BeritaTokoh

Sosok Kartini: Antara Budaya, Agama, dan Kemajuan (Bagian 1)

Sosok Kartini: Antara Budaya, Agama dan Kemajuan (Bagian 1)

Oleh : Prof. Dr. Ahwan Fanani, M.Ag.*

PWMJATENG.COM – Ceramah Ustaz Fakhrurrozi tentang Kartini sedang viral. Setiap tahun ini sosok Kartini menjadi perhatian karena kegiatan Kartinian rutin diselenggarakan di sekolah-sekolah. Memang, Kartinian itu identik dengan pakaian adat dan menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini.” Demikian yang saya ingat saat di sekolah dahulu, dan yang dialami anak saya saat masih SD beberapa tahun lalu.

Padahal Kartini naik daun dan kita kenal bukan karena pakaian adat, tetapi karena sosok perempuan yang punya keberanian untuk memajukan bangsanya, khususnya perempuan, serta mengayuh di antara dua karang: adat istiadat kolot dan pengaruh Eropa yang juga ada kekurangan. Selain itu, agama turut menjadi keprihatinan Kartini karena legitimasinya pada poligami dan pembelajaran agama yang tidak membuka cakrawala.

Bukan kebetulan, yang pertama kali berminat pada Kartini orang-orang Belanda yang saat itu memang punya kesadaran lebih tinggi terhadap emansipasi perempuan. Kartini dipandang sebagai contoh perempuan pribumi yang punya sikap, keinginan dan keberanian. Pikiran-pikiran itulah yang menarik J.H Abendanon, Direktur Agama, Pendidikan, dan Kerajinan tahun 1899 – 1904, untuk mengangkatnya sebagai potret perempuan pribumi yang punya pikiran cemerlang, memperkenalkannya pada audiens Eropa dan mendokumentasikan surat-suratnya.

Kartini, Budaya dan Kemajuan

Pikiran-pikiran pokok Kartini dapat dilihat dalam dua tema penting, yaitu budaya dan kemajuan dan Agama. Keduanya menjadi penting karena terkait dengan nasib perempuan.

Pertama, Kartini lahir dari keluarga priyayi, yang masih teguh dengan adat feodal. Dalam konteks itu, ada beberapa budaya feodal hal yang tidak disukai Kartini.

1. Tradisi memingit anak perempuan dan membatasi pendidikan mereka.

Saat anak perempuan berusia 12 tahun, mereka dipingit sampai mereka menikah. Kartini yang sempat mengenyam pendidikan Belanda di Jawa, merasa kecewa karena sekolahnya terputus akibat tradisi memingit, padahal ia ingin melanjutkan studi seperti kakak lelakinya, ke Eropa.

Karena itu dalam suratnya pada teman korespondennya, seorang aktivis feminis kiri di Belanda, Estella Zehandelar pada 25 Mei 1899, ia berkeluh kesah: “Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian saja sudah dikatakan amat melanggar adat.”

Baca juga, Enam Tingkatan Halalbihalal

Kepahitan itu ditulis lagi oleh Kartini pada Stella pada 12 Januari 1900: “Pergi ke Eropa! Sampai nafasku yang penghabisan akan tetap menjadi cita-citaku.” Sayang, niat Kartini itu tidak tercapai. Ia sempat punya kesempatan studi ke Eropa, tetapi digagalkan oleh sponsornya sendiri, Abendanon, yang diduga khawatir Kartini terikut gerakan kiri di Belanda. Saat kesempatan datang lagi, Kartini sudah tidak bisa dan ia memberikan kesempatan itu pada Haji Agus Salim dari Sumatera.

Di sisi lain, meski menyukai banyak orang Belanda yang berpikiran maju, Kartini tidak menyukai mental sikap mereka yang tidak suka dengan kemajuan pribumi. Karena itu dalam surat pada Estella atau Stella tanggal 12 Januari 1900, ia juga menulis: “Sekarang tahulah aku, mengapa orang Belanda tiada suka, kami orang Jawa maju. Apabila si Jawa telah berpengetahuan, tidaklah ia hendak mengiya dan mengamin saja lagi akan barang sesuatu yang dikatakan dipikulkan kepadanya oleh orang yang di atasnya.”

2. Poligami, yang juga dilakukan ayahnya saat menjabat sebagai Bupati.

Menurut kebiasaan priyayi, jika mereka naik pangkat maka mereka akan menikahi gadis dari kalangan priyayi juga. Masalahnya ibu Kartini bukan dari kalangan priyayi, melainkan dari pengajar agama di kampung, yang bahkan harus memanggil Kartini (anaknya) dengan sebutan “Ndoro”. Hal itu terjadi karena karena trah bapak lebih diakui sehingga anak setara dengan ayah, tetapi tidak dengan ibunya.

Karena itu dalam suratnya pada Stella tanggal 6 November 1899 ia menulis: “….Manakah boleh aku hormati yang sudah kawin dan sudah jadi Bapak, tetapi meskipun begitu, oleh karena telah puas beristrikan Ibu anak-anaknya, membawa perempuan lain pula di dalam rumahnya, perempuan yang dikawininya dengan sah menurut hukum Islam? ……Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa.”

Baca juga, Ilmu dan Akhlak kepada Sesama: Harmoni dalam Kebaikan

Kartini menulis itu sebagai ungkapan kekecewaan, bukan karena tidak menyayangi ayahnya. Ia menyayangi ayahnya yang cukup pengertian kepadanya dan di antara pejabat pribumi termasuk yang berpikiran maju dan sadar pendidikan. Tetapi, ayahnya pun tidak bisa lepas dari budaya negatif poligami, pingit, dan lainnya karena harus mempertimbangkan pendapat umum. Kartini mengeluhkan praktik dan budaya poligami di kalangan priyayi, yang umumnya memiliki selir kedua, ketiga atau keempat. Juga pada nasib perempuan yang dianggap lebih rendah dari laki-laki dan harus menjalani nikah paksa, sebagai istri kesekian.

Tekad Kartini adalah mengubah nasib perempuan, sebagaimana suratnya pada Nyonya Van Kool Agustus 1901: “Sekali lagi, amatlah banyaknya azab dan sengsara yang diderita dalam dunia perempuan Bumiputera. Dan kesedihan yang harus ditanggung itu pada masa saya masih anak-anak sudah saya ketahui. Itulah yang pertama-tama menimbulkan dalam hati saya keinginan akan melawan kebiasaan turut-turutan, yang membuat seolah-olah segala keadaan yang lama itu benar dan adil adanya.”

3. Budaya feodal

Kartini tidak menyukai pingitan dan tidak pula budaya priyayi yang penuh dengan pembatasan pada hubungan. Ia tidak suka harus berbicara dengan formal terhadap saudara-saudaranya sendiri, sebagaimana laiknya keluarga priyayi. Ia lebih suka berbicara bebas, tertawa, dan akrab dengan adik-adik perempuannya. Oleh karena itu itu mengatakan pada Stella tanggal 18 Agustus 1899: “Sesungguhnyalah adat sopan santun kani orang Jawa amat sukar. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku laku, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi……Seram bulu bila kita ada di dalam lingkungan keluarga Bumiputera yang berbangsa.”

Tetapi Kartini sadar bahwa permusuhan terbuka pada masyarakat yang masih menganut budaya feodal yang menempatkan perempuan tidak sederajat akan membuat mereka memusuhinya. Ia mengatakan dalam surat pada Stella tanggal 14 Maret 1902: “Aku sendiri tiada peduli akan permusuhan itu, tetapi hal itu dapat merugikan perkara kami. Bila aku nanti jadi guru, boleh jadi banyak orang tua yang segan mempercayakan anaknya kepadaku, oleh sebab aku hendak mengubah adat yang turun temurun.”

Ia sendiri tidak ingin menjadikan murid-muridnya menjadi setengah Eropa atau Jawa ke-Belanda-Belanda-an. Ya tujuannya mendidik murid agar bebas sehingga menjadi Bumiputera yang yang berjiwa karena cinta dan gembira akan tanah air dan bangsanya. Mengambil sisi baik Eropa, dalam hal kesetaraan, dimaksudkan untuk menumbuhkan kebiasaan yang lebih bagus, sebagaimana ia katakan pada Nyonya Abendanon tanggal 10 Juni 1902: “….Bila barang sesuatu yang bagus daripada bangsa yang satu dicampur dengan barang sesuatu yang bagus daripada bangsa lain, tidakkah akan timbul adat kebiasaan yang lebih baik dan lebih bagus, dari percampuran itu?”

Tentu ia sadar akan sisi lain bangsa Eropa. Ia melihat bahwa ada sisi kurang rela orang Belanda terhadap kemajuan Bumiputera, sebagaimana tampak dalam suratnya pada Stella: “Orang Belanda menertawakan dan mencemoohkan kebodohan kami, tetapi bila kami coba memajukan diri kami, sikapnya itu terhadap kami mengancam.”

*Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah. Cendekiawan muslim.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE