Hijrah, Spiritualitas, dan Tantangan Moral di Era Disrupsi

PWMJATENG.COM – Hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi juga transformasi nilai dan kesadaran spiritual yang lebih dalam. Dalam konteks sejarah Islam, hijrah Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah adalah titik balik pembentukan peradaban Islam. Namun, makna hijrah melampaui perpindahan fisik. Ia mengandung semangat perubahan diri menuju kebaikan yang diridhai Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam hadis ini, hijrah dimaknai sebagai usaha meninggalkan kemaksiatan dan keburukan, beralih pada ketaatan dan kebaikan. Pada era disrupsi saat ini—ditandai oleh perubahan teknologi yang cepat, disinformasi, dan krisis nilai—semangat hijrah perlu dimaknai secara lebih kontekstual sebagai upaya menjaga spiritualitas dan moralitas di tengah gempuran zaman.
Spiritualitas di Tengah Perubahan
Kemajuan teknologi membawa kemudahan dalam beribadah, seperti aplikasi pengingat salat, Al-Qur’an digital, hingga platform kajian daring. Namun, di sisi lain, teknologi juga menjadi ruang baru bagi penyakit hati: riya, ujub, bahkan fitnah. Media sosial kerap menjadi ajang pamer kebaikan, bukan lagi medan dakwah yang ikhlas. Dalam kondisi demikian, spiritualitas harus dibangun dari keikhlasan, kesadaran batin, dan komitmen terhadap nilai-nilai ilahiah.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Baca juga, Resepsi Milad ‘Aisyiyah Jawa Tengah ke-108: Perempuan Pelopor Ketahanan Pangan Nasional!
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan bukan terletak pada kepemilikan teknologi atau popularitas, melainkan pada ketakwaan yang lahir dari spiritualitas yang terjaga. Ketakwaan menjadi kunci menghadapi tantangan moral di era disrupsi.
Tantangan Moral Generasi Digital
Generasi hari ini hidup di tengah krisis identitas dan moral. Nilai-nilai agama seringkali tergeser oleh nilai-nilai instan, pragmatis, dan permisif yang menyusup melalui dunia digital. Pornografi, ujaran kebencian, hoaks, hingga perjudian daring menjadi godaan yang nyata.
Kehidupan yang terfragmentasi antara dunia maya dan dunia nyata turut membingungkan identitas moral seseorang. Seseorang bisa tampak saleh secara daring, tetapi sebaliknya dalam kehidupan nyata. Inilah tantangan besar bagi umat Islam: bagaimana membangun integritas dan konsistensi moral di tengah era digital yang cair dan manipulatif.
Ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi mengingatkan bahwa hijrah bukan hanya transformasi individual, melainkan juga sosial. “Hijrah sejati adalah mengubah masyarakat yang penuh kemungkaran menjadi masyarakat yang dirahmati,” ujarnya. Dalam konteks ini, setiap individu muslim perlu menjadi pelopor perubahan, membawa semangat hijrah ke dalam ruang-ruang publik, baik fisik maupun digital.
Hijrah sebagai Gerakan Moral
Hijrah harus menjadi gerakan moral yang menyentuh tiga dimensi: individu, sosial, dan struktural. Individu dituntut memperbaiki niat, memperkuat ibadah, dan memperkaya ilmu. Secara sosial, hijrah mengajak pada perbaikan akhlak dan solidaritas. Sementara secara struktural, hijrah menuntut peran aktif umat Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kemaslahatan di ranah kebijakan publik.
Dengan menjadikan hijrah sebagai fondasi spiritual dan moral, umat Islam dapat menjawab tantangan era disrupsi. Tidak hanya menjadi korban perubahan, tetapi tampil sebagai subjek yang mampu memengaruhi arah perubahan. Hijrah bukan nostalgia sejarah, tetapi tuntutan zaman.
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ﷻ:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha