Budaya Cancel Culture dan Konsep Tabayyun dalam Islam

PWMJATENG.COM – Fenomena cancel culture kian marak di era digital. Dalam satu klik, seseorang bisa kehilangan reputasi hanya karena cuplikan video, potongan pernyataan, atau tuduhan yang belum tentu benar. Masyarakat dunia maya seolah menjadi hakim yang memutuskan hukuman sosial tanpa proses klarifikasi. Budaya ini bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kehati-hatian, dan sikap tabayyun.
Cancel culture lahir dari keinginan untuk mengoreksi kekeliruan, terutama dalam isu moral, sosial, atau politik. Namun, cara yang ditempuh sering kali mengabaikan prinsip etika. Seseorang bisa dicap bersalah dan diasingkan sebelum diberi kesempatan menjelaskan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menumbuhkan ketakutan, intoleransi, dan bahkan fitnah yang meluas. Di sinilah konsep tabayyun dalam Islam menjadi sangat relevan.
Tabayyun secara etimologis berasal dari kata tabayyana-yatabayyanu, yang berarti meneliti, memeriksa, atau mencari kejelasan. Secara terminologis, tabayyun merujuk pada sikap berhati-hati dalam menerima berita dan tidak tergesa-gesa dalam menilai atau menyebarkannya sebelum memperoleh kejelasan.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya tabayyun dalam surat Al-Hujurat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka telitilah dengan cermat agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menjadi dasar kuat bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk tidak mudah percaya apalagi menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya. Sikap tabayyun menjadi penangkal utama dari fitnah dan prasangka yang dapat menghancurkan keharmonisan sosial.
Lebih jauh, Rasulullah ﷺ juga memberikan pedoman dalam bersikap terhadap informasi. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang disebut pendusta apabila ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengingatkan bahwa menyebarkan informasi tanpa verifikasi bisa menjadikan seseorang terjebak dalam dusta, meski tanpa niat berbohong. Di era media sosial, di mana informasi menyebar dengan cepat, pesan ini menjadi sangat penting.
Baca juga, Ulama Sejati Adalah Ilmuwan: Menafsir Ulang Ulul Albab dalam Cahaya Al-Qur’an dan Sains
Mengaitkan cancel culture dengan ajaran Islam bukan berarti menolak kritik atau koreksi sosial. Namun, kritik harus dibangun di atas prinsip keadilan, klarifikasi, dan kasih sayang. Islam mendorong amar makruf nahi mungkar, tetapi dengan cara yang tidak merendahkan, tidak mencela, dan tidak menciptakan permusuhan. Nabi Muhammad ﷺ sendiri dikenal sebagai sosok yang bijak dan penuh rahmat dalam menghadapi kesalahan umatnya.
Budaya tabayyun juga membawa dampak positif terhadap kesehatan mental dan hubungan sosial. Dengan bersikap kritis dan berhati-hati, umat Islam tidak mudah terjebak dalam emosi, provokasi, atau manipulasi informasi. Sikap ini menjadikan masyarakat lebih tenang, adil, dan mampu membangun peradaban yang bermartabat.
Sebaliknya, cancel culture tanpa tabayyun akan melahirkan masyarakat yang mudah menghakimi, penuh dendam, dan rapuh secara sosial. Padahal, Islam mengajarkan kasih sayang dan saling menasihati dalam kebaikan, bukan saling menjatuhkan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan beragama, tabayyun adalah kunci untuk menjaga persatuan. Di tengah beragamnya latar belakang dan pandangan, kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi menjadi kebutuhan utama. Umat Islam perlu memegang prinsip ini agar tidak terjebak dalam pusaran kebencian yang dibungkus oleh klaim kebenaran semu.
Penutup, budaya cancel culture dapat dikritisi dengan menawarkan konsep tabayyun sebagai solusi Islam yang lebih beradab. Alih-alih langsung mencela, Islam mengajak umatnya untuk memverifikasi, memahami konteks, dan mencari kejelasan. Dengan begitu, masyarakat akan tumbuh menjadi pribadi yang adil, cerdas, dan penuh rahmat.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha