Editorial

Ziarah

Oleh : Khafid Sirotudin (Ketua LHKP PWM Jawa Tengah)

PWMJATENG.COM – Pagi yang segar dengan sedikit mendung menghiasi perjalanan menelusuri Tol Solo-Ngawi. Waktu menunjukkan pukul 07.15 WIB ketika kami memasuki exit tol Sragen. Minarso Ketua KPU Sragen, Chodri dan Heru dari LHKP-PDM Sragen sudah ‘memapak’ saya di luar pintu tol Sragen. Kami bertiga dengan Minarso dan Chodri semobil menuju Plupuh, sementara Heru membawa mobil saya ke Madrasah Aliyah Dimsa (Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen).

Kehadiran saya hari ini untuk menghadiri 2 agenda. Pertama, ziarah ke makam Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) dan kedua menghadiri undangan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sragen sebagai salah satu pembicara pada Seminar Pra Muktamar ke 48 Muhammadiyah di MA Dimsa.

Sudah dua tahun lalu saya mengutarakan niat kepada Minarso untuk ziarah ke makam leluhur di Sragen. Beliau berjanji dan berkenan mengantar saya jika sewaktu-waktu dikabarkan. Rupanya kesempatan itu baru bisa terlaksana hari ini.

Dari pintu tol Sragen perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 20-25 menit ke lokasi makam Sultan Hadiwijoyo. Tepatnya di dukuh Butuh desa Gedongan kecamatan Plupuh kabupaten Sragen. Kompleks pemakaman berada di tengah pemukiman dengan akses jalan desa yang tidak begitu lebar namun cukup untuk sekedar ‘pas-pasan’ 2 mobil MPV kecil.

Yang menarik perhatian saya, tidak jauh dari lokasi makam (sekitar 50-60 meter) terdapat papan nama Pengurus Ranting Muhammadiyah desa Gedongan yang terpasang di samping rumah penduduk pada pojok gang. Terlihat dari warna cat papan nama yang sudah agak kusam, saya meyakini PRM Gedongan hadir sudah cukup lama disana. Setidaknya memberikan pertanda bagaimana ‘tasamuh’ (toleransi) kehidupan sesama umat beragama (Islam) di desa Gedongan berjalan baik. Mengingat sebagian besar penduduk muslim disitu secara kultural adalah warga NU dan ‘abangan’.

Setiba kami di kompleks makam, terlihat beberapa orang ‘pengelola’ bergotong royong menyiapkan kompleks makam untuk menyambut wisatawan. Dua orang juru parkir sedang membersihkan halaman, seorang terlihat sedang menyapu ‘pendopo’ transit dan beberapa bakul jajanan dan minuman berkemas dengan perlengkapan dagangannya.

Menurut penuturan Haryanto, salah satu penjaga makam yang saya temui, para peziarah datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan Jawa Barat dan Banten. Kompleks makam buka 24 jam. Paling ramai biasanya hari Ahad, bisa mencapai 1000 orang peziarah. Di bulan Syuro (Muharam) bisa lebih banyak lagi, karena ada khaul di situ. Selain hari Ahad dan bulan syuro, selalu ada peziarah yang datang meski dengan kelompok kecil. Ada juga peziarah yang datang malam Jumat dan menginap di ‘emperan’ (teras) masjid atau tidur menggelar tikar di pendopo transit.

Wisata religi (ziarah) ternyata mampu membuktikan diri sebagai pengungkit perekonomian warga desa dan sektor UMKM. Meski masuk ke kompleks makam tidak dipungut biaya, namun setidaknya para peziarah akan memasukkan ke kotak infaq yang ada di dalam masjid, di kompleks makam serta membeli sekedar air minum dalam kemasan, jajanan (kudapan/snack) dan rokok. 3 komoditas yang banyak dijajakan oleh sektor informal UMKM di kompleks makam. Belum lagi jika warga sekitar kreatif menjadikan rumahnya sebagai ‘guest house’ bagi peziarah yang menginap dan berasal dari luar daerah. Maka sudah tepat kiranya apabila pemerintah melalui kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif menjadikan sektor parekraf sebgai salah satu ‘prime mover’ ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Sebagaimana lokasi wisata religi lainnya, di samping makam berdiri masjid/mushola. Setelah parkir kamipun mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat dhuha. Arsitektur Jawa-Islam terasa sangat mewarnai ‘tata ruang’ kompleks pemakaman sejak jaman Mataram Islam pertama hadir di Jawa. Posisi makam berada di sebelah ‘kiblat’ (masjidil haram/barat) masjid, sehingga ketika kita berdoa di makam secara otomatis menghadap kiblat sekaligus menghadap nisan.

Kondisi yang berlawanan ketika kita berada di kompleks masjid Nabawi Madinah, dimana posisi makam Rasulullah Saw., sahabat Abubakar As-Sidiq dan Umar R.a. ‘berlawanan arah’ dengan kiblat sholat. Sehingga ketika kita berdoa menghadap makam Nabi saw. ‘asykar’ (polisi Saudia Arabia) akan bilang ‘haram-haram’ dan menyuruh kita berdoa menghadap ke arah Ka’bah/masjidil haram (membelakangi makam). Bagi seorang muslim, menghadap Baitullah merupakan salah satu adab dalam berdoa.

Makna Ziarah

Kata ziarah adalah serapan dari bahasa Arab, artinya berkunjung, mendatangi, wisata. Dalam terminologi Jawa (Indonesia) ziarah bermakna berkunjung ke makam leluhur, pahlawan, wali, ulama dan tokoh-tokoh agama. Sebuah budaya keagamaan yang baik, sebagai ‘tazkiratul maut’ bahwa setiap manusia akhirnya akan menemui ajal. Juga sebagai pengingat selama kita hidup agar sebanyak mungkin beramal shalih, bermanfaat untuk sesama, umat, bangsa dan negara. ‘Khairun-nas anfa’uhum lin-nas’, sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi sesama

Meski ziarah kubur tidak lazim di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi saya tidak menemukan satu qaidah fiqhiyah-pun yang mengharamkan ziarah kubur dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) maupun fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Berbeda dengan warga NU yang menjadikan kegiatan ziarah sebagai amal shalih budaya keagamaan yang baik, ibadah ghairu mahdhah.

Perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat. Selama kita mampu menempatkan pada porsinya. Mana yang menjadi bagian syariat Allah, mana yang menjadi wilayah fikih dan mana yang berada dalam tradisi keagamaan (budaya/peradaban). Bersyukur saya dilahirkan dari keluarga yang berasal dari 2 arus besar umat Islam Indonesia. Bapak saya dari kalangan NU dan ibu saya dari Muhammadiyah.

Meski tidak secara khusus dan periodik saya melakukan ziarah ke makam leluhur dan Aulia, tetapi sesekali menyempatkan diri untuk ziarah ke makam almarhum Bapak Damanhuri Syiroj di Weleri, Mbah KH Syirojudin dan KH Abdul Manan di makam Tunggu, Sendang Mulyo Tembalang kota Semarang. Juga pernah beberapa kali ziarah ke kompleks makam Kerajaan Demak.

Trah

Dalam peradaban Islam dikenal istilah ‘sanad nasab’, yakni silsilah keturunan berdasarkan hubungan pernikahan (dzuriyah). Islam sendiri bermakna “keselamatan”. Ada 5 jaminan keselamatan dalam agama Islam, yaitu keyakinan, keturunan, kepemilikan (hak milik), jiwa raga dan profesi (pekerjaan).

Dalam budaya Jawa, ada istilah garis keturunan hingga ke-18. Garis keturunan itu disebut dengan Trah. Di keluarga Jawa, orang tua biasa dipanggil dengan sebutan Bapak dan Ibu atau ‘Pak-e dan simbok/mbok-e’. Orang tua dari ibu/bapak disebut Simbah, Embah atau Eyang. Berikutnya trah berturut-turut ke 3 sd 18 adalah Buyut, Canggah, Wareng, Udheg-udheg, Gantung Siwur, Gropak Senthe, Debog Bosok, Galih Asem, Gropak Waton, Cendheng, Giyeng, Cumpleng, Ampleng, Menyaman, Menya-menya dan Tumerah.

Saya dilahirkan dari orang tua, bapak Damanhuri Syiroj bin KH Syirojudin dari Tunggu, Kelurahan Sendangmulyo, Tembalang kota Semarang dan ibu Hj. Mubahanah binti Abdul Rosjid dari Kadirejo, Kecamatan Karanganom, Klaten. Dari penelusuran trah, saya menjadi tahu bahwa nama Jalan KH Syirojudin yang disematkan di depan kompleks Universitas Diponegoro Tembalang Semarang merupakan penghargaan Pemkot Semarang atas jasa besar Mbah KH Syirojudin dalam membangun peradaban di kawasan Tembalang pada masa pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Menurut penuturan para sesepuh, zaman dahulu wilayah Tembalang, Rowosari, Meteseh dan sekitarnya adalah daerah yang rawan keamanan. Disebabkan banyak pelaku kriminal (begal, maling, perampok) berasal dan beraksi di sekitar wilayah itu.

Dengan dakwah bil hikmah, mauidhah hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan, Mbah Buyut KH Abdul Manan mendakwahkan Islam rahmatan lil alamin. Kemudian dilanjutkan oleh mbah KH Syirojudin beserta saudara lain putra-putri Mbah Buyut KH Abdul Manan. Hingga saat ini tugas dakwah dilanjutkan oleh trah KH Abdul Manan hingga ke berbagai kabupaten/kota se Jawa Tengah.

Selain itu dakwah Islam Nusantara Berkemajuan juga dilakukan oleh para santri yang telah dididik melalui berbagai majlis taklim dan pondok pesantren trah (bani) KH Abdul Manan. Tidak saja di wilayah Jateng, tapi juga melebar hingga ke luar pulau Jawa dan luar negeri.

Ketika saya lahir diberi nama Hafidh Syirojudin, mengambil nama belakang mbah KH Syirojudin. Sebuah nama yang ditulis dengan “huruf pegon” (Arab-Jawa) di buku nikah oleh bapak. Saya baru tahu ketika mau lulus SMP, setelah diperlihatkan buku nikah oleh ibu. Sementara ijazah MI/SD saya terlanjur tertulis Khafid Sirotudin. Akhirnya kebablasan hingga sekarang ‘nama formal’ itu yang tercantum di berbagai dokumen resmi milik saya.

Melalui WA Group Bani KH Abdul Manan, saya menjadi mengetahui bahwa Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) adalah mbah ‘Gropak Senthe’ kami. Dan sayapun menjadi mafhum ketika lagu ‘Joko Tingkir Ngombe Dawet’ viral dan terkenal memicu sebagian trah (dzuriyah)-nya tersinggung dan memprotes pengarang lagu itu. Sayapun bersyukur akhirnya pengarang lagu itu meminta maaf secara terbuka, melalui berbagai saluran media sosial, lalu mengganti narasi lagu dengan “Tukang Parkir Ngombe Dawet”.

Sebuah pelajaran berharga bagi kita agar tidak serampangan dalam membuat syair lagu. Mengingatkan saya akan sejarah pertentangan para seniman yang mengusung kebebasan ‘Art for art’ dengan seniman yang memasang tagline ‘art for people’ di masa Orde Lama.

Seperti sesanti yang pernah disampaikan Presiden Soekarno, betapa pentingnya “Jas Merah” (jangan sampai meninggalkan sejarah). Maka ziarah yang saya jalani kali ini ke makam mbah Gorpak Senthe Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) di Sragen menjadi bagian dari ‘melek sejarah’, meneladani laku sosial trah, sekaligus menunaikan pesan keagamaan “birul walidain” yang baik, sebagai amal shalih seorang Jawa-Muslim. Semoga saya tidak ikut terjebak ke dalam “cultural-lag, civilization-gap atau kejumudan millenial”, serta tidak harus terjerumus ke dalam kesyirikan sebagaimana disampaikan oleh sebagian ustadz ketika mengisi pengajian ahad pagi.

Wallahua’lam

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tidak bisa menyalin halaman ini karena dilindungi copyright redaksi. Selengkapnya hubungi redaksi melalui email.

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE