Sekali Lagi tentang Kelahiran Pancasila

Sekali Lagi tentang Kelahiran Pancasila
Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih PWM Jawa Tengah)
PWMJATENG.COM – Perayaan Hari Lahir Pancasila tahun ini adem ayem. Mungkin karena bertepatan dengan hari Ahad. Namun, ini menandai pula perubahan sudut pandang penguasa saat ini yang punya pandangan sedikit berbeda dengan Hari Lahir Pancasila. Pada Masa Orde Lama, tahun 1959-1966, Presiden Soekarno menyelenggarakan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Kebetulan beliau sedang bersemangat dengan label sebagai “Penggali Pancasila.” Peringatan 1 Juni kembali menyeruak pada tahun 2016.
Namun, pada masa Orde Baru (1967), para penulis buku tentang ke-Pancasila-an era Orde Baru berrsuara lain. Pancasila lahir tanggal 18 Agustus 1945. Secara resmi memang rumusan Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 memang baru ditetapkan tanggal 18 Agustus setelah dirumuskan oleh Panitia Kecil dan mencapai bentuk matangnya dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
Pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1946 memang mengandung istilah Pancasila dan rumusan dasar negara yang lebih jelas dibandingkan Pidato Moh Yamin tanggal 29 Mei atau Pidato Soepomo tanggal 31 Mei, apalagi pidato tokoh-tokoh Islam tanggal 30 Mei yang tidak dimasukkan ke dalam catatan oleh Moh. Yamin. Namun, rumusan sebagai sintesis dari pidato-pidato sebelumnya dan pikiran-pikiran Soekarno yang dipengaruhi oleh Cokroaminoto, Adolf Baars, dan Sun Yat Sen dengan San Min Chu I (nasionalisme, demokrasi dan sosialisme).
Pada pidato tanggal 1 Juni 1945 Soekarno meringkas Pancasila menjadi tiga sila: yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan. Dua pertama mewakili San Min Chui I dan yang terakhir adalah akomodasi atas sikap kelompok Islam. Ketiganya diringkas lagi menjadi gotong royong, yang mencerminkan harapan Soekarno atas persatuan kelompok nasionalis, sosialisasi dan agama (Nasakom) pada tulisan-tulisannya pada tahun 1930-an.
Kuatnya pengaruh sosialisme dalam diri Soekarno sejalan dengan keyakinannya pada historisisme materialisme ala Karl Marx membuat penafsiran Pancasila masa Orde Lama sangat sosialis. Awal tahun 1950-an, suami dari anak angkat Soekarno, Ratna Djuami, yang bernama Asmara Hadi bersikeras, bahwa sikap paling pokok dari Pancasila menurut Soekarno adalah keadilan sosial, baru perikemanusiaan, demokrasi, kebangsaan, dan ketuhanan.
Sebaliknya, Hamka bersikukuh bahwa urat tunggang Pancasila adalah ketuhanan yang maha esa. Itu sesuai dengan urutan Pancasila, baik versi Piagam Jakarta, versi 18 Agustus 1945, versi Konstitusi RIS maupun versi UUDS 1950. Ketuhanan adalah pusat dari akar dari semua sila Pancasila.
Baca juga, Islam dan Gaya Hidup Minimalis: Meneladani Zuhud di Tengah Konsumerisme
Sebaliknya, Sutadjji, seorang tokoh komunis, berpendapat bahwa Pancasila itu kabur batasannya. Pancasila adalah sintesis dari filsafat idealisme dan materialisme yang kontradiktif. Akibatnya Pancasila berpijak pada susunan ekonomi kapitalis sambil main mata dengan susunan ekonomi sosialis.
Perbedaan pemahaman mengenai Pancasila pada tahun 1950-an itu muncul karena Pancasila belum mapan rumusannya maupun pemahamannya. Selain itu, Pancasila, menurut Roelan Abdulgani, penjabar Panjasila dan Manipol, adalah “falsafah matang hasil sintesis dari ide-ide Islam modern, demokrasi modern, Marxisme, ide-ide demokrasi desa asli dan komunalisme asli.” Pendapat Roeslan ini mengacu pada pendapat George Kahin.
Karena itu, tafsir atas Pancasila bss ditarik ke arah yang berbeda-beda. Pada Orde Lama Presiden Soekarno memperkenalkan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK) sebagai penjabaran Pancasila. Rumusan Pancasila pada praktiknya tidak dipakai secara baku, karena pengaruh rumusan 1 Juni 1945 maupun rumusan dalam UUDS 1945, meski sejak 5 Juni 1959 sesuai Dekrit Presiden yang berlaku adalah UUD 1945.
Penjabaran Pancasila ala Orde Lama itu oleh Orde Baru dipandang sebagai penyimpangan karena Pancasila tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Orde Baru, menurut brosur yang dikeluarkan oleh Kodam VIII Brawijaya tahun 1967, ingin menciptakan kondisi sosial politik ekonomi dan budaya yang dijiwai oleh miral Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan landasan idiil Pancasila, landasan strukturil UUD 1945 dan landasan operasional Tap MPR.
Karena itu, Orde Baru menertibkan penyebutan sila-sila Pancasila melalui TAP MPR No II/ 1978 tentang Eka Prasetia Pancakarsa dan Inpres No. 12/ 1968. Pancasila dipahami sebagai keutuhan Sila yang dimulai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena rumusan Pancasila itu adanya pada Pancasila versi 18 Agustus 1945, maka Pancasila lahir tanggal 18 Agustus 1945. Itulah pendapat A.G. Pringgodigdo, yang diamini oleh Nugroho Notosusanto.
Pidato 1 Juni diletakkan sebagai salah satu rangkaian perumusan Pancasila. Rangkaian itu meliputi Pidato Yamin, Pidato Soepomo, dan Pidato Soekarno pada Sidang Pertama BPUPKI, Diskusi Panitia Kecil dan Kesepakatan Panitia Sembilan (Juni), Sidang Kedua BPUPKI (Juli) dan Pengesahan pada 18 Agustus 1945. Pidato 1 Juni bukan pikiran pertama maupun yang resmi tentang Pancasila, tetapi menjadi draft dan usulan mengenai rumusan dasar negara yang paling jelas dan sistematis, namun tidak sama sepenuhnya dengan rumusan Pancasila resmi.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha