Dinasti Abbasiyah dan Realita IMM Jawa Tengah: Sebuah Refleksi
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah dan Realita IMM Jawa Tengah: Sebuah Refleksi
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha (Instruktur Madya IMM Jateng; Eks-Trainer DAP IMM Sulsel 2022)
PWMJATENG.COM – Istilah ‘Dinasti Abbasiya’ yang dilontarkan kawan saya Akmal Ahsan dalam sambutannya pada Pembukaan Musyda XXI IMM Jawa Tengah, menjadikan penulis tergerak untuk berfikir apa makna di balik ungkapan tersebut. Sebagian sebenarnya sudah dijelaskan oleh Akmal dalam diskusi ringan selepas acara pembukaan di seputaran Jalan Majapahit. Namun, perlu kiranya penulis mengambil perspektif lain dalam menginterpretasikan ungkapan tersebut. Mari kita mulai!
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada abad ke-13 menjadi salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam. Dinasti ini, yang pernah menjadi pusat intelektual dan peradaban Islam, berakhir dengan invasi Mongol pada tahun 1258 Masehi. Runtuhnya kekuasaan Abbasiyah seringkali dikaitkan dengan kemunduran moral, lemahnya kepemimpinan, serta konflik internal yang berkepanjangan. Jika kita melihat realita hari ini, khususnya pada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Jawa Tengah, kita dapat menarik beberapa pelajaran dari sejarah. Tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh IMM di Jawa Tengah memperlihatkan adanya kemiripan dengan kondisi yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Abbasiyah, yaitu terkait persoalan struktural, konflik internal, dan pentingnya regenerasi kepemimpinan.
Keruntuhan Dinasti Abbasiyah: Pelajaran dari Masa Lalu
Dinasti Abbasiyah awalnya berdiri kokoh dan menjadi simbol kejayaan peradaban Islam selama lebih dari lima abad. Pada masa jayanya, khalifah-khalifah Abbasiyah mampu menciptakan pusat-pusat keilmuan seperti di Baghdad dan menjadikan Islam sebagai kekuatan intelektual yang disegani. Namun, seiring berjalannya waktu, kekuasaan mereka melemah akibat konflik internal, korupsi, dan kemerosotan moral di kalangan pemimpin. Menurut Bernard Lewis, seorang sejarawan terkenal, “Tidak ada peradaban yang runtuh dari luar sebelum pertama kali melemah dari dalam.” Pendapat ini menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi sebuah organisasi atau dinasti tidak selalu datang dari luar, melainkan dari kelemahan internal.
Pada abad ke-9, Dinasti Abbasiyah mulai mengalami perpecahan ketika munculnya wilayah-wilayah yang mendeklarasikan otonomi, sementara kepemimpinan Abbasiyah semakin kehilangan kendali. Para pemimpin mulai terpecah dalam kepentingan pribadi, sedangkan kehidupan kaum elit di Baghdad semakin jauh dari nilai-nilai Islam yang murni. Kejatuhan moral ini membuka jalan bagi intervensi eksternal, yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan total ketika Mongol menyerang dan menghancurkan Baghdad.
Refleksi Terhadap Kondisi IMM Jawa Tengah
Ketika melihat realitas IMM Jawa Tengah, ada beberapa tantangan yang serupa dengan kondisi Dinasti Abbasiyah. IMM, sebagai organisasi yang dibentuk untuk membentuk kader-kader Islam progresif, kini menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat modern. Masalah yang muncul di tubuh IMM, khususnya di wilayah Jawa Tengah, mencakup ketimpangan struktural, konflik internal, serta persoalan regenerasi kepemimpinan yang masih perlu perhatian serius.
Salah satu masalah utama yang dihadapi IMM Jawa Tengah adalah lemahnya koordinasi struktural. Dalam beberapa kasus, komunikasi antar pimpinan di beberapa level struktural kurang optimal, yang sering kali menyebabkan terjadinya misinterpretasi visi dan misi. Konflik internal juga menjadi isu yang signifikan, terutama ketika terjadi perbedaan pandangan terkait arah gerakan dan tujuan organisasi. Menurut Rafiq Ahmad, seorang ahli sosiologi organisasi, “Ketika sebuah organisasi kehilangan kesatuan visi, maka keberlangsungan organisasi itu akan sangat rentan terhadap perpecahan.” Konflik internal, jika tidak dikelola dengan baik, akan berdampak negatif pada perkembangan organisasi.
Tantangan Regenerasi dan Pemahaman Ideologis
Di samping masalah struktural dan konflik internal, IMM Jawa Tengah juga menghadapi tantangan dalam hal regenerasi kepemimpinan. Pada banyak kasus, regenerasi dalam organisasi sering kali diwarnai oleh pola patronase, di mana pemimpin yang lama cenderung mengarahkan pemilihan kader-kader baru. Hal ini menghambat munculnya pemimpin-pemimpin muda yang mampu membawa inovasi dan perubahan positif. Di sisi lain, generasi baru kadang kurang memahami ideologi dan tujuan awal IMM, yang menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap arah gerakan organisasi.
IMM didirikan dengan tujuan membentuk akademisi Islam yang berakhlak mulia dan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat. Namun, dalam praktiknya, banyak kader IMM yang lebih fokus pada isu-isu internal organisasi ketimbang menyuarakan perubahan sosial yang lebih luas. Agus Rahman, seorang pakar kepemimpinan muda mengarakan, “Organisasi mahasiswa seharusnya berfokus pada pengembangan karakter dan intelektualitas anggotanya, bukan hanya pada kepentingan-kepentingan internal yang seringkali bersifat sementara.” Tantangan regenerasi ini sangat relevan bagi IMM Jawa Tengah untuk memastikan bahwa organisasi ini tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Kembali ke Esensi Perjuangan IMM
Seperti yang terjadi pada Dinasti Abbasiyah, krisis yang dialami IMM Jawa Tengah dapat menjadi momen refleksi untuk kembali kepada esensi perjuangan organisasi. IMM didirikan bukan hanya sebagai wadah mahasiswa Muhammadiyah, tetapi sebagai ruang untuk mengembangkan intelektualitas dan moralitas kadernya. IMM harus memperhatikan nilai-nilai Islam dan menjadikannya sebagai fondasi gerakan, agar tidak terjebak pada konflik internal yang bisa merugikan organisasi.
Krisis dan tantangan yang dihadapi oleh IMM saat ini bisa menjadi kesempatan untuk merumuskan kembali tujuan organisasi yang lebih jelas dan relevan. IMM harus mampu membangun struktur organisasi yang kuat, menciptakan pola komunikasi yang efektif, serta melakukan regenerasi yang sehat untuk menjaga keberlangsungan organisasi. Mengadopsi sikap terbuka terhadap perbedaan pandangan dan kritik akan membantu IMM untuk berkembang dan menjadi organisasi yang lebih matang.
Mengambil Pelajaran dari Sejarah
Mempelajari sejarah Dinasti Abbasiyah dan menerapkan pelajaran-pelajaran tersebut dalam konteks IMM Jawa Tengah dapat memberikan wawasan baru tentang pentingnya membangun fondasi organisasi yang kuat. IMM harus belajar bahwa konflik internal dan kelemahan struktural dapat menghambat tercapainya visi besar organisasi. Penting bagi IMM untuk menjaga nilai-nilai dasar Islam sebagai panduan utama dalam gerakannya.
IMM Jawa Tengah memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang kuat di masyarakat, namun hal ini hanya bisa terwujud jika organisasi tersebut bersatu dalam visi dan misi yang jelas. Dengan menyadari pelajaran dari sejarah, IMM dapat terhindar dari jebakan konflik internal yang merugikan, dan lebih fokus pada tujuan utamanya, yaitu membentuk mahasiswa yang berkarakter, intelektual, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Ikhtisar
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah memberikan pelajaran penting bagi organisasi seperti IMM Jawa Tengah untuk tidak terjebak pada konflik internal dan kelemahan struktural. IMM harus mampu membangun pondasi yang kokoh, memperkuat regenerasi, dan selalu berpegang pada nilai-nilai Islam agar dapat bertahan dan berkembang di tengah tantangan zaman. Sejarah adalah guru terbaik; dengan belajar dari kesalahan masa lalu, IMM Jawa Tengah dapat menjadi organisasi yang lebih baik dan mampu menjalankan peran utamanya sebagai agen perubahan di masyarakat.
Editor : Ahmad