
PWMJATENG.COM – Di tengah stagnasi peran sebagian besar masjid di Indonesia, seorang mantan pengusaha kuliner justru mengukir sejarah baru. Namanya Kusnadi. Mantan Direktur Utama Geprek Grup ini memilih meninggalkan bisnis demi menjadi marbot masjid. Pilihan hidupnya sempat membuat keluarga kaget, namun justru keputusan inilah yang melahirkan gerakan besar: menjadikan masjid sebagai pusat solusi umat.
Kusnadi mengaku, awalnya ia tidak benar-benar fokus dalam mengelola Masjid Raya Al-Falah Sragen. Ia diangkat sebagai takmir pada 2016, namun baru mulai serius menata masjid sejak 2019. “Dulu itu cuma sambilan,” ujarnya. Kondisi masjid saat itu masih seperti kebanyakan masjid lain: seadanya. Masjid ditutup setelah salat Isya, lampu dipadamkan cepat karena takut boros listrik, dan aktivitas keummatan nyaris minim.
Takmir masjid berjumlah sekitar 30 orang, tapi rapat hanya dilakukan tiga kali dalam setahun—menjelang Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Bahkan pegawai masjid seperti Roto hanya digaji Rp75.000 per bulan meskipun telah menyapu masjid sejak pukul 04.30 pagi selama 18 tahun. Sementara ustaz dan muadzin digaji Rp300.000 per bulan. “Saya hitung, itu gajinya cuma Rp2.250 per hari. Saya merasa ini tidak adil,” tuturnya.
Kondisi ini membuat Kusnadi merenung. Sebagai kader Muhammadiyah yang juga aktif di Lazismu sejak 2010, ia melihat potensi besar jika masjid dikelola secara serius seperti lembaga profesional. Ia terinspirasi dari keberhasilan Lazismu Sragen. Dari awalnya hanya menghimpun Rp15 juta per tahun, kini Lazismu Sragen mampu mengelola dana hingga Rp22 miliar. Bahkan ketika ia bersama Dodok Sartono dipercaya memimpin Lazismu Jawa Tengah, hasilnya luar biasa: pada 2024, penghimpunan mencapai Rp250 miliar.
Dengan semangat yang sama, Kusnadi mulai membenahi Masjid Raya Al-Falah. Pertama, ia mengganti paradigma. Masjid tak boleh dikelola dengan waktu dan tenaga sisa. Ia merekrut 30 pegawai full-time yang digaji layak. Imam masjid pun mendapat honor rutin. “Kalau imam masjid digaji layak, mereka akan lebih ikhlas karena tidak lagi memikirkan perut,” ujarnya.
Salah satu gebrakan besarnya adalah membuka masjid 24 jam. Awalnya banyak takmir menolak karena khawatir keamanan. Namun Kusnadi menjawabnya dengan solusi: ia merekrut Kokam untuk menjaga masjid dan menggaji mereka dengan upah minimum. Ia juga membongkar sistem parkir berbayar dan menggantinya dengan “Infak Parkir” melalui kotak infak stainless besar di pintu keluar masjid. “Kalau diberi harga, orang memberi pas-pasan. Tapi kalau diberi kepercayaan, mereka memberi lebih,” jelasnya.
Inovasi lainnya adalah dalam manajemen infak. Di pintu masuk masjid, ia meletakkan brankas besar senilai Rp10 juta. Hal ini membuat jamaah merasa percaya diri dan termotivasi memberi lebih. “Malu kalau cuma masukkan Rp1.000 ke dalam brankas yang harganya Rp10 juta,” katanya. Hasilnya luar biasa. Infak Ramadan yang semula hanya Rp9 juta, kini mendekati Rp700 juta.
Program sosial pun digalakkan. Setiap Ramadan, Al-Falah menyajikan 500 porsi buka puasa gratis. Ketika kekurangan dana Rp35 juta, Kusnadi cukup mengumumkan saat salat Jumat. Dalam waktu singkat, kekurangan itu ditutup jamaah—bahkan surplus. “Kuncinya cuma satu: berani bikin program,” tegasnya.
Baca juga, Pemimpin Tidak Dilahirkan, Tapi Dibentuk: Gagasan Transformasional dari Iwan Junaedi untuk Sekolah Muhammadiyah
Lebih dari itu, masjid juga menjadi tempat penyelesaian masalah umat. Mulai dari konflik rumah tangga, jodoh, hingga utang-piutang. Masjid membuka layanan konseling, bahkan membantu menyelesaikan utang jamaah dari pinjol dan rentenir. “Sudah 100 orang kami bantu. Yang terbesar, utangnya Rp8 miliar. Kami dampingi hingga lunas dalam 5 tahun tanpa jual aset,” kisahnya.
Ayat yang menjadi dasar gerakannya adalah:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ ٱللَّهِ مَنْ آمَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْآخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَآتَى ٱلزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ فَعَسَىٰ أُو۟لَـٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS At-Taubah: 18)
Menurut Kusnadi, ayat ini adalah SK langsung dari Allah bagi para pengurus masjid. Ia pun mencetak kaos bertuliskan “PNS”—singkatan dari Pegawai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. “Saya bangga jadi marbot. Ini pekerjaan paling mulia,” ujarnya.
Kini, Kusnadi diamanahi PP Muhammadiyah untuk mendirikan Akademi Marbot Masjid. Kurikulumnya bahkan diadopsi oleh Universitas Muhammadiyah Makassar sebagai Program Magister Manajemen Masjid—satu-satunya di dunia. “Dulu kampus belum percaya diri, sekarang mereka minta sendiri,” katanya bangga.
Perjalanan spiritualnya tidak selalu mulus. Ketika memutuskan berhenti dari dunia bisnis dan fokus menjadi marbot, istri dan anak-anaknya sempat tidak sepakat. “Mereka khawatir soal masa depan dan ekonomi,” kenangnya. Namun setelah dua tahun, dukungan pun mengalir. Kini, sang istri bahkan menyuruhnya terus keliling berdakwah.
Kisah Kusnadi juga menginspirasi banyak orang. Seperti Kasturi, pedagang pisang tanduk di Jambi yang membangun masjid di atas tanah wakaf 4.500 meter. Atau Mas Zal Hendri, mantan pebisnis yang terkena stroke, namun membangun kompleks replika Masjidil Haram, Nabawi, dan Al-Aqsa di tengah kebun sawit. Semua karena tekad membesarkan agama Allah.
“Masjid itu magnet umat. Kalau dikelola dengan baik, semua urusan umat akan selesai. Jodoh, utang, masalah keluarga, semuanya bisa dicari solusinya di masjid,” kata Kusnadi menegaskan visinya.
Kini, Masjid Raya Al-Falah bukan sekadar tempat salat. Ia telah menjadi pusat pembinaan umat, ekonomi, dakwah, bahkan penyembuhan luka sosial. Dan dari sinilah, Kusnadi mengajak seluruh takmir masjid di Indonesia untuk serius mengelola masjid, bukan sekadar menjalankan rutinitas keagamaan.
“Jangan dikelola seadanya. Jangan hanya pakai tenaga sisa. Allah tidak pernah menyuruh kita bekerja dengan cara sisa,” pungkasnya.
Kontributor : Marsya Adriana (Siswa Magang SMK Muhammadiyah 1 Kota Semarang)
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha