Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Nikahi Aku dengan Al-Qur’an
Oleh : Abi Ramadhan As-Samarani
Bagian 8
Tertangkap Basah
Sore itu, Ratri dan Sinta sampai di masjid al-Mahabbah jam 16.00-an. Dari depan, kondisi masjid tampak tidak terlalu ramai, tetapi samar terlihat aktivitas anak-anak di dalamnya. Mereka berdua memasuki masjid sambil menengok sekeliling, seperti anak-anak yang mencari mainan yang hilang.
“Eh, Sinta, gimana nih? Kita masuk langsung ke tempat mengaji kah?” Tanya Ratri yang masih ragu-ragu.
“Kita pura-pura saja mau shalat. Jadi, nanti kita bisa coba melihat-lihat ruangan lain. Atau kita duduk di teras saja, gitu!? Jawab Sinta.
“Kita duduk saja dulu di teras, yah. Nanti baru kita masuk kalua kondisi sudah aman.” Kata Ratri.
“Emang di masjid tidak aman?” Olok Sinta pada Ratri.
“Gak gitu juga, kali! Maksudku, kita masuk setelah suasana memungkinkan.” Balas Ratri.
Keduanya pun memasuki teras masjid dan duduk di selasarnya. Teras itu cukup luas dan memanjang hamper melingkari Sebagian besar bangunan masjid. Dari situ aktivitas anak-anak mengaji bisa terlihat, meski tidak seluruhnya. Belum berselang lama mereka duduk sambil melihat ke arah anak-anak mengaji, tiba-tiba ada suara sepeda motor sport datang dengan cepat menuju tempat parkir.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (1)
“Ssst, Ratri!” Seru Sinta. “Lihat, siapa itu!?”
“Mana?”
“Itu, tuh! Laki-laki yang berjalan dari tempat parkir menuju teras sebelah sana!”
“Astaga, benar Sin, itu kan kakakku!?” Ratri berseru dengan terkejut. Ratri langsung saja melambaikan tangan ke arah Yadi sambil berlari mendekat. “Kak…Kak Yadi!”
Yang dipanggil tampak terkejut dan menghentikan langkahnya. Yadi tergagap sebentar melihat adiknya berlari menghampiri.
“Kenapa kamu kemari, Rat?” Seru Yadi tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
“Emang gak boleh ya? Kan harusnya kak Yadi senang bertemu aku di masjid!” Jawab Ratri dengan manja.
“Boleh saja, tapi kok tumben kamu bermain di masjid, bukan di mall seperti biasa?” Balas Yadi.
“Ratri sebenarnya kebetulan saja lewat, Kak. Eh, gak sengaja melihat Kakak. Kok bisa sih Kak Yadi di sini?” Langsung saja Ratri menginterogasi kakaknya.
Merasa tidak bisa mengelak lagi, Yadi pun menjawab. “Ceritanya panjang, Rat. Lain kali kuberi tahu. Sekarang aku harus masuk dulu. Ada yang menunggu!’ Yadi berbicara sambil dengan segera masuk ke tempat anak-anak mengaji.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (2)
“Beneran, nih, Kakakmu ikut mengaji bareng anak-anak, Ratri?” Tanya Sinta penuh keheranan.
“Mana kutahu, Sin! Saat kauberitahu di WA-Group kemarin, kukira kakakku hanya sekedar mampir di sini. Ternyata, yang terjadi lebih dari sekedar kebetulan. Ia masuk tempat mengaji. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sin. Kita tungguin kakakku sampai selesai, yah?”
“Baiklah, Ratri. Tapi nanti jika terlalu sore, mungkin sebaiknya kamu nanti pulang bareng kakakmu saja. Biar aku tidak bolak-balik anterin kamu!”
“Okelah, Sinta. Terima kasih, ya! Kamu, sobat yang baik, deh!” Seringai Ratri pada sobatnya itu.
Kembali mereka duduk di teras. Kali ini lebih dekat dengan tempat mengaji. Sesekali mereka berdua mendekati ruang mengaji dan mengintip ke dalam. Terlihat Yadi begitu tekun dan khidmat duduk berbaris Bersama anak-anak di hadapan dua orang Ustaz.
“Eh, Sin. Lumayan cakep juga tuh Ustaznya!” Kata Ratri sambil berbisik.
“Hush, kamu ini! Begitu melihat pengajian bukannya ikut mengaji, malah mengincar Ustaznya. Hadeh!” Ujar Sinta sambel menggelengkan kepala.
Ratri hanya membalas dengan senyum nakal ala anak remaja. Lalu mereka kembali ke teras masjid untuk menunggu Yadi keluar dari ruang mengaji.
Tak berselang lama, masuklah motor Mio ke parkiran. Lalu, lewatlah seorang gadis yang tampak mungil tapi lincah di hadapan mereka. Meski wajahnya memakai masker, tetapi raut wajahnya terlihat bersih dan matanya bulat. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kulitnya putih terawat. Saat melewati Ratri dan Sinta, ia kurang memperhatikan keduanya, karena pandangannya tertuju pada tempat anak-anak mengaji.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (3)
“Hei, Sinta! Siapa tuh? Ngapain ia begitu fokus pada anak-anak mengaji, sampai-sampai bersikap cuek pada kita?!”
“Entahlah, mana kutahu. Tapi ia menuju tempat wudlu. Mungkin hendak shalat, Rat.” Tebak Sinta sambil mengangkat bahu tanda tidak tahu.
Setelah sekitar satu jam menunggu, akhirnya Yadi pun keluar. Melihat Ratri masih menungguinya, Yadi pun datang menghampiri.
“Lho, kok masih di sini, kalian? Apa sebenarnya yang kalian lakukan? Jangan bilang kalian mau shalat, lho!” Kata Yadi langsung mencecar pertanyaan pada Ratri dan temannya.
“Emang kenapa kalau kita mau shalat, Kak? Gak boleh? Anehlah, Kakak ini!” Kata Ratri sambil memonyongkan bibirnya.
“Boleh-boleh saja. Tapi, gak biasanya kamu shalat, Rat. Makanya, keberadaanmu di sini menjadi agak aneh.” Yadi berkata sambil menyelidik.
“Idih, kakak ini. Biasanya kakak juga gak pernah shalat. Kok tiba-tiba berkeliaran di masjid, sih? Nah loh. Ada apa gerangan?” tanya Ratri penuh selidik.
“Yah, Kakak perlu perubahan, Rat. Masak sudah seusia begini masih saja kakak berlaku seperti remaja dan menghabiskan waktu di jalanan. Sebagai muslim, tidak mungkin juga Kakak terus-terusan meninggalkan kewajiban agama! Apalagi usiaku sudah tidak muda lagi. Gimana dong kalau nanti aku mati, tapi bekalku minim?” Jawab Yadi. Jawaban Yadi itu membuat Ratri tersindir. Apa yang dikatakan Yadi sebenarnya terjadi pada diri Ratri. Tetapi Ratri tidak ingin tampak terpojok.
“Sejak kapan kakak jadi alim? Jangan-jangan….hmm kakak punya maksud tertentu!?” Seru Ratri tidak mau kalah.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (4)
Belum sempat Yadi menjawab, matanya tertuju pada seorang gadis yang baru keluar dari ruang shalat perempuan dan berjalan mendekat. Untuk menuju tempat parkir, orang yang dari ruang shalat perempuan memang harus melewati teras tempat Yadi, Ratri, dan Sinta berada.
Gadis yang baru keluar itu juga kebetulan melihat Yadi. Ia tampak gelisah dan kebingungan, antara terus berjalan atau berbalik. Karena untuk menuju parkir harus lewat lorong di sepanjang teras, mau tidak mau gadis itu pun akhirnya berjalan, dengan kepala tertunduk. Saat melewati Yadi dan adiknya, gadis itu tampak kikuk dan salah tingkah.
“Icha! Kaulah itu?” Tanya Yadi saat gadis tersebut melewati mereka.
Sejenak gadis itu berhenti dan melirik ketiga sosok di situ, tetapi segera ia berjalan tanpa menjawab pertanyaan Yadi. Sekali lagi Yadi bertanya, tetapi gadis itu tetap diam dan mempercepat langkahnya. Hampir saja Yadi mengikuti Langkah Icha kalau tidak ingat ada Ratri dan temannya di situ.
Ratri dan Sinta yang berada di situ saling berpandangan. Kejadian ini membuat mereka bertanya-tanya tentang siapa gadis itu, apa hubungannya dengan Yadi, dan mengapa ia juga berada di masjid itu.
“Kak…Kak…!” Seru Ratri. Seruan itu mengembalikan Yadi pada alam kesadarannya yang terserap oleh sosok yang baru saja lewat. Sosok Icha bak magnet bagi Yadi sehingga sekelebat bayangannya pun mampu membuatnya terkesima.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (5)
“Siapa, gadis itu? Apakah teman kakak? Cantik juga gadis itu. Benar kan, Sinta?” Ratri bertanya menyelidik seraya menggoda kakaknya.
“Anu…Ehm…enggak, bukan!” Jawab Yadi tergagap dengan wajah memerah.
Sontak jawaban Yadi yang terlihat grogi dan mimik wajah yang berubah itu membuat Ratri menjadi usil.
“Nah, ketahuan! Rupanya kakak ke sini karena ada sesuatu. Ehem…. Icha namanya?!” Goda Ratri pada kakaknya.
“Sudah, jangan berisik!” Yadi memotong dengan suara agak meninggi. “Ayo kita pulang saja. Atau kamu mau mengaji pada Ustaz Bahrul!”
“Oh, jadi Kakak mengaji pada Ustaz Bahrul, ya?” Tanya Ratri dengan mata berbinar.
“Apa kamu kenal Ustadh Bahrul?” tanya Yadi
‘Enggak, kok. Tapi cakep nggak sih, Ustaz Bahrul? Kalau cakep boleh dong Ratri ikut mengaji?” Ratri bertanya genit pada Kakaknya.
Baca juga, Nikahi Aku dengan Al-Qur’an (6)
“Sudahlah, kalau mau mengaji harus dengan niat yang benar. Bukan untuk cuci mata!” Tegur Yadi. “Kamu mau pulang bersama Kakak atau temanmu?” Tanya Yadi.
“Eh, Sinta. Aku pulang dulu yah. Aku ikut kakakku dan kamu langsung pulang sendiiri!” Kata Ratri yang diikuti anggukan kepala Sinta.
Mereka pun menuju tempat parkir Bersama. Sepanjang jalan menuju tempat parkir, Ratri masih menyempatkan diri untuk mengolok Yadi tentang gadis yang tadi lewat dan hubungannya dengan keberadaan Yadi di masjid. Tetapi, Yadi hanya bersikap cuek saja dengan gurauan adiknya itu, ia sudah paham watak dan kelakuan Ratri.
Editor : M Taufiq Ulinuha