hingga pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Semua itu dibingkai dalam semangat tarjih dan tajdid—menjadikan tradisionalisme dalam kendali modernisme sebagai tema besar gerakan.
Dalam praktiknya, masih dibutuhkan penguatan kesadaran ideologis. Nilai-nilai sejarah tidak boleh hilang. Identitas asli, setidaknya dalam bentuk nama dan semangatnya, harus tetap dihidupkan untuk menjaga ruh gerakan. Meski tuntutan regulasi membuat perubahan nama menjadi suatu keniscayaan, ruh penggerak tidak boleh sirna.
Menjaga Obor Peradaban
Kita harus sadar, ketika nama dan identitas lama ditinggalkan, kita kehilangan jejak perjuangan pendahulu. Militansi bisa memudar, semangat ideologis menghilang, dan gerakan menjadi pragmatis. Maka dari itu, penyiraman ruh ideologi melalui pengkaderan seperti Baitul Arqam menjadi sangat penting.
Sayangnya, kesadaran ini masih minim. Bahkan ada yang merasa hal ini tidak penting atau tidak relevan. Jika kesadaran itu tidak segera dibangkitkan, entah sampai kapan kita bisa menjaga obor peradaban itu tetap menyala. Wallâhu a‘lam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha