Pengaruh Radikalisme dan Terorisme di Indonesia
Pengaruh Radikalisme dan Terorisme di Indonesia
Oleh : Fadhilatul Hasna*
PWMJATENG.COM – Salah satu ancaman nyata yang terjadi dan sangat menonjol saat ini adalah terorisme yang telah mengoyak keutuhan bangsa dan negara serta merusak nilai-nilai toleransi yang menjadi ciri khas bangsa. Aksi terorisme terus menunjukkan eksistensinya dalam kurun waktu satu dekade ini. Pembinaan kesadaran bela negara adalah salah satu cara membendung paham-paham radikal ini. Yang berbahaya dari terorisme bukan serangan fisik tetapi serangan psikologis berupa pengaruh ideologi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis. Sementara Sartono Kartodirdjo mengartikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.
Radikalisme sering diasosiasikan dengan pandangan atau tindakan yang identik dengan penggunaan kekerasan, padahal pada dasarnya memiliki makna yang netral. Seperti, untuk mencapai kebenaran dalam studi filsafat haruslah dicari hingga akar-akarnya (radikal), Akan tetapi, ketika istilah ini dilekatkan dengan isu terorisme maka radikalisme bermakna negatif. Kemudian, radikalisme identik dengan kekerasan dan dipersepsikan sebagai anti-sosial. Terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa seseorang akan bersikap radikal atau melawan dan siap berkorban demi mempertahankan dirinya.
Baca juga, Tafsir: Pancasila Adalah Pijakan Kita dalam Berbangsa dan Bernegara
Bila dicermati secara mendalam, radikalisme berpangkal pada ideologi. Stephen Crook kemudian menyatakan bahwa radikalisme ini dapat dijodohkan dengan radikalisme politik, karena titik pangkal konfliknya sendiri adalah ideologi. Dalam beberapa pemahaman radikalisme tidak mewujudkan agenda aksi. Hikam menyebut, gerakan terorisme dapat muncul sebagai akibat dari ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi. Munculnya fenomena terorisme semakin muncul ketika negara sedang mengalami kesulitan ekonomi, atau bahkan wilayahnya sedang mengalami kesejahteraan yang tidak merata. Selain faktor-faktor tersebut di atas, maka ada faktor lain yang penting untuk dicermati sebagai faktor yang penting untuk pencegahan dan penangkalan terhadap berkembangnya radikalisme, yakni faktor kebudayaan.
Terorisme sebagai bagian dari radikalisme adalah serangan fisik yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan nilai-nilai toleransi dan keutuhan bangsa. Terorisme dapat disebabkan oleh faktor yang memicu munculnya radikalisme, seperti misinterpretasi penganut agama terhadap ajaran agama, kesenjangan sosial, dan ideologi agama yang tidak toleran.
Kaum Muda dan Aksi Kekerasan
Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan bersama. Di Jakarta misalnya terdapat 0,5 % dari 7200 siswa yang mengatakan bahwa bom bunuh diri adalah jalan perjuangan. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
Aksi terorisme yang kerap kali terjadi di Indonesia tidak hanya meresahkan masyarakat, namun juga merusak kestabilan dan keamanan suatu negara, yang tentu akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Banyaknya aksi teror yang terjadi di Indonesia tersebut, menandakan Indonesia harus tetap siaga, agar masyarakat tidak mudah terjerumus untuk melakukan aksi tersebut. Upaya pencegahan terorisme sebenarnya sudah sering disampaikan oleh kepolisian dan Densus 88, namun tanpa pembinaan terhadap kaum muda, upaya pencegahan terorisme tentu tidak akan berjalan sempurna, karena target doktrin terorisme kebanyakan adalah kaum muda sebagai pelakunya. Kebanyakan aksi-aksi terorisme adalah dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam, dan motif-motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu.
Doktrin terorisme untuk memprovokasi generasi muda bisa dalam bentuk provokasi agama, misalnya pidato-pidato keagamaan yang memprovokasi terorisme, menggerakkan massa baik sembunyi-sembunyi ataupun secara terbuka untuk melakukan penyerangan, pelatihan perang, menulis buku-buku yang masalah negosiasi yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Salah satu justifikasi adalah bahwa mereka yang terduga melakukan aksi terorisme kebetulan menggunakan simbol-simbol Islam. Mereka juga mengungkapkan bahwa syariah Islam wajib ditegakkan. Kemudian disimpulkan dengan sembarangan bahwa orang yang memperjuangkan syariah berarti berpeluang melakukan terorisme. Oleh karena itu, sering dikatakan sikap radikalisme cenderung dekat terorisme. Bahkan radikalisme dituduh sebagai pemicu terorisme. Istilah yang dipakai adalah kata “cenderung”, yakni sebuah kata yang sangat fleksibel untuk dipermainkan.
*) Kader IMM Salatiga
Editor : M Taufiq Ulinuha