BeritaPWM JatengTokoh

Haji Mabrur: Antara Ukhrawi dan Duniawi, Antara Permintaan dan Pujian

PWMJATENG.COM – Di tengah masyarakat muslim, ibadah haji bukan sekadar ritual rukun Islam kelima, melainkan juga puncak spiritualitas yang sarat makna. Namun dari sekian banyak istilah yang menyertai ibadah ini, satu kata yang paling populer adalah “mabrur”. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Tafsir, dalam salah satu ceramahnya menyoroti pentingnya memahami makna haji mabrur secara menyeluruh, bukan hanya dari sisi ukhrawi, tetapi juga dalam indikator-indikator duniawi yang dapat diukur oleh manusia.

Menurut Tafsir, jika merujuk pada kitab-kitab fikih, mayoritas ulama memaknai haji mabrur sebagai makbul, artinya diterima oleh Allah Swt. Namun, ia menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah benar-benar tahu apakah hajinya diterima atau tidak, kecuali kelak di akhirat. Sebab, penerimaan amal sepenuhnya berada dalam wilayah gaib yang hanya diketahui oleh Allah Swt.

“Pertanyaannya,” kata Tafsir, “kapan kita tahu haji itu diterima atau tidak? Jawabannya, tidak akan pernah tahu, kecuali di akhirat kelak.” Karena itu, ia mengajak para jemaah untuk tidak hanya melihat dimensi ukhrawi, tetapi juga memperhatikan tanda-tanda duniawi yang dapat menjadi indikator kemabruran haji.

Dalam kitab Fiqhus Sunnah, sebagaimana dijelaskan oleh Tafsir, Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang ciri-ciri haji mabrur. Jawaban Nabi sangat sederhana, hanya dua: ithaamut tha’am (memberi makan) dan thayyibul kalam (berkata baik). Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah bersabda:

“إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَطِيبُ الْكَلَامِ”

Artinya: “(Ciri haji mabrur adalah) memberi makan dan berkata baik.”

Makna dari memberi makan, menurut Tafsir, adalah bahwa seseorang yang telah berhaji seharusnya menjadi pribadi yang dermawan. Dermawan dalam arti lebih banyak memberi daripada menerima, lebih sering mentraktir daripada ditraktir. Sementara berkata baik, bukan hanya soal volume suara yang rendah, melainkan tentang bagaimana seseorang menjaga lisannya agar tidak menyakiti orang lain.

“Silakan Bapak Ibu ukur diri sendiri,” ujar Tafsir kepada jamaah, “apakah setelah haji menjadi lebih dermawan? Apakah lisan kita sudah lembut, atau malah makin sering menyakiti?”

Ia menambahkan bahwa ukuran kemabruran ini bisa dilihat dari perilaku sehari-hari, termasuk dalam komunikasi digital seperti pesan WhatsApp. Apakah pesan-pesan yang kita kirimkan bernada pujian, atau justru mencela dan menghina?

Baca juga, Keanekaragaman Hukum dalam Islam: Keteladanan Rasulullah dan Kebijaksanaan Para Sahabat

Ceramah Tafsir tidak berhenti di sana. Ia menekankan pentingnya memuji dalam doa. Dalam pandangannya, doa terbaik bukanlah yang penuh permintaan, melainkan yang berisi pujian kepada Allah. Ia menyitir bahwa kalimat thayyibah—ucapan yang baik—yang paling sering diucapkan umat Islam dalam sehari semalam adalah:

“الْـحَمْدُ لِلَّهِ”
“الرَّحْمٰنِ”
“الرَّحِيْمِ”

Kalimat-kalimat itu terdapat dalam basmalah dan alhamdulillah, dan menjadi bukti bahwa Islam sangat menekankan pentingnya pujian dalam ibadah. “Allah itu tidak mau dicela, Allah hanya mau dipuji,” tegas Tafsir. Karena itu, katanya, alih-alih sibuk meminta, umat Islam sebaiknya memperbanyak memuji dalam doa-doa mereka.

Ia memberikan contoh ringan dalam kehidupan rumah tangga. “Ibu-ibu, kalau ingin sesuatu dari suami, tidak usah meminta. Cukup puji saja suaminya. Suami pasti akan memberikan,” ujarnya disambut tawa jamaah. Begitu pula sebaliknya, para suami hendaknya memuji istri agar suasana rumah tangga menjadi lebih harmonis.

Dalam konteks haji, Tafsir menyinggung kebiasaan banyak calon haji yang membawa daftar panjang permintaan doa, baik dari diri sendiri maupun titipan dari orang lain. “Akhirnya bingung sendiri, mana yang mau dipanjatkan, karena saking banyaknya permintaan,” katanya. Padahal, jika ditelusuri dalam doa-doa Nabi saat berhaji, menurut Tafsir, justru yang paling dominan adalah pujian, bukan permintaan.

“Kalau Bapak Ibu baca doa-doa Nabi selama haji, itu jarang yang isinya minta ini-itu. Kebanyakan pujian kepada Allah,” ujar Tafsir sambil menyentil buku pedoman haji yang disusun Kementerian Agama. Buku itu menurutnya terlalu tebal dan cenderung membebani calon haji yang belum hafal.

Pada akhir ceramah, Tafsir mengajak jamaah untuk melakukan introspeksi. “Coba ukur, dalam 24 jam, lebih banyak mana? Kita memuji orang lain atau mencela? Kita memuji Allah atau sekadar minta ini dan itu?” katanya. Ia mengingatkan bahwa haji mabrur bukan hanya tentang ritual di Tanah Suci, tetapi juga soal transformasi pribadi yang dapat dirasakan dan diukur oleh sesama manusia.

Dengan demikian, haji mabrur tidak hanya menjadi misteri ukhrawi yang hanya diketahui oleh Allah, tetapi juga sebuah keniscayaan yang dapat diraih melalui perubahan perilaku sosial: menjadi pribadi dermawan dan santun dalam tutur kata. Dan yang tak kalah penting, memperbanyak pujian dalam doa sebagai bentuk adab kepada Sang Khalik.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

“إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ، وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا”

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku tempat duduknya pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)

Dengan akhlak mulia, tutur kata yang lembut, dan kemurahan hati, semoga haji yang dilaksanakan benar-benar menjadi mabrur—baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan manusia.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE