Kurban: Manifestasi Kepasrahan Total kepada Allah SWT

PWMJATENG.COM, Surakarta – Menjelang Iduladha, umat Islam di seluruh dunia disibukkan dengan persiapan menyambut salah satu ibadah penting dalam Islam, yakni kurban. Lebih dari sekadar menyembelih hewan, kurban merupakan wujud konkret dari kepasrahan total seorang hamba kepada Tuhannya. Hal ini disampaikan oleh Yayuli, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, dalam Kajian Tarjih Online Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Selasa (27/5).
Yayuli yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Pengalaman AIK dan Kaderisasi Pondok di Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan (LPPIK) UMS, menjelaskan bahwa ibadah kurban tergolong sebagai ibadah mahdhah. Artinya, ibadah ini tidak bisa dimodifikasi atau direkayasa menurut rasio manusia. Ibadah kurban telah ditetapkan oleh syariat secara baku, baik dari sisi waktu pelaksanaan, jenis hewan, hingga tata caranya.
“Ibadah ini adalah bentuk kepasrahan total kepada Allah,” tegas Yayuli. Ia menekankan bahwa kurban adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui penyembelihan hewan tertentu pada waktu yang telah ditentukan, yakni pada tanggal 10 hingga 13 Zulhijah.
Menurut Yayuli, dasar hukum kurban bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah firman Allah dalam Surah Al-Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”
Ayat ini menegaskan perintah langsung kepada umat Islam untuk berkurban sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Selain itu, Surah Al-Hajj ayat 36 juga menjelaskan tata cara menyembelih hewan kurban:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ … فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar Allah … maka sebutlah nama Allah ketika menyembelihnya dalam keadaan berdiri.”
Dari sisi hadis, diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW menyembelih hewan kurban sambil membaca takbir dan mendoakan umatnya. Hadis ini menunjukkan bagaimana Nabi meneladankan tata cara berkurban yang sesuai syariat.
Dalam kajiannya, Yayuli mengulas pandangan para ulama mengenai hukum kurban. Mayoritas ulama seperti Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad menyepakati bahwa kurban hukumnya sunah muakkadah, yakni ibadah sunah yang sangat dianjurkan. Artinya, orang yang mampu sangat dianjurkan untuk melaksanakannya, namun tidak berdosa jika tidak menunaikannya.
Baca juga, Ibnu Hasan: Menjadi Umat Terbaik Melalui Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Akidah Lurus
Berbeda dengan itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kurban adalah wajib bagi muslim yang mampu secara finansial. Pandangan ini menunjukkan tingginya kedudukan ibadah kurban dalam syariat Islam dan pentingnya memperhatikan kemampuan finansial dalam menentukan kewajiban tersebut.
Tak hanya membahas kurban, Yayuli juga memberikan panduan amalan-amalan sunah yang dianjurkan menjelang dan saat Iduladha. Di antaranya adalah memperbanyak takbir, tahmid, dan tahlil, sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Fajr ayat 1–4:
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu.”

Ayat ini dipahami oleh banyak ulama sebagai isyarat keutamaan sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Muhammadiyah sendiri memiliki redaksi takbir khusus yang digunakan secara resmi, yaitu:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Selain itu, umat Islam dianjurkan untuk berpuasa sunah di sepuluh hari pertama Zulhijah, khususnya puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa puasa ini dapat menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya. Tidak kalah penting, bagi mereka yang berniat berkurban, terdapat larangan memotong rambut dan kuku sejak tanggal 1 Zulhijah hingga hewan kurban disembelih.
Yayuli juga menyampaikan tuntunan sunah dalam pelaksanaan salat Iduladha. Di antaranya adalah tidak makan terlebih dahulu sebelum salat, mengenakan pakaian terbaik (tidak harus baru), memakai wangi-wangian, berjalan kaki menuju lokasi salat, dan pulang melalui jalan yang berbeda. Hal ini didasarkan pada praktik Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dalam berbagai hadis sahih.
Kebiasaan tersebut bukan sekadar simbolik, melainkan sarat makna spiritual. Perjalanan menuju tempat salat dan pulang lewat jalan yang berbeda mengandung nilai perenungan dan syiar Islam di tengah masyarakat.
Sebagai penutup, Yayuli mengajak seluruh civitas akademika UMS serta umat Islam secara umum untuk memaknai kurban sebagai bentuk ketakwaan, bukan sekadar rutinitas tahunan.
“Marilah kita mentadabburi ibadah kurban bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai bentuk ketakwaan dan kepatuhan kepada Allah SWT,” ujarnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha