Bolehkah Membaca Basmalah Saat Wudhu di Kamar Mandi? Ini Pandangan Tarjih Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, Surakarta – Pertanyaan seputar boleh tidaknya membaca basmalah saat berwudu di kamar mandi kerap muncul di tengah umat Islam, terutama dalam konteks rumah modern yang hanya memiliki satu ruangan untuk mandi dan buang air. Dalam ajaran Islam, membaca basmalah sebelum berwudu merupakan sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat dianjurkan. Namun, muncul dilema ketika wudu dilakukan di kamar mandi yang juga menjadi tempat buang hajat.
Dalam Kajian Tarjih Online, Imron Rosyadi, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, menjelaskan bahwa membaca basmalah di tempat najis seperti kamar mandi tidak dianjurkan dilakukan secara lisan. Ia mengingatkan bahwa adab terhadap asma Allah harus dijaga, termasuk dengan tidak menyebutkannya secara lantang di tempat-tempat yang tidak suci.
Menurut Imron, umat Islam yang berwudu di kamar mandi tetap dapat membaca basmalah, tetapi cukup di dalam hati. Hal ini didasarkan pada analogi dari hadis Nabi Muhammad ﷺ yang tidak menjawab salam saat berada di kamar mandi, karena dalam salam terdapat lafaz Allah. Artinya, menyebut nama Allah di tempat buang hajat sebaiknya dihindari secara lisan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “Basmalah itu termasuk dzikir, dan Rasulullah ﷺ dikenal selalu berdzikir dalam setiap keadaan. Maka membaca basmalah dalam hati tetap dianggap berdzikir, dan itu bisa menjadi solusi dalam konteks berwudu di kamar mandi.”
Penjelasan ini sekaligus menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan nilai-nilai kesucian dalam bertindak dan bertutur. Adab terhadap nama Allah menjadi salah satu bentuk ketakwaan yang harus dijaga, termasuk dalam praktik sehari-hari seperti berwudu.
Imron juga mengemukakan bahwa mayoritas ulama sepakat membaca basmalah sebelum berwudu merupakan anjuran yang kuat, meskipun tidak menjadi syarat sah wudu. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan empat mazhab. Imam Syafi’i mewajibkan pembacaan basmalah sebelum berwudu, sedangkan Imam Malik memandangnya tidak wajib. Meski demikian, seluruh mazhab sepakat bahwa membaca basmalah menambah kesempurnaan wudu.
Dalam konteks ini, hadis Nabi Muhammad ﷺ juga menguatkan anjuran tersebut:
لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Meskipun hadis ini menjadi dasar bagi sebagian ulama yang mewajibkan basmalah, mayoritas lainnya menganggapnya sebagai anjuran yang kuat, bukan syarat sah.
Kajian ini pun tidak hanya membahas persoalan basmalah dalam wudu, tetapi juga dalam salat. Imron memaparkan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status bacaan basmalah dalam salat, khususnya dalam hubungannya dengan surat Al-Fatihah.
Baca juga, Mengapa Hati Masih Gelisah Meski Ibadah Rutin?
Mazhab Syafi’i mewajibkan pembacaan basmalah karena menganggapnya sebagai bagian dari ayat pertama dalam surat Al-Fatihah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas) hanya menganjurkannya, dan menganggap basmalah sebagai pembuka yang tidak wajib dibaca dengan suara keras, kecuali pada surat yang memang tidak diawali dengan basmalah seperti At-Taubah.
Dalam praktik Muhammadiyah sendiri, sebagaimana dijelaskan Imron, membaca basmalah dalam salat tidak diwajibkan, tetapi diperbolehkan baik secara jahar (keras) maupun sir (pelan). Ini menunjukkan adanya ruang fleksibilitas dalam pengamalan ibadah yang disesuaikan dengan pemahaman dan lingkungan masing-masing.

Ia menambahkan, “Penjelasan ini menunjukkan adanya ruang fleksibilitas dalam mengamalkan bacaan basmalah, baik dalam wudu maupun salat.”
Imron juga menyoroti pandangan Imam Malik yang cukup berbeda. Imam Malik berpendapat bahwa membaca basmalah tidak disyariatkan dalam salat wajib, baik secara jahar maupun sir. Menurutnya, basmalah bukan bagian dari ayat Al-Qur’an kecuali dalam surat An-Naml yang berbunyi:
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
“Sesungguhnya (surat itu) dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi surat itu): Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 30)
Namun dalam salat sunnah seperti tahajud, mazhab Maliki membolehkan membaca basmalah. Pandangan ini menjadi ciri khas mazhab Maliki yang membedakan dirinya dari mayoritas mazhab lainnya.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah menyarankan agar basmalah dibaca secara pelan dalam setiap rakaat ketika membaca Al-Fatihah dan dianjurkan pula saat membaca surat lainnya. Imam Ahmad bin Hanbal juga berpandangan serupa: basmalah hendaknya dibaca secara sir dalam semua salat, baik fardhu maupun sunnah.
Dalil yang biasa dijadikan rujukan antara lain hadis Anas bin Malik yang mengatakan:
«صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ، فَكَانُوا يَفْتَتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ»
“Aku pernah salat di belakang Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua memulai bacaan dengan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin (tanpa basmalah).” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak mengeraskan bacaan basmalah dalam salat.
Sebagai kesimpulan, Imron Rosyadi menyatakan bahwa dalam praktik salat, membaca basmalah baik saat membaca Al-Fatihah maupun surat-surat lainnya boleh dilakukan secara jahar maupun sir, tergantung pada pola bacaan yang digunakan. Jika bacaan dilakukan secara keras, maka basmalah pun boleh dikeraskan. Jika dibaca pelan, maka basmalah pun cukup dibaca pelan.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha