Transformasi Sosial Keagamaan Muslim Indonesia
Oleh : Andar Nubowo, Ph.D.*
PWMJATENG.COM, Jakarta – Dalam Pengkajian Ramadan 1445 H pada Senin 18 Maret lusa, dihelat PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, saya menyampaikan satu risalah tentang “Transformasi sosial keagamaan Muslim Indonesia, dari pembalikan konservatif ke tradisionalis-moderat”. Di hadapan seribu lebih peserta dari pimpinan wilayah dan daerah Muhammadiyah se-Indonesia, saya berusaha menjelaskan bahwa disrupsi invensi teknologi sosial media memungkinkan gerakan dan organisasi Islam baru (berdiri setelah Reformasi) mempromosikan gagasan keagamaan sosial dan politiknya melalui YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp dan sebagainya.
Pada saat yang sama, gerakan dan Islam lama seperti Muhammadiyah dan NU baru sadar belakangan setelah merasa jauh tertinggal dan juga aset-aset jamaah dan jami’iyyah beralih ke kelompok baru ini. Mulailah dalam sepuluh tahun terakhir, kedua ormas ini giat mengejar ketertinggalan di ruang digital dan “offline”. Lambat laun, intervensi digital kelompok Islam terbesar di Indonesia yang didukung juga oleh kebijakan politik negara/pemerintah Jokowi memungkinkan terjadinya “pembalikan tradisionalisme-moderat” di Indonesia. Kata kuncinya adalah intervensi “moderasi beragama” dan serangkaian kebijakan politik dan hukum dalam paduan kepentingan negara untuk mempromosikan ideologi nasional —- yang bisa dibaca juga sebagai kepentingan kekuasaan atau status quo politik.
Masyarakat Muslim Indonesia tampak mulai berbalik ke arah moderasi. Angka statistik menunjukkan tren dan orientasi belakangan ini. Survei Opinion Lab FOSS UIII pada Desember 2023 lalu misalnya menunjukkan orientasi dan transformasi Muslim Indonesia ke arah ini. Namun demikian, ruang publik Indonesia juga menjadi panggung kontestasi narasi (siapa yang paling moderat), favoritisme, dan juga rezimentasi agama yang mulai kasat di ruang publik. Sejumlah peristiwa di lapangan mengonfirmasi kecenderungan ini.
Baca juga, Strategi Sepakbola Jerman: Evolusi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Selain itu, seperti ditulis sejumlah ilmuwan dalam dan luar negeri, pasca 2016, publik Indonesia juga menyaksikan fenomena “pembajakan demokrasi” melalui serangkaian agenda politik ekonomi yang bersifat represif dan juga akrobasi politik dan hukum di negeri ini. Seperti diungkap sejumlah riset politik dan sosial ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, panggung politik lokal dan nasional menampilkan tren ini tanpa tedheng aling-aling alias telanjang. Sebuah fenomena ganda, yang beriris-arsiran.
Dalam ruangan dan praktik sosial politik dan ekonomi semacam ini, kebijakan dan program moderasi Islam mestinya perlu dikembalikan kepada kelompok sipil, ormas Islam, sebagai aktor utama untuk mensyairkan nilai-nilai moderasi Islam, bukan lagi dipinggirkan dan sekadar menjadi obyek dari proyek ini. Dalam konteks inilah, Muhammadiyah dan juga gerakan Islam lainnya, perlu dan mesti membangun kembali kehadiran mereka di ruang publik, terutama Gen Milenial dan Gen Z yang pola pikir dan perilaku mereka berbeda dengan generasi “kolonial” (baby boomers dan Gen X), melalui dakwah digital dan kultural yang “memanusiakan manusia” dan berorientasi “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuurun” dalam baju zirah keindonesiaan (Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika) serta kemanusiaan universal. Semoga bermanfaat.
*Ph.D. Ecole Normale Superieure (ENS), Lyon FR.
Editor : M Taufiq Ulinuha