
PWMJATENG.COM, Surakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan tajam dalam beberapa pekan terakhir, memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) mengambil langkah ekstrem berupa penghentian sementara perdagangan. Kebijakan ini ditempuh untuk meredam gejolak pasar dan mencegah kerugian lebih besar di tengah situasi global dan domestik yang penuh ketidakpastian.
“Penghentian sementara ini adalah langkah yang tepat. Risiko investasi saat ini sangat tinggi, dan pasar cenderung tidak rasional. Investor lebih memilih sikap wait and see sambil menanti arah kebijakan ekonomi pemerintah,” ujar Zulfikar, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Senin (21/4).
Menurut Zulfikar, pelemahan IHSG tidak dapat dilepaskan dari tekanan global, seperti perang dagang, gejolak suku bunga Amerika Serikat, hingga fluktuasi nilai tukar rupiah. Namun, ia menegaskan bahwa faktor domestik juga turut memperburuk keadaan. Persoalan struktural, seperti defisit transaksi berjalan, ketergantungan pada impor, serta rendahnya produktivitas nasional menjadi beban tambahan.
Dalam penilaiannya, Zulfikar menyoroti ketimpangan pasar saham saat ini. Ia mengatakan, “Kita sedang menghadapi situasi bid-ask yang tidak masuk akal. Penawaran saham sangat tinggi, tetapi permintaan sangat rendah karena investor ragu terhadap prospek perusahaan.”
Kondisi ini memperlihatkan bahwa portofolio investasi apa pun menjadi tidak menguntungkan. Ia menjelaskan, banyak emiten yang membutuhkan dana, namun investor menahan diri sehingga risiko investasi meningkat tajam.
Lebih lanjut, Zulfikar menyebut bahwa investor kini tengah menunggu sinyal deregulasi dari pemerintah. “Mereka menimbang apakah kebijakan ke depan akan menguntungkan investor dan perusahaan bersama-sama, atau hanya berpihak pada satu pihak saja,” imbuhnya.
Baca juga, Dukung Pemerintah tapi Tetap Kritis! Muhammadiyah Tegaskan Sikap Politik di Tengah Dinamika Kebangsaan
Meski IHSG anjlok, Zulfikar menilai dampaknya terhadap masyarakat luas tidak terlalu besar. Ia menjelaskan bahwa penghentian perdagangan saham tidak menimbulkan guncangan hebat di ekonomi domestik. Justru, situasi ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk kembali membangun fondasi ekonomi nasional berbasis kerakyatan.
Menurutnya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seharusnya menjadi tulang punggung utama ekonomi Indonesia. Ia mengkritik kecenderungan pemerintah yang lebih fokus pada pelaku usaha besar dan menengah, sementara UMKM kerap terabaikan.

“Indonesia seharusnya meniru negara-negara besar seperti China dan India, yang mampu menjaga stabilitas ekonomi domestik dengan memperkuat sektor UMKM mereka,” ujar Zulfikar.
Ia menambahkan, agar UMKM mampu bersaing di pasar global, diperlukan transformasi berbasis inovasi dan teknologi. Pemerintah harus mendorong digitalisasi, orientasi ekspor, serta meningkatkan daya saing produk lokal.
Selain itu, Zulfikar mengkritisi inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional. Ia menyoroti kontradiksi antara semangat berdikari dengan kebijakan impor yang longgar. Menurutnya, langkah konkret yang perlu diambil adalah mengembangkan sektor ekonomi hijau, mempercepat hilirisasi sumber daya alam, dan memperkuat penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Dalam menghadapi ketidakpastian global, Zulfikar menyimpulkan bahwa Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang lebih inklusif, berbasis kerakyatan, serta berorientasi ekspor. Ia menegaskan, “Kalau UMKM diperkuat dan difasilitasi dengan tepat, ekonomi kita tidak harus ikut goyah di tengah badai global.”
Kontributor : Alvian
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha