Es Teh; Minuman, Ekonomi, Politik, dan Ideologi
Es Teh; Minuman, Ekonomi, Politik, dan Ideologi
Oleh : Ilham Heriono Adi P (Instruktur DPD IMM Jateng & Sekbid Hikmah PDPM Wonogiri)
PWMJATENG.COM – Siapa yg tidak mengenal salah satu jenis minuman yang diberi nama es teh? Rasa-rasanya hampir semua orang di penjuru negeri ini mengenal tentang apa itu es teh. Es teh menjadi jenis minuman yang sangat familiar bagi masyarakat kita, lantaran keberadaannya yang mudah untuk ditemukan. Hal ini tidak terlepas dari cara pembuatan es teh sendiri yang cukup simpel dan praktis. Bermodalkan air, teh, gula dan tentu saja bongkahan es, maka minuman ini sudah siap untuk disajikan.
Meski jenis minuman ini sangat familiar, tidak serta merta menjadikan es teh sebagai minuman yang digemari oleh semua kalangan. Berbagai macam dalih sering kali diungkapkan untuk menyatakan alasan mengapa khalayak menyukai atau tidak menyukai jenis minuman ini. Sebagai contoh, dari sisi yang menunjukkan kesukaan terhadap es teh, mereka akan cenderung beranggapan bahwa es teh adalah salah satu media terbaik untuk melepas dahaga dengan sensasi dingin yang menyejukkan. Dalih yang lain adalah faktor ekonomis dari es teh itu sendiri. Cost produksi yang minim menjadikan es teh sebagai jenis minuman dengan harga yang terjangkau atau dalam istilah lain yaitu ramah dikantong.
Dari sisi yang sebaliknya pun juga memiliki dalihnya sendiri. Di mana mereka akan cenderung berdalih bahwa es teh dapat menjadi salah satu penyebab influenza (alasan kesehatan), atau alasan yang bisa dibilang klasik fundamental, yaitu tidak suka dengan cita rasa dari es teh itu sendiri dan lebih menyukai rasa dari jenis minuman yang lain. Meski demikian, es teh tetap menjadi primadona bagi sebagian kalangan, dan ini dapat dibuktikan dari fakta lapangan yang terjadi. Di mana fakta itu adalah semakin merebaknya kedai es teh di setiap penjuru daerah.
Marak dan merebaknya kedai kedai es teh di penjuru daerah tak terlepas dari faktor yang kemudian berpengaruh terhadapnya. Di mana salah satu faktornya adalah perubahan iklim dampak dari pemanasan global (global warming) yang menjadikan orang orang merasa lebih cepat haus (dehidrasi) dan membutuhkan sesuatu yang dapat membantu dalam proses melepas dahaga serta membuat tubuh menjadi terasa lebih sejuk. Dan pilihan yang dianggap paling rasional, simpel dan praktis adalah es teh itu sendiri. Kondisi demikian yang tentu saja melahirkan permintaan yang tinggi terhadap es teh.
Tingginya demand terhadap es teh, membuka peluang untuk orang-orang dalam berlomba memperebutkan pasar yang ada. Di mana yang dulu kita mungkin hanya akan menjumpai es teh buatan rumahan (home made) atau di kedai-kedai makanan yang menyajikan es teh, sekarang kita akan dengan sangat mudah untuk menjumpai franchise yang menjajakan es teh. Meramu dan meracik es teh untuk mendapatkan cita rasa terbaik harus dilakukan demi untuk tidak kehilangan momentum yang ada.
Bahkan, di era sekarang sudah banyak yang tidak lagi sekedar menjual minuman dalam arti yang sebenarnya, melainkan sudah mulai menjual nama brand sebagai bentuk legacy dari popularitas merek dagang yang dimiliki. Namun kembali lagi, tidak semua orang memiliki kesamaan menyoal selera dan kesukaan terhadap rasa. Meskipun terdengar subyektif, fakta lapangan memang begitu adanya. Sehingga tidak mengherankan apabila mendapati informasi tentang penjual es teh yang sukses di pasaran ataupun sebaliknya.
Serupa Tapi Tak Sama
Sebelas dua belas dengan kisah es teh, hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada “dunia politik”, khususnya menyoal perpolitikan dalam negeri. Di mana kondisinya dewasa kini mengalami peningkatan trend yang cukup signifikan. Peningkatan trend ini salah satunya dipicu oleh meningkatnya angka melek politik yang bersumber dari cepatnya arus informasi yang ada. Menjadikan isu-isu yang bersinggungan dengan perpolitikan akan sangat mudah sekali diakses oleh semua kalangan.
Baca juga, 5 Modal Umat Islam Indonesia agar Menjadi Pusat Peradaban Dunia
Dampak masifnya perbincangan tentang politik tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap stereotype dari politik itu sendiri. Sebagian yang sedari awal sudah antipati dengan politik tetap akan berusaha mempertahankan argumennya. Demikian juga dengan yang sebaliknya, mereka yang fanatik dengan politik akan tetap berusaha dalam melanggengkan jalan ninjanya tersebut. Hal ini memang suatu kewajaran, mengingat teori dan praktik lapangan tidak semuanya selalu sama dan dapat berjalan mulus seperti yang semestinya.
Segelas Pesan yang Menyegarkan
Berkaca dari segelas es teh dan diskursus singkat politik, rupanya terdapat beberapa point of view yang bisa diambil untuk menambah insight kita dalam menyikapi dinamika dan problematika. Sebagaimana yang pertama adalah kita dapat mencontoh seorang penjual es teh dalam prosesnya mendapatkan cita rasa yang disukai oleh khalayak, maka harus melewati research and development yang tentu saja tidak sesingkat yang dibayangkan. Trial and error pun tidak luput dari setiap langkahnya, sehingga dapat membentuk suatu identitas yang menjadi pembeda dari yang lainya. Dan momentum ini harus dimaknai sebagai sarana membentuk karakter, bukan pragmatisasi langkah untuk sekedar mendapat cuan atau keuntungan belaka.
Berikutnya adalah tentang memaknai aktivitas yang dilakukan. Sebagai penjual es teh, memaknai aktivitas berjualan harus sudah sewajarnya untuk dilakukan dengan jelas. Memaknai aktivitas ini bisa dimulai dengan mengembalikan dan menempatkan pada fitrahnya. Laiknya minuman es teh yang memiliki fitrah untuk menyegarkan tubuh dan melepas dahaga, maka orang-orang yang berjualan es teh harus senantiasa untuk memiliki orientasi yang demikian. Begitupun dengan politik yang secara fitrah yaitu jalan untuk mencapai kemaslahatan. Maka orientasi dari ijtihad yang dibangun serta dijalankan juga harus kembali kepada jalan kemaslahatan. Sehingga dapat menjadi contoh teladan untuk para penjual yang lain ataupun para praktisi politik lainya.
Selanjutnya, selain daripada karakter, identitas, dan integritas yang dimiliki, belum afdol rasanya jika belum menyisipkan perihal konsistensi. Menjadi seorang penjual es teh, konsistensi tetap harus dilakukan untuk menjaga eksistensinya. Begitupun dalam berijtihad politik. Konsistensi dan prinsip tetap harus dijaga dalam prosesnya. Karena akan sangat banyak godaan yang nantinya bisa meruntuhkan benteng ideologi. Memang betul, terkadang kita perlu improve dalam menentukan langkah berikutnya, tetapi pondasi yang dibangun tetap harus pada koridor yang ada sebelumnya.
Sebagai penutup, Prof. Abdul Mu’ti dalam beberapa pertemuan pernah menyampaikan tentang analogi kaleng biskuit yang telah berganti isinya. Tampaknya hal ini juga perlu untuk kita cermati betul. Menjadi pekerjaan rumah yg memang terasa sulit. Namun bukan berarti itu tidak bisa dilakukan. Konsistensi, integritas dan karakter tetap harus dijaga di tengah gempuran “aji mumpung”. Hal ini karena “aji mumpung” memang menggiurkan bagi sebagian kalangan, tapi menjadi sesuatu yg memiliki “aji”, itu yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang.
Editor : M Taufiq Ulinuha