Rozihan: Pemikiran Muhammadiyah tentang Pancasila
Sebelum muktamar di Makassar pada 3-7 Agustus, Muhammadiyah terlebih dahulu menyelenggarakan sidang Tanwir sebagai permusyawaratan tertinggi di bawah muktamar. Produk Tanwir inilah yang menjadi arah dan eksistensi persyarikatan.
Pada 2012 Tanwir di selenggarakan di Bandung dan 2014 di Samarinda dengan materi ”Negara Pancasila sebagai Daarul ‘Ahdi Was Syahaadah” yang artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (daar al ‘ahdi), dan tempat kesaksian (daar al syahaadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (daar as salaam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan rida Allah SWT.
Pemikiran tentang negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif Muhammadiyah.
Pemikiran ini menjadi salah satu materi untuk memperoleh persetujuan dalam muktamar kali ini. Seperti jamak diketahui, pada tahun 80-an Muhammadiyah dihadapkan pada kondisi sosial yang sangat dilematis, khususnya saat pemerintah memutuskan semua partai politik dan ormas wajib berasaskan Pancasila.
Muhammadiyah dengan kemampuan managerial leadership-nya, Buya AR Fakhruddin mampu melewati masa-masa sulit itu dengan baik, tanpa menimbulkan ketersinggungan kolektif baik di antara sesama warga persyarikatan maupun dengan pemerintah sendiri. ”Pancasila itu ibarat helm, agar selamat maka dipakai ketika berkendara,” ujar pak AR ketika menerima sebagai asas ormas. Pak AR memiliki jalan dakwah yang bisa diterima banyak kalangan. Di tangannya, Islam terasa sangat mudah dan toleran.
Islam harus dibawakan dengan senyum. Prinsip ”senyum” inilah yang membentuk ormas Muhammadiyah terasa teduh. ”Memimpin Muhammadiyah dengan senyum”. Kesan itu yang muncul pada diri ulama kharismatik ini. Ia menyadari betul, senyum memiliki nilai ibadah. Bukankah kata Nabi, ”Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah ”.
Komitmen
Rupanya Pak AR dalam managerial kepemimpinannya memadu spiritualitas dan modernitas, seperti dalam Pancasila yang terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan (humanisme religius) artinya, bahwa umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai daar al syahaadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangasaan di segala bidang kehidupan, siap bersaing (fastabiq al khairaat) memajukan kehidupan bangsa yang kreatif dan inovatif.
Jargon Pancasila sebagai daar al ‘ahdi wal syahadah bukan lagi mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara atau mempersandingkannya dengan dokumen Madinah, tetapi bagaimana Muhammadiyah berkomitmen membangun Negara Pancasila dengan pandanagan Islam yang berkemajuan.
Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kedamaian, kemaslahatan, dan keutamaan hidup yang dinamis antidiskriminasi, dan mamayungi kemajemukan. Umat Islam yang hidup di Negara Pancasila itu sebangun dengan komunitas tengahan (moderat) tidak ekstrem. Rekomendasi Alquran dalam Surat Al Baqarah 143 tentang komunitas tengahan atau ummat wasath, umat yang dapat menjadi wasit di tengah kehidupan yang multidimensi.
Umat tengahan itu seperti pemain sepak bola atau posisi kakbah yang dapat dilihat dari segala penjuru. Lima sila yang diikat dalam Pancasila akan menjadi kekuatan laksana lidi yang diikat menjadi sebuah sapu.
– Penulis adalah Drs. H. Rozihan, SH, M. Ag Peserta Muktamar Muhammadiyah Makassar, Wakil Ketua Muhammadiyah Jawa Tengah, dan dosen FAI Unissula Semarang.
– Artikel ini juga dimuat di harian suara merdeka tanggal 6 Agustus 2015. (71/suaramerdeka.com/Fakhrudin)