
PWMJATENG.COM – Dalam sebuah pengajian yang digelar RS PKU Muhammadiyah Sruweng, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, menyampaikan refleksi tajam mengenai ketimpangan ekonomi dan bagaimana Islam seharusnya memandu umatnya dalam menghadapi realitas kekayaan. Menurutnya, Islam tidak pernah membiarkan kekayaan beredar hanya di kalangan tertentu atau menguatkan oligarki. Justru, dalam Islam, kekayaan wajib didistribusikan melalui mekanisme zakat.
“Agama kita mengatur agar kekayaan tidak hanya beredar pada orang-orang tertentu. Dalam harta orang kaya terdapat hak orang miskin,” ujarnya dalam forum itu.
Abduh menyoroti bahwa prinsip ini sejatinya juga diterapkan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Meski dikenal liberal dan kapitalistik, negeri itu menerapkan sistem pajak progresif. Orang-orang superkaya seperti Warren Buffet dan Bill Gates dikenakan pajak yang tinggi, sebagai bentuk redistribusi kekayaan untuk kepentingan umum. Ironisnya, Abduh menyayangkan kondisi di Indonesia yang justru sebaliknya. Banyak orang kaya yang justru dibebaskan dari beban pajak dan berbagai kewajiban sosial lainnya.
Lebih jauh, ia mengajak umat Islam menengok sejarah ekonomi dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Mekkah, tempat kelahiran Islam, merupakan kota dagang. Tanpa pertanian dan peternakan yang memadai, satu-satunya kekuatan ekonomi mereka adalah perdagangan. Karena Ka’bah menjadi pusat ziarah tahunan, Mekkah pun ramai oleh para pedagang dari berbagai penjuru.
Namun, kondisi ini menciptakan kesenjangan sosial yang parah. “Sebelum Islam datang, masyarakat Mekkah Jahiliyah sangat maju secara ekonomi, tapi mereka sangat kikir,” terang Abduh. Harta dijadikan simbol status dan alat dominasi, bukan sarana berbagi. Maka, banyak ayat Al-Qur’an turun di Mekkah yang berisi kritik terhadap kaum kaya yang tamak.
Allah Swt. berfirman:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (QS. At-Takatsur: 1)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa hasrat memperbanyak kekayaan bisa melalaikan manusia dari tanggung jawab sosial dan ibadah. Bahkan, Abduh menegaskan bahwa dalam Al-Qur’an, ancaman kepada orang-orang kaya yang kikir cukup keras, karena mereka enggan membayar zakat dan berbagi dengan yang lemah. Hanya mereka yang menjaga salat dan peduli pada sesama yang dikecualikan dari sifat buruk ini.
Baca juga, Haedar Nashir: Jadikan Gerakan Islam Berkemajuan sebagai Jiwa Kehidupan Warga Muhammadiyah!
Umat Islam, kata Abduh, harus menyadari bahwa kekuatan ekonomi adalah pilar penting dalam mempertahankan eksistensi. Ia mencontohkan, sangat sedikit umat Islam yang bisa maju sebagai calon kepala daerah karena tidak memiliki modal ekonomi. “Adakah santri yang punya bank di negeri ini? Tidak ada. Dari sepuluh orang terkaya di Indonesia, tidak ada satupun dari kalangan santri Muslim,” keluhnya.
Hal ini, menurutnya, bukan hanya soal peluang ekonomi, tapi juga menyangkut pertahanan bangsa. Ia mengingatkan bagaimana tragedi kemanusiaan di Gaza dan Suriah bisa terjadi karena lemahnya posisi ekonomi dan politik umat Islam. Dalam analoginya, ia mengatakan bahwa negara-negara besar seperti Republik Rakyat Tiongkok bisa saja sewaktu-waktu mencaplok wilayah Indonesia seperti Kalimantan, terutama jika ketergantungan Indonesia pada investasi asing makin dalam.
“Tidak ada negara kuat yang akan membantu kita. Bisa jadi suatu saat Jawa pun digusur. Apa yang terjadi di Gaza bisa saja terjadi di sini,” ujarnya dengan nada prihatin.
Oleh karena itu, umat Islam harus sadar sejak dini dan membangun orientasi kemandirian ekonomi. Menurut Abduh, menjadi pegawai negeri bukanlah sesuatu yang buruk, namun jika ingin membangun kekuatan umat, maka menjadi pelaku ekonomi seperti pedagang dan wirausahawan adalah jalan yang lebih strategis.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad sendiri dikenal sebagai pedagang andal. Tradisi berdagang ini bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan juga ajaran yang memiliki fondasi kuat dalam Al-Qur’an dan sunah. Kedermawanan, tanggung jawab sosial, dan distribusi kekayaan yang adil merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi Islam.
Nabi Muhammad saw. bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Pesan ini menegaskan bahwa berbagi tidak akan membuat seseorang miskin. Justru, harta yang digunakan untuk membantu sesama adalah harta yang benar-benar bermanfaat dan diberkahi. Maka, menumbuhkan kesadaran zakat, infak, dan sedekah dalam skala luas adalah kunci untuk mengangkat martabat umat.
Di akhir pengajiannya, Abduh menekankan bahwa umat Islam harus menanamkan semangat kemandirian kepada generasi muda. Mereka tidak boleh hanya menjadi pencari kerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja. Ketika umat Islam menguasai sektor ekonomi, maka mereka juga akan memiliki kekuatan untuk memengaruhi arah bangsa dan membela kehormatan sesama umat di tingkat global.
“Kalau umat Islam itu kaya, umat Islam akan kuat,” tegasnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha