BeritaTokoh

Sofyan Anif: Pendidikan Muhammadiyah Menjaga Keseimbangan Nilai di Tengah Arus Modernisasi

PWMJATENG.COM – Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, pendidikan sering kali direduksi menjadi sekadar sarana untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi. Namun, Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mengusung konsep pendidikan yang jauh melampaui batas pragmatisme semata. Hal ini disampaikan oleh Sofyan Anif, Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, dalam sebuah ceramah reflektif yang menyoroti esensi pendidikan sejati.

Sofyan mengawali pemaparannya dengan menyandingkan tujuan pendidikan nasional dengan prinsip dasar pendidikan dalam Muhammadiyah. Ia menekankan bahwa sebelum berbicara lebih jauh mengenai pendidikan Muhammadiyah, penting untuk memahami makna pendidikan secara umum. “Pendidikan sejatinya adalah proses transformasi nilai, bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujarnya.

Transformasi nilai yang dimaksud, menurutnya, tidak terbatas pada aspek intelektual, melainkan juga mencakup nilai-nilai yang bersumber dari agama, adat istiadat, serta budaya yang telah disepakati secara kolektif dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi pondasi dalam pembentukan karakter peserta didik, baik di tingkat pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.

Namun, Sofyan mengungkapkan keprihatinannya terhadap pergeseran paradigma pendidikan dewasa ini. Ia melihat bahwa sejak era globalisasi hingga memasuki Revolusi Industri 4.0 bahkan 5.0, konsep pendidikan cenderung menyempit. Pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan kognitif semata. “Banyak pakar yang mengartikan pendidikan sebagai transformasi nilai yang hanya fokus pada iptek. Tujuannya menjadi sangat pragmatis, yakni menghasilkan lulusan yang siap kerja dengan keterampilan teknis,” tutur Sofyan.

Akibatnya, kualitas sekolah atau lembaga pendidikan pun kerap diukur berdasarkan capaian nilai akademik semata. Sekolah dianggap favorit jika nilai ujian nasionalnya tinggi. Ukuran keberhasilan menjadi materialistik dan mengabaikan dimensi nilai yang lebih dalam. “Inilah yang membuat konsep pendidikan menjadi bias,” tambahnya.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah tampil sebagai oase di tengah kekeringan nilai. Sejak awal berdirinya pada tahun 1912, Muhammadiyah telah memprakarsai model pendidikan yang menyeluruh dan holistik. Sofyan menjelaskan bahwa sistem pendidikan Muhammadiyah dirancang untuk melahirkan lulusan yang memiliki empat kekuatan: intelektual (IQ), spiritual (SQ), sosial (SQ), dan emosional (EQ). “Empat kekuatan ini menjadi ruh dari pendidikan Muhammadiyah,” tegasnya.

Baca juga, Masukhi: Ibadah Haji Bukan Sekadar Ritual Fisik, Melainkan Upaya Spiritual untuk Mencari Rida Allah

Konsep tersebut sangat relevan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian yang utuh.

Menurut Sofyan, Muhammadiyah tidak hanya mendorong transformasi pengetahuan, tetapi juga transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Ia mencontohkan nilai ta’āwun atau tolong-menolong yang diajarkan Islam. Nilai ini tumbuh dari akar budaya gotong royong masyarakat Indonesia, namun dikuatkan dalam ajaran Islam sebagai bagian dari karakter sosial yang harus dikembangkan dalam pendidikan.

Sofyan menyayangkan banyaknya lulusan perguruan tinggi dengan predikat cumlaude yang justru terlibat dalam praktik korupsi. “Boleh jadi mereka cerdas secara akademik, tetapi karena miskin nilai spiritual dan sosial, kecerdasannya justru menjadi alat untuk menyalahgunakan wewenang,” katanya. Pendidikan yang hanya mengedepankan aspek kognitif dinilai gagal membentuk manusia yang utuh dan bermoral.

Untuk itulah, lanjutnya, pendidikan Muhammadiyah terus diperkuat dengan pendekatan balanced education. Hal ini tercermin dalam lahirnya berbagai institusi pendidikan unggulan Muhammadiyah yang menyandang label “PK” atau Pendidikan Karakter. TK, SD, hingga SMA dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah kini banyak yang menambahkan embel-embel PK, yang menunjukkan penekanan pada pembentukan karakter siswa secara holistik.

Konsep pendidikan Muhammadiyah juga selaras dengan pesan Al-Qur’an dalam Surah al-Qashash ayat 77:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.”

Ayat ini, menurut Sofyan, menjadi fondasi teologis bagi konsep pendidikan seimbang antara dunia dan akhirat yang digagas Muhammadiyah. Pendidikan bukan semata untuk kepentingan duniawi, namun juga menjadi bekal untuk kehidupan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan harus membentuk manusia yang tidak hanya cakap dalam keilmuan, tetapi juga berakhlak dan berjiwa sosial.

Sofyan menegaskan, jika empat ranah—kognitif, spiritual, sosial, dan emosional—diinternalisasi secara utuh dalam sistem pendidikan, maka akan lahir generasi yang tidak hanya kompeten, tetapi juga amanah. Mereka mampu mengintegrasikan ilmu dengan iman, dan memadukan keterampilan duniawi dengan visi ukhrawi. Inilah keunikan pendidikan Muhammadiyah, yang membedakannya dari pendekatan-pendekatan pendidikan lain.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE