Agama Sebagai Tameng Manusia dari Ancaman Bahaya AI

Agama Sebagai Tameng Manusia dari Ancaman Bahaya AI
Oleh : Tika Amalia (Mahasiswa UIN Abdurrahman Wahid, Pekalongan)
PWMJATENG.COM – Artificial Intellegence (AI) bukanlah suatu hal yang asing lagi. Kini AI bisa diakses kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja. Layaknya kecerdasan manusia, AI adalah kecerdasan buatan yang mampu berfikir, belajar, dan membuat keputusan sendiri sehingga sistem ini mampu menyuguhkan berbagai informasi, data, dan sangat berkontribusi bagi kemaslahatan hidup manusia. Namun, benarkah demikian?
Salah satu bukti keberadaan AI yang kian marak digunakan adalah kemunculan Chat GPT. Chat GPT AI sedikit banyak berhasil merubah cara manusia memperoleh sebuah informasi, data, bahkan sampai melakukan hal lainnya. Chat GPT memberi jawaban apapun sesuai dengan perintah yang dimasukkan.
Namun, dewasa ini Chat GPT AI banyak memicu pro-kontra dikalangan masyarakat. Dikarenakan pemanfaatan fungsinya yang seringkali menyalahi etika. Beberapa contoh kasus seperti kemampuan Chat GPT AI menyuguhkan animasi Studio Ghibli secara kilat dan instan untuk para penggunanya, hanya cukup dengan beberapa selang waktu ChatGPT AI dapat mengubah foto biasa yang dikirim menjadi animasi Studio Ghibli lengkap dengan gaya khas ghibli karya seniman jepang Hayao Miyazaki, pemilik animasi Studio Ghibli. Peristiwa ini tentunya mendapat kecaman dari Miyazaki yang merasa muak, kecewa, dan merasa ini adalah bentuk penghinaan kepada karyanya.
Hal-hal semacam ini merupakan bentuk ancaman AI bagi manusia dan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kehadiran AI yang bebas sangat mungkin digunakan untuk penyalahgunaan privasi, kebocoran data, pelanggaran hak cipta, sampai pada pemalsuan konten dan identitas, bahkan sampai pemalsuan bukti transaksi transfer.
Tidak cukup sampai disitu, kehadiran AI juga berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia. AI yang kerapkali diandalkan bagi sebagian pelajar dan mahasiswa bahkan masyarakat umum untuk menyelesaikan pekerjaan tugas. Disinilah kemampuan berfikir kritis terpatahkan, ketika informasi atau jawaban dari AI diambil mentah-mentah tanpa tindak lanjut membaca dan mempelajarinya lebih dulu.
Ini juga turut menyebabkan turunnya angka literasi di Indonesia, karena kebanyakan setiap individu kini enggan mempelajari ilmu pengetahuan langsung dari buku-buku maupun jurnal. Melainkan cukup mengakses ringkasan informasi dan pengetahuan lewat AI.
Hal-hal tersebut membuktikan kemudahan yang ditawarkan AI seringkali memanjakan manusia, sehingga manusia lupa akan memperkaya diri dengan terus menggali ilmu, lupa mengasah berbagai skill yang berguna dalam kehidupan.
Baca juga, Ibnu Naser Arrohimi: Bekerja sebagai Ibadah, Menjemput Keberkahan dengan Etos Ikhlas dan Ihsan
Disinilah agama hadir menjadi tameng. Setiap agama apapun menjadi angin segar dengan masing-masing ajarannya yang mempunyai satu kesamaan memerintahkan moral dan etika tetap dalam genggaman manusia. Moral dan etika yang hendaknya slalu dilibatkan disetiap aspek kehidupan. Termasuk dalam menggunakan teknologi (AI).
Dalam kacamata agama sendiri, sama sekali tidak ada larangan manusia untuk menggunakan dan memanfaatkan teknologi (AI). Apalagi Artificial Intellegence (AI) adalah salah satu bentuk nyata adanya perkembangan ilmu pengetahuan. Hal seperti tidak secara gamlang tertuang dalam al-Qur’an , namun jelas dalam Surah Al-Alaq ayat 1-5, wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril, memuat kandungan makna yang mendorong manusia untuk terus mencari dan menggali ilmu pengetahuan.
Agama mengatur manusia agar tidak boleh melampaui batas. Agama membatasi setiap tindakan manusia salah satunya dengan etika dan moral. Dua hal penting ditengah peradapan manusia yang makin maju.
Dalam mengakses teknologi, ketika moral dan etika dihadirkan, dalam diri manusia biasanya akan muncul kesadaran sejauh mana harusnya teknologi digunakan dan dimanfaatkan. Biasanya seorang yang beretika akan lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu, menerima sesuatu, dan memberi sesuatu. Termasuk berhati-hati dan bijak ketika menggunakan teknologi, dalam hal ini AI.
Moral dan etika tidak hanya bermain dalam ranah penggunaan teknologi untuk diri sendiri, tapi bagaimana ketika dengan teknologi untuk sesama manusia harus berempati dan simpati. Bila ini terjadi semua akan berakhir dengan tidak adanya pelanggaran dan tindakan kiminal.
Dengan moral dan etika teknologi akan sangat akrab dengan kebermanfaatannya. Lain hal ketika teknologi berubah menjadi ancaman dan membahayakan, maka disitulah tanda-tanda kematian etika dan moral.
Pada dasarnya, agama selalu menjadi solusi untuk mengatur kehidupan di muka bumi. Dengan adanya agama, seberapa jauh perkembangan teknologi yang dikembangkan manusia tidak akan menjadi “senjata makan tuan”. Tapi justru kemajuan teknologi akan membawa manusia dalam kehidupan yang jauh lebih baik. Maka dalam perjalanannya, perkembangan ilmu (teknologi) harus terus berharmonisasi dengan agama.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha