Khazanah Islam

Praktik Penggunaan Visa Non-Haji, Murur, dan Tanazul dalam Pandangan Tarjih Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, Surakarta – Praktik penggunaan visa non-haji dalam pelaksanaan ibadah haji kembali menjadi sorotan tajam dalam diskursus keagamaan dan hukum Islam kontemporer. Imron Rosyadi, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, memberikan pandangan kritis terhadap fenomena ini dalam Kajian Tarjih Online yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Selasa, 14 Mei 2024.

Menurut Imron, pelaksanaan haji menggunakan visa non-haji, meskipun secara fikih dinilai sah karena telah memenuhi rukun dan syarat, tetap mengandung unsur dosa. Sebab, tindakan tersebut melanggar aturan negara tuan rumah, dalam hal ini Pemerintah Arab Saudi, serta mencederai prinsip keadilan dalam penyelenggaraan ibadah yang suci ini.

Ia menyatakan, “Perbuatan ini menyalahi aturan negara, melanggar tertib penyelenggaraan ibadah, dan dapat merugikan jamaah lain. Dari aspek fikih, haji seperti ini sah, tetapi berdosa karena menimbulkan mafsadah (kerusakan).”

Pandangan Imron ini tidak berdiri sendiri. Ia merujuk pada prinsip maqāṣid asy-syarī‘ah yang menekankan perlindungan terhadap agama (ḥifẓ ad-dīn), jiwa (ḥifẓ an-nafs), akal, harta, dan keturunan. Dalam konteks haji, pelanggaran terhadap sistem visa berarti mengabaikan nilai tertib dan keadilan yang menjadi bagian integral dari penyelenggaraan ibadah. Selain itu, penggunaan jalur tidak resmi berpotensi menimbulkan kemudaratan, baik bagi pelakunya maupun jamaah lain.

Fenomena lain yang disoroti dalam kajian tersebut adalah praktik murūr di Muzdalifah. Praktik ini merujuk pada sekadar melintas tanpa bermalam di lokasi yang telah disyariatkan. Imron menjelaskan bahwa secara fikih, murur hanya dibolehkan bagi mereka yang memiliki ‘udzur syar‘i, seperti lansia, sakit, atau situasi yang membahayakan keselamatan jiwa. Namun, sebagai bentuk kehati-hatian (iḥtiyāṭ), jamaah dianjurkan tetap membayar dam sebagai kompensasi atas tidak terpenuhinya kewajiban bermalam.

“Murur memang dibolehkan dengan syarat ada uzur syar‘i, tetapi untuk menghindari ketidakabsahan ibadah, tetap disarankan membayar dam,” ujar Imron. Dalam fikih, dam iḥtiyāṭī menjadi bentuk kehati-hatian agar ibadah tetap sah dan diterima.

Baca juga, Dakwah di Tengah Disinformasi: Tantangan Ulama di Era Post-Truth

Pembahasan kemudian merambah pada fenomena tanāzul di Mina, yaitu meninggalkan lokasi mabit dan kembali ke hotel demi kenyamanan pribadi. Menurut Imron, praktik ini tidak dibenarkan dalam fikih kecuali terdapat kondisi darurat atau sakit.

“Jika tidak ada alasan syar’i, seperti sakit atau kondisi darurat, maka tanazul ini tidak memenuhi kewajiban mabit dan wajib mengganti dengan dam,” tegasnya. Hal ini berkaitan dengan kewajiban mabit di Mina yang telah dijelaskan dalam dalil syar‘i dan menjadi bagian dari manāsik haji.

Salah satu ayat yang menjelaskan mengenai rangkaian manasik haji adalah firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 198:

فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

“Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram (Muzdalifah).”

Ayat ini menegaskan pentingnya setiap lokasi dalam rangkaian haji sebagai tempat pelaksanaan ibadah, bukan sekadar titik persinggahan teknis.

Dalam forum yang dihadiri sivitas akademika UMS dan masyarakat umum ini, Imron yang juga dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMS, menekankan pentingnya menyeimbangkan antara pemahaman fikih dan konteks kekinian. Ia menyatakan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah senantiasa membuka ruang ijtihad terhadap isu-isu baru dalam ibadah, termasuk dalam pelaksanaan haji. Namun, ijtihad tersebut tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip syariat dan maslahat umum.

“Kami menyadari bahwa zaman terus berubah, tetapi semangat beragama tidak boleh bergeser dari nilai kejujuran, keadilan, dan kepatuhan terhadap aturan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa salah satu tujuan utama dari pelaksanaan haji adalah mencapai kemabruran, bukan semata-mata menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, seluruh tahapan haji harus dijalani dengan niat yang lurus dan cara yang benar, baik secara legal maupun spiritual.

Imron berharap kajian seperti ini bisa memberikan pencerahan bagi jamaah haji, khususnya warga Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia pada umumnya. “Harapannya, pemahaman yang benar dapat meminimalisasi pelanggaran dan membantu jamaah dalam melaksanakan ibadah secara sah dan mabrur,” pungkasnya.

Kontributor : Fika
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE