Tokoh

Kemuliaan Bukan pada Kekayaan, Melainkan pada Ketaatan

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah tausiyah yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, terselip sebuah pesan mendalam yang mengajak kita untuk meninjau ulang cara pandang terhadap kemuliaan hidup. Dengan mengutip mahfudzat Arab لَيْسَ عَيْبًا لِمَنْ كَانَ فَقِيْرًا بَلِ الْعَيْبُ لِمَنْ كَانَ بَخِيْلًا, ia menyampaikan bahwa “bukanlah aib menjadi orang miskin, melainkan aib adalah bagi mereka yang bakhil (kikir).”

Menurut Jumari, pelajaran penting dari ungkapan ini adalah bahwa tidak sepantasnya seseorang merasa hina hanya karena tidak memiliki harta. Demikian pula, tidak dibenarkan merendahkan orang yang hidup dalam kekurangan. Ia menegaskan bahwa kaya dan miskin adalah kenyataan sosial yang seharusnya melahirkan empati, bukan diskriminasi.

“Orang yang memiliki kelebihan harta, namun tidak memiliki kepekaan sosial, justru layak disebut sebagai orang yang hina,” ungkapnya. Kekayaan tanpa kepedulian sosial hanyalah kehampaan yang berbalut kemegahan semu.

Ia lalu mengaitkan pernyataannya dengan firman Allah dalam Surah Al-Fajr ayat 15–20:

فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ ۝ وَأَمَّا إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَانَنِ

Ayat ini menyindir sebagian manusia yang menilai kemuliaan atau kehinaan berdasarkan kelapangan atau kesempitan rezeki. Padahal, menurut Jumari, anggapan seperti itu tidak didasari oleh keimanan, melainkan oleh kebanggaan duniawi semata.

“Orang yang menyebut nama Allah tetapi bukan karena iman, melainkan hanya untuk pencitraan, sejatinya belum memahami hakikat kemuliaan. Penyebutan nama Allah harus datang dari lubuk hati yang dalam,” tuturnya.

Baca juga, Hukum Memalsukan Dokumen Resmi dalam Tinjauan Islam

Lebih jauh, Jumari menegaskan bahwa kemuliaan sejati seseorang tidak ditentukan oleh kekayaan, keturunan, atau jabatan. Semua itu sifatnya sementara. Hari ini seseorang bisa menjadi pejabat atau orang kaya, esok hari bisa saja kehilangan segalanya.

“Kemuliaan yang hakiki adalah ketaatan kepada Allah. Tidak peduli apakah ia kaya atau miskin, yang utama adalah seberapa besar kepatuhan dan ketulusannya dalam beribadah kepada Allah,” ujar Jumari.

Dalam ceramahnya, ia juga menyindir fenomena sosial yang masih marak, yakni masyarakat yang membanggakan kekayaan dan status sosial, tetapi abai terhadap kaum dhuafa. Ia mengingatkan bahwa Al-Qur’an mencela mereka yang tidak peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin, seperti dalam Surah Al-Ma’un:

أَرَأَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ ۝ فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ ۝ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ

“Orang yang mengingkari agama adalah mereka yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong untuk memberi makan orang miskin,” jelasnya, mengutip ayat tersebut.

Menurut Jumari, Islam mengajarkan bahwa relasi sosial antara yang kaya dan miskin harus dibangun atas dasar tolong-menolong dan saling menghargai. Yang kaya menolong yang miskin, dan yang miskin pun dapat menolong yang kaya melalui doa, semangat, atau keteladanan kesabaran.

Ia menutup dengan ajakan kepada seluruh umat untuk menumbuhkan kepekaan sosial dalam diri masing-masing. “Kita semua memiliki tugas yang sama, yaitu memuliakan sesama manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di bumi ini,” katanya.

Dengan demikian, ukuran mulia dalam pandangan Islam bukanlah harta atau kedudukan, melainkan seberapa taat seseorang kepada Allah dan seberapa besar kepeduliannya terhadap sesama. Inilah bentuk kesalehan sosial yang menjadi bukti nyata dari kesalehan spiritual.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE