BeritaTokoh

Menjadi Pribadi Mulia: Jalan Menuju Jamal, Kamal, dan Jalal dalam Perspektif Islam

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari menegaskan pentingnya tiga nilai utama dalam membentuk akhlak mulia: pemaaf, menyeru kepada kebaikan, dan menjauhi orang-orang jahil. Ketiganya, menurut beliau, merupakan inti dari adab luhur yang diwariskan dalam ajaran Islam.

Jumari mengawali pesannya dengan mengutip firman Allah Swt dalam Al-Qur’an:

“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”

“Jadilah pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Menurut Jumari, ayat tersebut mencerminkan tiga fondasi penting dalam pembentukan karakter luhur. Pertama dan yang paling mendasar adalah sikap pemaaf. “Kalau seseorang memiliki sikap pemaaf, maka yang harus diperkuat terlebih dahulu adalah kelapangan dada,” ungkapnya.

Kelapangan dada, imbuhnya, bukan hanya soal sabar, tetapi juga tentang cara pandang seseorang terhadap kehidupan. Ketika seseorang memiliki dada yang lapang, ia akan memperoleh tiga hal utama: Jamal (keindahan hidup), Kamal (kesempurnaan hidup), dan Jalal (kemuliaan hidup).

“Orang yang lapang dada akan memandang hidup ini dengan jernih, tidak buram. Ia mampu melihat keanekaragaman dan perbedaan sebagai bagian dari keindahan, bukan beban,” ujar Jumari.

Jamal, atau keindahan hidup, tumbuh dari hati yang luas. Orang seperti ini tidak mudah tersinggung, tidak cepat merasa dirugikan, dan selalu menemukan sisi positif dari setiap peristiwa. Baginya, hidup ini penuh warna, dan warna-warna itu adalah bagian dari keindahan yang harus disyukuri.

Kemudian muncul Kamal, yaitu kesempurnaan hidup yang tercermin dari kebijaksanaan. Orang yang lapang dada mampu menahan diri untuk tidak pamer kebaikan, tidak merasa paling benar, dan tidak merasa paling saleh. Ia menjadi sosok yang rendah hati namun bijaksana.

Jumari menekankan, “Orang bijaksana itu bukan hanya pintar, tapi juga tahu menempatkan diri. Dia baik tanpa merasa lebih baik dari yang lain.”

Kesempurnaan ini, menurutnya, akan membawa seseorang kepada Jalal, yaitu kemuliaan hidup. Hal ini merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an:

“إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ”

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Kemuliaan, jelas Jumari, bukan terletak pada harta, jabatan, atau popularitas, melainkan pada ketakwaan dan kelapangan jiwa. Orang yang memiliki kelebihan, kata dia, akan mudah meluberkan kelebihannya untuk memberi manfaat kepada orang lain. Itulah akar dari sikap pemaaf.

Baca juga, Mana Hewan Kurban Terbaik: Unta, Sapi, atau Domba? Ini Penjelasan Para Ulama

Setelah seseorang mampu menjadi pemaaf, maka ia akan mampu menjalankan perintah kedua, yakni menyeru kepada yang makruf. Hal ini tercermin dalam perintah Allah:

“وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ”

“Dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf.” (QS. Al-A’raf: 199)

Jumari menegaskan bahwa menyeru kepada kebaikan tidak bisa dilakukan jika seseorang belum memiliki kelapangan hati. Tanpa jiwa yang lapang, nasihat hanya akan terdengar sebagai bentuk kesombongan atau pamer kesalehan. “Kalau tidak pemaaf, maka ketika memberi nasihat, orang itu kelihatan seperti membanggakan diri,” tegasnya.

Sebaliknya, orang yang pemaaf akan mampu menyampaikan nasihat dengan penuh kasih, tanpa menyakiti atau merendahkan. Ia tidak merasa lebih tinggi dari yang dinasihati. Ini adalah bentuk dakwah yang efektif dan menyentuh hati.

Sementara itu, perintah ketiga adalah menjauhi orang-orang yang jahil.

“وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”

“Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Jumari menyebut bahwa orang jahil memiliki beberapa ciri. Pertama, suka mengeluh dalam menghadapi cobaan. “Kalau ada masalah sedikit saja, langsung sambat (mengeluh). Orang seperti ini lebih baik didoakan daripada dinasihati,” katanya.

Ciri kedua adalah banyak bicara yang tidak berguna. Dalam istilah yang populer di kalangan anak muda, mulutnya seperti ember: apa saja diomongkan tanpa pertimbangan. “Dia tidak tahu mana yang penting, mana yang tidak. Yang penting bisa tampil,” tutur Jumari.

Ciri ketiga, orang jahil itu mudah marah dan meledak-ledak. Dalam bahasa Jawa disebut pecuah-pecucu, yakni gampang tersinggung dan meluapkan emosi secara berlebihan. Menghadapi orang seperti ini, menurut Jumari, bukan dengan konfrontasi, melainkan dengan sikap tenang dan menjauhkan diri.

“Kalau kita layani kebodohannya, energi kita akan habis. Lebih baik tinggalkan, tapi dengan cara yang sopan,” ucapnya.

Akhirnya, Jumari menekankan bahwa ketiga perintah tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. “Kalau seseorang belum memiliki sikap pemaaf, maka upaya menyeru kepada kebaikan pun bisa jadi salah arah. Dan kalau masih reaktif terhadap kebodohan orang lain, maka hidupnya hanya akan penuh emosi negatif,” tuturnya.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE