Memahami Tunangan dalam Islam: Antara Tradisi dan Syariat

PWMJATENG.COM – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tunangan atau bertunangan diartikan sebagai kesepakatan—yang biasanya diumumkan secara resmi—antara dua orang untuk menjadi suami istri. Dalam praktiknya, tunangan merupakan bentuk komitmen antara seorang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, sering kali ditandai dengan pertukaran cincin sebagai simbol ikatan.
Dalam budaya Jawa, tunangan dikenal dengan istilah tetalen, yang berasal dari kata tali. Hal ini menggambarkan bahwa pasangan yang telah bertunangan seolah-olah terikat dalam satu ikatan, sehingga tidak dapat seenaknya memilih pasangan lain kecuali ikatan itu dilepaskan secara sepihak atau berdasarkan kesepakatan bersama.
Variasi Praktik dan Istilah
Di berbagai daerah, tunangan dikenal dengan beragam istilah seperti ta’aruf, acara pra-nikah, dan lain-lain. Meskipun istilah yang digunakan berbeda, substansi acara yang dilakukan cenderung serupa, yakni sebagai langkah awal sebelum pernikahan.
Namun, dalam perspektif Islam, praktik tunangan seperti yang umum dilakukan masyarakat tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an maupun hadis. Istilah tunangan sering disamakan dengan khitbah (melamar), padahal keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Khitbah dalam Pandangan Syariat
Khitbah adalah proses melamar seorang wanita untuk dinikahi, yang biasanya disegerakan menuju akad nikah. Dalam syariat Islam, khitbah dilakukan dengan kesadaran dan kemantapan hati, serta tidak boleh dibatalkan tanpa alasan syar’i. Membatalkan pinangan tanpa alasan yang dibenarkan dapat menyakiti perasaan pihak wanita dan keluarganya, merusak kehormatan, serta memutus silaturahmi.
Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya sampai ia menikah atau ia tinggalkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Larangan dalam Pertunangan
Beberapa kebiasaan dalam pertunangan seperti bertukar cincin, berpegangan tangan, atau mencium kening pasangan adalah hal yang dilarang dalam Islam. Sebab, meski telah bertunangan, keduanya tetap bukan pasangan suami istri yang sah. Karena itu, mereka tetap tidak diperkenankan untuk berduaan (khalwat), bersentuhan, apalagi tinggal serumah.
Baca juga, Rebranding Amal Usaha Muhammadiyah di Era Digital: Saatnya Bertransformasi dengan Teknologi
Hadis dari Ibnu Abbas ra. menegaskan:
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali ditemani mahramnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hak dan Kewajiban dalam Pertunangan
Pernyataan bahwa seorang tunangan laki-laki memiliki setengah kewajiban dari seorang suami adalah tidak berdasar. Dalam Islam, tidak ada kewajiban memberi atau menerima nafkah antara pasangan tunangan. Namun, menjaga komitmen, kehormatan, dan nama baik masing-masing adalah keharusan selama tidak bertentangan dengan syariat.
Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya disakiti…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rambu-rambu Pertunangan Menurut Islam
Untuk menjaga agar tradisi tunangan tidak menyimpang dari syariat Islam, beberapa ketentuan penting harus diperhatikan, antara lain:
- Menjauhi hal yang dilarang agama
Seperti bersentuhan, berkhalwat, atau tinggal serumah. - Menjaga nama baik masing-masing pihak
Tidak menyebarkan aib atau kekurangan pasangan. - Menepati janji yang telah diikrarkan
Mengingkari janji termasuk salah satu ciri kemunafikan (HR. al-Bukhari dan Muslim). - Tidak menarik kembali pemberian
Kecuali jika terjadi pengkhianatan, sesuai hadis Nabi: “Orang yang menarik kembali pemberiannya seperti anjing yang menjilat muntahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) - Menyegerakan pernikahan
Nabi saw. bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu, hendaklah ia menikah…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun, jika penundaan dilakukan karena alasan yang sangat mendesak, maka sebaiknya diformalkan dalam bentuk silaturrahmi antar keluarga. Komunikasi yang baik harus dijalin dengan tetap menjaga adab dan menjauhi aktivitas yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti berkhalwat, berlebihan dalam seremoni (tabzir), atau menunjukkan perilaku yang membuka peluang maksiat.
Ikhtisar
Islam mengajarkan bahwa proses menuju pernikahan harus ditempuh dengan cara yang benar, yakni melalui khitbah, akad nikah, dan walimah. Tradisi pertunangan yang dilakukan masyarakat hanya dapat dibenarkan jika tidak melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan yang hendak menikah untuk memahami perbedaan antara tunangan dan khitbah, serta menjaga adab dan norma Islam dalam prosesnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha