PWMJATENG.COM – Qurban adalah napak tilas perjalanan Ibrahim As. Dialah datuk dari para Nabi dan Rasul. Sebagai sosok yang di dalam Qurban disebut “sempurna musibahnya”. Sosok yang telah mampu melihat “Yang Allah” di balik segala. Mampu membaca perintah di balik semua ciptaan. Baik di balik benda, kejadian maupun fenomena. Menikahi budaknya yang hitam legam, membuang istri dan jabang bayi yang telah dinanti puluhan tahun hingga “menyembelih” anak tampan nan saleh kandungnya sendiri, kesemuanya adalah kemampuan membaca Amrulloh. Kemampuan dan kemauan membaca amrullah (perintah Allah).
Amr Allah timbul dan berjajar dalam kehidupan manusia. Ia melambai mengajak kepada insan untuk berbuat sesuatu sesuai kehendak-Nya.
Manusia sering terhempas dalam perbuatan yang menurut pikirannya, bahkan kadang sekedar menurut nafsu atau perutnya. Sekelumit potongan artikel ini cukup menarik untuk ditelaah:
Tiga malam berturut-turut Ibrahim bermimpi disuruh “membantai” anaknya sendiri. Inilah masalah manusia. Manusia memiliki tiga kekuatan besar dari Rabb al-’Alamin:
1) Ketajaman akal
2) Kelembutan moral
3) Kekuatan fisik.
Ketiga kekuatan itu tidak sanggup menerima Amr Allah yang berupa “sembelihlah anakmu”. Akal mana yang membenarkan seorang ayah menyembelih anak yang dicintai? Moral mana yang merelakan seorang ayah “membantai” anak yang dicintai? “Salah!”, kata akal. “Itu kekejian yang luar biasa,” kata moral. Begitu pula kekuatan fisik; tangan akan gemetar tak sanggup mengangkat pedang atau mengayunkan kapak bila untuk membunuh anak yang dicintai.
Baca juga, Seminar Pra Muktamar Dapatkan Gagasan Internasionalisasi Pendidikan Muhammadiyah, Berikut Pandangan 3 Tokoh
Tetapi, itulah Amr Allah. Tiga kekuatan manusia hancur menghadapi Amr Allah. Saat itu, bila seseorang berbuat sesuatu (merespon Amr Allah), bukan dia yang berbuat sebab dia hakikatnya telah mati; telah meninggalkan akalnya, moralnya dan fisiknya.
Demikianlah perintah dari Yang Mutlak. Jika Amr Allah hadir pada seseorang, ia disebut “mengalami kiamat” (kiamat sugra). Itulah saat perubahan besar pada diri manusia. Bukan kiamat kubra (hancurnya alam semesta) melainkan kiamat kehidupan seseorang yang berdimensi waktu. Saat matinya kehidupan individu dan lahirnya kehidupan individu baru. Bukan kehidupan fisikal, bukan kehidupan intelektual dan bukan kehidupan moral tetapi kehidupan spiritual; kehidupan Abd Allah, lahir sebagai Ahl Allah (keluarga Allah).
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya goncangan hadirnya sa’at (kiamat sugra, hancurnya individu kecil menjadi individu besar, Abd Alloh) adalah suatu kejadian yang sangat dahsyat.”
“Pada hari itu kalian menyaksikan ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya lupa akan bayinya (kelembutan moral hancur) dan ibu-ibu yang sedang hamil mengalami keguguran (kekuatan fisik sirna) dan kamu akan melihat manusia dalam kondisi mabuk sedangkan mereka tidak sedang mabuk (ketajaman intelektual/akal tidak berjalan), akan tetapi (bila hal itu tidak terjadi, sebab seseorang tidak sanggup merespon Amr Allah) sungguh azab Allah itu sangat pedih.” (QS. Al-Hajj: 1-2)
Demikianlah ibrah dari qurban. Qurban melatih mengeluarkan apa yang kita punya, agar kita makin jeli bagian amal mana yang sandarannya pada fisik, akal atau moral. Bila kita punya tabungan, mungkin fisik akan berkata “Semester depan janji piknik sama anak”, akal berkata “Itu untuk masukin sekolah setahun lagi”, atau moral berkata “Wah qurban tidak manusiawi, berdarah-darah gitu”, tetapi ketika berhadapan dengan Amr Allah semua akan takluk. Maka berbahagialah bila dalam episode hidup ini, kita diizinkan Allah untuk menyelenggarakan AmrNya. Mari ber-qurban.
Narasumber : Ikhwanushoffa (Direktur Lazismu Jawa Tengah)
Wartawan : Moh Ilyas