Tujuan Hidup Manusia dalam Kehidupan

Tujuan Hidup Manusia dalam Kehidupan

Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)

PWMJATENG.COM – Setiap individu, organisasi, komunitas, bahkan bangsa dan negara memiliki tujuan (muqosid) dalam hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan jalan atau tariqah yang harus ditempuh. Setiap manusia memiliki cara yang berbeda dalam mencapai tujuannya.

Dalam memaknai kehidupan, penulis (Gus Zul) mengajak anggota Komunitas Ngopi Bareng (Ngobar) yang dibinanya untuk mensyukuri anugerah Tuhan atas setiap ciptaan-Nya. Pada sebuah kesempatan, komunitas ini diajak menyusuri jembatan sepanjang 300 meter dengan ketinggian lebih dari 100 meter, yaitu Jembatan “Gir Pasang” di lereng Gunung Merapi, wilayah paling ujung dan tertinggi di Kabupaten Klaten. Dari sini, mereka bisa melihat Gunung Merapi dari dekat.

Dengan beralaskan tikar di bawah pohon nangka, penulis bertanya kepada anggota komunitas tentang kesan dan pesan mereka setelah sampai di lereng Merapi. Dari sembilan orang anggota yang hadir, banyak yang merasa takjub atas anugerah ciptaan Allah. Mereka menyatakan, “Allah Maha Kaya, hidup di pegunungan membuat masyarakatnya makmur.”

Dari gambaran ini, penulis mengajak untuk bertafakur dan mempertebal iman kepada Allah atas anugerah-Nya. Penulis juga menekankan bahwa gunung dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah yang mengandung banyak manfaat bagi umat manusia. Selain itu, kita harus menjaga dan merawat alam ini. Jika kita tidak menjaganya, alam akan rusak dan membawa ancaman bagi manusia. “Mau tidak mau, kita harus bersahabat dengan alam,” tandas penulis dalam kuliah tujuh menit (kultum) pada Tadabur Alam tersebut.

Baca juga, Umat Menolong Pemerintah Melalui Masjid

Hakikatnya, tujuan hidup kita adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-An’am ayat 162:

إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Inna ṣalātī wa nusukī wa maḥyāya wa mamātī lillāhi rabbil-‘ālamīn

Artinya, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Hikmah yang bisa dipetik dari potongan ayat di atas adalah sebagai berikut:

1. Salat merupakan bentuk penghambaan antara manusia dan Sang Khalik. Dengan melaksanakan salat, kita terjaga dari keburukan dan kemungkaran. Penghayatan dalam salat menjadikan kita insan yang beretika, bermoral, beradab, dan berakhlak, baik secara vertikal kepada Allah maupun secara horizontal kepada sesama manusia.
2. Ibadah mencakup aspek madhoh (ritual) maupun muamalah (interaksi sosial). Dengan menyelaraskan nilai-nilai ini, setiap apa yang kita kerjakan harus bernilai ibadah, baik itu dalam pekerjaan sebagai petani, pedagang, guru, atau buruh.
3. Kehidupan ini dinamis dan terus bergerak. Kita harus mengelola potensi yang ada dengan memperhatikan hukum dan norma dalam kehidupan.
4. Kematian adalah kepastian. Kapan, di mana, dan dalam kondisi apa pun kita akan menghadap Allah. Oleh karena itu, kita harus senantiasa berdzikir, mengingat Allah, dan berbuat kebajikan yang bermanfaat bagi sekitar kita, termasuk bagi alam.

Kita tidak diperbolehkan merusak alam, menebang hutan sembarangan, atau mengeksploitasi bumi tanpa memikirkan masa depan generasi penerus. Jangan sampai tangan kita melukai alam ini, karena pada dasarnya kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Demikian pesan tadabur alam dari lereng pegunungan Merapi, tepatnya di Deles Indah. Selain itu, penulis juga mengajak anggota Komunitas Ngobar untuk berziarah ke makam Ki Ajar Merta Hyang Gatra, kerabat Ki Ageng Mangir, seorang prajurit Kraton Mataram.

Editor : M Taufiq Ulinuha