Temu Kangen dengan Masyarakat Jawa di Kubu Raya Kalimantan Barat, Tafsir Jelaskan Makna Lontong, Ketupat, dan Opor Ayam
PWMJATENG.COM, Kubu Raya – Melanjutkan kegiatan syiar dakwah di Kalimantan Barat, Ketua PWM Jawa Tengah, Tafsir, memberi tausiyah pada Silaturahim Syawal 1445 H Muhammadiyah Kubu Raya, Sabtu (20/4).
Bertempat di Masjid Muhammadiyah At-Taqwa Rasau Jaya, Tafsir didampingi jajaran PWM Kalimantan Barat, PDM Pontianak, PDM Rasau Jaya beserta jajaran MLO, dan segenap warga Muhammadiyah di Kabupaten Rasau Jaya.
Dalam tausiyahnya, Tafsir, menjelaskan bahwa Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah. Di mana pada Bulan Ramadan, berkah dan kebaikan semakin bertambah (ziyadatul barokah, ziyadatul khoir).
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa ungkapan “Mohon maaf lahir dan batin” bukan sesuatu yang salah. Sebab, ungkapan ini merupakan perwujudan memaafkan sesama manusia.
Tafsir kemudian menjelaskan filosofi lontong, ketupat, dan lontong opor di dalam tradisi Idulfitri masyarakat Indonesia.
Lontong merupakan kepanjangan dari olone dadi kothong (jeleknya jadi kosong), hal ini bermakna memaafkan kesalahan satu sama lain. Kemudian ketupat merupakan wujud dari istilah lepat (kesalahan). Di mana ketika saling bermaaf-maafan terucap, “Ngaturaken sedoyo lepat nyuwun ngapunten” (Segala kesalahan mohon dimaafkan). Selanjutnya opor ayam, opor merupakan translasi dari ghofur dan ayam adalah jamak dari kata “hari” (yaum-ayyam) dalam bahasa Arab. Sehingga ketika digabungkan yaumul ghofur, yang artinya adalah hari pemaafan.
Baca juga, Timteng Membara Pasca Iran Gempur Israel, Ini Tanggapan Muhammadiyah!
Kemudian Tafsir juga menjelaskan bahwa tradisi Halalbihalal merupakan nilai Islam yang menjadi (budaya) milik masyarakat Indonesia.
“Halalbihalal merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang dilakukan sesudah hari lebaran baik di kalangan instansi pemerintah, perusahaan dan dunia pendidikan,”jelasnya. Selanjutnya ia menjelaskan kegiatan ini tentu saja menjadi tradisi tahunan yang unik dan tetap dipertahankan serta dilestarikan. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling berbagi kasih sayang pasca lebaran.
Pada kenyataannya, tambah beliau, perjalanan hidup manusia selalu tidak bisa luput dari dosa. Dosa yang paling sering dilakukan adalah kesalahan terhadap sesamanya, seperti iri hati, permusuhan dan saling menyakiti. Halalbihalal merupakan peristiwa penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Dalam kacamata Islam, halal bihalal bertujuan untuk menghormati sesama manusia dalam bingkai silaturahmi.
Menurutnya, halalbihalal dilihat dari sisi silaturahmi dapat menjadi perantara untuk memperluas rezeki dan memperpanjang umur, sebagaimana keterangan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda : “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi.”
Doktor Bidang Islamic Studies itu menambahkan, tradisi halalbihalal ini merupakan produk umat Islam Indonesia. Halalbihalal, tegasnya, tidak hanya menjadi fenomena syari’ah, akan tetapi juga budaya. Maka, tradisi halalbihalal ini harus tetap dilestarikan, terutama bagi kalangan warga Muhammadiyah sebagai salah satu kekayaan kultural Indonesia sekaligus sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja, dan umat beragama.
Di akhir tausiyahnya, Tokoh Muhammadiyah yang terkenal luwes dan lucu itu menyimpulkan, bahwa membangun kultur Idulfitri tidak hanya sebatas dari sisi syari’ah, tetapi juga fenomena budaya. Melalui tradisi halalbihalal yang merupakan bagian dari kreatifitas budaya menjadi warna tersendiri bagi masyarakat muslim Indonesia.
“Mengapa demikian? Karena agama akan kaya, agama akan mengakar dan agama akan mudah diterima masyarakat kalau agama telah menjadi budaya,” pungkasnya.
Sebagai informasi, daerah Rasau Jaya memiliki penduduk mayoritas dari Pulau Jawa. Hal tersebut disebabkan proses transmigrasi yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kehadiran Tafsir sebagai Ketua PWM Jawa Tengah mengobati kerinduan masyarakat Jawa yang tinggal di Rasau Jaya.
Editor : M Taufiq Ulinuha