
PWMJATENG.COM, Sukoharjo – Perayaan Milad ke-55 SD Muhammadiyah Palur berlangsung penuh haru dan inspirasi. Mengusung tema “Mewariskan Perjuangan”, sekolah ini menyajikan kisah heroik para pendirinya dalam edisi ke-20 Kisah Hikmah Spesial. Sekolah yang berdiri sejak 1970 ini menjadi amal usaha Muhammadiyah pertama di Desa Palur, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.
Kepala SD Muhammadiyah Palur, dalam sambutannya, menyatakan bahwa momentum milad tahun ini bukan sekadar perayaan ulang tahun, tetapi juga ajang refleksi atas perjuangan pendiri sekolah. “Kami ingin generasi muda tidak melupakan akar perjuangan, karena dari situ semangat membangun pendidikan Islam tumbuh,” ungkapnya.
Sekolah ini lahir dari keprihatinan para tokoh Muhammadiyah Ranting Palur atas minimnya pendidikan agama di desa mereka pada masa itu. Saat akses pendidikan formal sangat terbatas, para tokoh lokal seperti Jalal Suyuti dan tiga rekannya—Sastro Slamet, Muhammad Sholeh, serta Qosim—memberanikan diri mendirikan sekolah sederhana dari anyaman bambu.
Kini, SD Muhammadiyah Palur telah berkembang menjadi gedung tiga lantai yang menjadi kebanggaan masyarakat sekitar. Lokasinya yang berdampingan dengan Masjid Kotta Timoer membuat sekolah ini dijuluki “sekolah masjid” oleh warga setempat. Kedekatan antara sekolah dan masjid mencerminkan sinergi antara pendidikan dan dakwah dalam gerakan Muhammadiyah Palur.
Baca juga, Meneladani Strategi Parenting Nabi Ibrahim: Mendidik Anak dengan Keteladanan dan Pengorbanan
Salah satu tokoh penting dalam kelanjutan perjuangan ini adalah Koesroni Aris Sudibyo. Ia diasuh langsung oleh Jalal Suyuti sejak kecil dan tumbuh menjadi pribadi disiplin, berintegritas, dan penuh dedikasi. Meski berkarier sebagai pegawai Departemen Penerangan Kabupaten Karanganyar, Koesroni dikenal luas sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah Palur dan takmir Masjid Kotta Timoer.

Endang Retnowati, putri Koesroni, mengenang sang ayah sebagai figur penyayang dan visioner. “Ayah selalu mengajak kami berdakwah sejak kecil. Ia tidak suka memberi perintah keras, lebih senang berdialog,” ujarnya. Endang juga mengungkapkan bahwa sang ayah memilih memindahkan semua anaknya dari sekolah negeri ke SD Muhammadiyah Palur sebagai bentuk komitmen mendalam terhadap pendidikan berbasis nilai keislaman.
Bahkan untuk mendukung sekolah, para guru awal didatangkan dari luar desa seperti Blimbing dan Wonorejo. Pilihan ini menunjukkan tekad kuat para pendiri untuk menghadirkan pendidikan yang bermutu sejak awal.
Di masa tuanya, Koesroni tetap terlibat aktif. Ia pernah menolak penempatan guru yang tidak disiplin serta menentang rencana relokasi Masjid Kotta Timoer oleh pemerintah. Baginya, masjid tersebut bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol perjuangan dakwah dan pendidikan masyarakat Palur.
Koesroni wafat dalam usia 76 tahun, tepat saat salat Jumat di masjid yang selama puluhan tahun ia rawat. Kepergiannya meninggalkan kesan mendalam bagi keluarga dan warga Muhammadiyah setempat.
“Semangat dan dedikasinya menjadi warisan yang terus hidup dalam jiwa kami,” ujar salah satu pengurus sekolah.
Kontributor : Ahimza
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha