Kritik Budaya Flexing: Islam dan Kesederhanaan Gaya Hidup

PWMJATENG.COM – Fenomena “flexing” atau pamer kekayaan menjadi tren yang marak di era media sosial. Banyak orang berlomba-lomba menunjukkan gaya hidup mewah, barang-barang bermerek, dan liburan ke luar negeri demi mendapatkan pengakuan dan pujian dari warganet. Budaya ini bukan hanya merusak nilai-nilai sosial, tetapi juga bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan menjauhi sifat pamer (riya’).
Flexing tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar, tetapi juga melahirkan budaya konsumtif yang tidak sehat. Dalam Islam, kehidupan yang sederhana justru lebih dianjurkan karena mampu menumbuhkan sikap syukur, rendah hati, dan kepedulian terhadap sesama.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 26-27)
Ayat ini dengan jelas mengingatkan umat Islam agar tidak berlebihan dalam membelanjakan harta. Pemborosan dalam rangka pamer, apalagi untuk tujuan popularitas semata, adalah bentuk kebiasaan yang disukai setan. Sebab, sikap tersebut menumbuhkan kesombongan dan mengikis ketulusan hati.
Nabi Muhammad Saw. sendiri merupakan teladan utama dalam hidup sederhana. Meski beliau memiliki akses pada kekayaan, namun beliau memilih gaya hidup yang bersahaja. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كَثُرَ وَأَلْهَى
“Yang sedikit namun mencukupi lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan.” (HR. Abu Ya’la)
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kebahagiaan bukan terletak pada banyaknya harta, tetapi pada keberkahan dan kecukupan. Hidup yang penuh keberkahan justru hadir dari hati yang qana’ah (merasa cukup) dan tidak terpaku pada penilaian orang lain.
Baca juga, Makna Tawaf dan Kelonggaran Syariat dalam Ibadah Haji: Refleksi Spiritualitas di Tanah Suci
Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya. Namun, kekayaan dalam Islam adalah amanah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan, bukan untuk menyombongkan diri. Sikap pamer atau riya’ dalam Islam termasuk dalam kategori dosa hati yang dapat menghapus amal ibadah seseorang.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang berbuat riya’.” (QS. Al-Ma’un: 4-6)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa riya’, termasuk dalam bentuk memamerkan kekayaan demi citra diri, dapat mencelakakan pelakunya di akhirat kelak. Islam mendorong umatnya untuk memiliki kepekaan sosial, bukan sekadar mengejar prestise duniawi.
Budaya flexing juga memicu iri hati, stres sosial, dan tekanan psikologis, terutama bagi mereka yang tidak mampu mengikuti standar kemewahan yang ditampilkan. Ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menumbuhkan kasih sayang dan keadilan sosial.
Sebaliknya, kesederhanaan mengajarkan umat Islam untuk hidup seimbang, fokus pada hal-hal yang esensial, dan tidak terjebak dalam siklus konsumerisme. Gaya hidup sederhana juga memudahkan seseorang untuk berbagi, memperkuat empati, dan lebih dekat kepada Allah.
Sebagai umat Islam, sudah saatnya kita mengembalikan orientasi hidup kepada nilai-nilai spiritual. Menjadi pribadi yang rendah hati, bersyukur, dan tidak silau dengan gemerlap dunia adalah bentuk jihad modern melawan arus materialisme.
Dalam menghadapi budaya flexing yang merajalela, umat Islam perlu mengingat pesan Nabi Saw.:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَٰكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha