Editorial

Ikhtiar Tim Kamboja Muhammadiyah: Lemah Teles, Gusti sing Mbales

Beberapa waktu yang lalu, kanal ibtimes.id menerbitkan sebuah artikel yang berjudul 1 Triliyun Muhammadiyah, Nggak Pake Pasir. Sejenak penulis membaca dengan seksama artikel tersebut, seketika itupun penulis teringat sebuah parikan Jawa lemah teles, gusti sing mbales. Mungkin parikan Jawa itulah yang selama ini dipedomani juga oleh jamaah dan pimpinan persyarikatan.

Pernah suatu ketika tokoh Muhammadiyah lintas generasi, Alm. KH. Muslim berkata, “Sang Surya tidak pernah berhenti menyinari negri ini, dan tidak pernah minta kembali.” Sebuah pesan sekaligus pengakuan bahwa Muhammadiyah memang selalu berbuat dengan maksimal dan tidak pernah mengharap apapun melainkan hanya mengharap rida Allah Swt. Dalam berbagai situasi dan kondisi bangsa, Muhammadiyah turut berkontribusi aktif membantu masyarakat dan pemerintah. Lebih-lebih pada situasi Pandemi Covid-19 yang sudah satu setengah tahun merenggut kehidupan masyarakat.

Bahkan sebelum pemerintah resmi membuat Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Muhammadiyah sudah terlebih dahulu waspada dengan membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC). Berbagai skema dukungan Muhammadiyah untuk masyarakat telah dilakukan sejak awal pandemi, mulai dari mempersiapkan rumah sakit untuk menangani pasien Covid-19; bantuan logistik untuk ketahanan pangan; suntikan dana untuk ketahanan masyarakat; edukasi promosi kesehatan; shelter isolasi mandiri terpusat pada beberapa amal usahanya; hingga pengurusan jenazah pasien Covid-19.

***

Berbicara terkait pengurusan jenazah pasien Covid-19. Tak banyak juga organisasi kemasyarakatan yang tergerak untuk concern dengan ini; sebagian menilai rumah sakit sudah bisa menangani, tidak sedikit pula yang “takut” untuk melakukannya. Namun, Muhammadiyah yang melihat bahwa hal yang dinilai sepele ini penting untuk diperhatikan, maka Muhammadiyah ikut andil untuk bergerak dalam hal pengurusan jenazah Covid-19, termasuk Muhammadiyah di Jawa Tengah.

Melalui MCCC dan PDM masing-masing kabupaten/kota, muncul Tim Pemulasaran dan Pemakaman Jenazah pasien Covid-19 bak jamur di musim penghujan. Tim ini biasa kita sebut dengan nama Tim Kamboja, namun tak sedikit juga yang menggunakan penamaan lainnya, meskipun dengan tugas yang sama. Muhammadiyah itu terlalu totalitas, begitu menurut penulis.

Padahal kalau kita mau sedikit memelajari, tidak sedikit risiko yang dihadapi oleh Tim Pemakaman dan Pemulasaran jenazah Covid-19, mulai dari risiko kesehatan hingga risiko sosial. Risiko kesehatan bisa didapat mulai dari ketika memandikan jenazah; bertemu dengan keluarga si mayit; atau ketika bertemu orang banyak pada saat pemakaman, sedangkan risiko sosial bisa didapat saat kondisi sosial masyarakat tempat si mayit meninggal masih awam dan tidak menerima SOP pemulasaran atau pemakaman jenazah pasien Covid-19; atau bahkan pada lingkungan dan keluarga relawan yang cenderung memberikan stigma negatif kepada mereka.

***

Dengan risiko yang sangat besar, para relawan Tim Kamboja masih saja bersemangat untuk tetap membantu sesama. Mengapa demikian? Apa motivasi mereka? Tutur seorang relawan yang bercerita kepada penulis, mereka hanya mengharap rida Allah Swt. Tak heran ketika mereka (baca: Tim Kamboja) harum seperti namanya, bahkan harum dalam kesunyian.

Beberapa kali penulis mendapat cerita-cerita menarik dari personil Tim Kamboja di berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah. Mulai dari cerita sedih; haru; senang; bahkan beberapa cerita yang membuat penulis menyerngitkan dahi.

Satu cerita datang dari pusat keramaian Jawa Tengah. Pernah suatu ketika Tim Kamboja harus menangani pemakaman jenazah salah satu rumah sakit persyarikatan, yang mana jenazah tersebut memiliki beban lebih dari 150 kg. Mungkin pemakaman ini akan mudah ketika dilakukan tanpa protokol kesehatan, dengan banyak orang dan medan yang mudah. Namun saat itu, tim yang beranggotakan 6 orang ini harus mengangkat tanpa bantuan karena sesuai protokol, dan dengan medan yang ekstrim. Medan yang dimaksud ini hampir sama ketika kita menuju pemandian alami air panas di Gonoharjo, Kendal; turun tangga, berjalan pada jalan yang cukup jauh, dan menaiki tangga lagi. Di tambah kondisi tanah yang konstruksinya cenderung labil, sehingga harus hati-hati. Rute pertama (turun tangga) memiliki panjang sekitar 100 meter, kemudian rute kedua (jalan datar) memiliki panjang rute 200, dilanjutkan rute ketiga (naik tangga) seratus meter “lagi”; barulah tim sampai di liang lahat yang sudah disiapkan.

***

Cerita menarik lain datang dari salah satu kabupaten yang pada pertengahan tahun ini mencuri perhatian seluruh Indonesia karena lonjakan kasus yang sangat signifikan. Pernah pada suatu hari dengan lusinan kasus kematian, tim harus melakukan operasi pemakaman terhadap beberapa jenazah dari berbagai rumah sakit. Layaknya program bedah rumah, tim berkejaran dengan waktu dan jenazah-jenazah yang sudah mengantri. Dengan hazmat yang sangat rapat, mereka mengambil jenazah satu persatu; membawa menuju pemakaman; membawa jenazah ke liang lahat; menurunkan jenazah; hingga ngurug tanah liang lahat. Waktu yang bisa mereka gunakan untuk istirahat hanya saat Salat Dhuhur dan Salat Maghrib-Isya, selebihnya mereka habiskan untuk memakamkan jenazah bahkan hingga larut malam.

Cerita menarik juga datang dari kabupaten yang sama dengan cerita di atas, di mana Tim Kamboja melakukan pemulasaran jenazah pada pasien isolasi mandiri. Padahal, menurut peraturan Gubernur Jawa Tengah, kematian pasien isolasi mandiri diurus oleh Dinas Kesehatan Kabupaten setempat. Namun pada kejadian ini, terdapat fakta lapangan bahwa bidan desa dan Puskesmas tidak memahami alur penanganan kematian pasien isolasi mandiri di rumah, termasuk dalam hal pemulasaran. Mengapa tim dipanggil? Karena pada saat itu tidak ada yang berani untuk melakukan pemulasaran, termasuk modin yang menurut pengakuan petugas Dinas Kesehatan, sudah mendapatkan pelatihan pemulasaran jenazah pasien Covid-19.

***

Tak terhitung juga, berapa puluh kali Tim Kamboja di beberapa kabupaten/kota yang memakamkan jenazah non-muslim. Beberapa ada yang dirukti sebagaimana biasanya, terdapat pula yang meminta jenazah untuk di kremasi. Apakah tim menolak jenazah non-muslim? Jelas tidak. Untuk memanusiakan manusia, anda cukup menjadi manusia.

Terakhir, ada cerita bahwa suatu kabupaten yang berdampingan dengan provinsi kekuasaan sultan; Tim Kamboja yang bergabung dengan tim lain harus melayani pengurusan jenazah hingga seratus jenazah lebih. Memecahkan rekor Candi Prambanan ya kaawan.

Lantas, mengapa Tim Kamboja Muhammadiyah “senekad” ini dalam berkontribusi pada bangsa? Menurut sependek bacaan penulis, mereka hanya ingin mengamalkan apa yang sudah Kiyai Dahlan ajarkan dulu dalam Surah Al Ma’un; mengamalkan apa yang dimaksud dengan taawun untuk negeri; mengamalkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang sudah seharusnya dilakukan sesama manusia.

Kawan-kawan Relawan Tim Kamboja Muhammadiyah di manapun berada, sehat sehat ya; lemah teles, gusti sing mbales.

Muhammad Taufiq Ulinuha

Pemimpin Redaksi PWMJateng.com, Redaktur Rahma.ID.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE