Muhammadiyah Memasuki Abad Informasi
“Dengan memohon rahmat dan taufik Allah, saya resmikan mengudaranya ‘TVMu’, TV Muhammadiyah. Bismillahirrahmanirrohiim…,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, saat meluncurkan stasiun televisi di Jakarta.
Peluncuran itu terbilang bersahaja dengan menyulap ruang auditorium Pusat Dakwah Muhammadiyah, di Menteng, itu sebagai panggung atau studio televisi. Bahkan, perhelatan itu sempat tertunda selama sejam lebih akibat meledaknya travo PLN di kawasan itu. Namun, acara itu sesungguhnya memberikan arti penting bagi Muhammadiyah yang tengah memperingati milad (hari lahir).
“Kami ingin menampilkan fungsi sejati televisi sebagai sarana pendidikan dan mencerdaskan masyarakat. Dengan tagline ‘Cerdas Mencerahkan’, stasiun ini berusaha untuk mencerahkan bangsa agar berkemajuan,” lanjut Din Syamsuddin.
Kehadiran stasiun televisi menandai era baru bagi Muhammadiyah. Didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, 18 November 1912, organisasi itu bercita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan. Itu ditempuh lewat tajdid atau pembaruan dalam berbagai aspek, seperti akidah, ibadah, mu’amalah, dan pemahaman serta praktik ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak awal, Muhammadiyah juga memperjuangkan kesadaran nasionalisme, terutama dengan memberdayakan manusia lewat dakwah Islam, pendidikan, kegiatan sosial, dan ekonomi. Itu salah satu strategi pada masa itu untuk menerobos cengkeraman kolonialisme Belanda. Pada masa kemerdekaan, tokoh-tokoh organisasi ini juga berperan penting, seperti Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang merupakan kader Hizabul Wathan, kepanduan di bawah Muhammadiyah di Cilacap, Jawa Tengah.
Selama seabad lebih lembaga itu kemudian dikenal dengan berbagai amal usaha untuk memberdayakan bangsa dan masyarakat. Di bawah payung organisasi ini, berdiri puluhan ribu sekolah, ratusan perguruan tinggi, ratusan rumah sakit dan klinik, serta banyak lembaga keuangan mikro. Semua itu, yang sebagian belum dapat dipenuhi oleh negara, merupakan sumbangan berharga bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Kehadiran TVMu akan menjadi perpanjangan tangan terbaru dari gerakan Muhammadiyah. Ini hasil perjuangan panjang sejak Muktamar Muhammadiyah 1995 di Banda Aceh mencanangkan gagasan mendirikan stasiun sendiri. Kini, dengan memasuki dunia televisi, organisasi itu dituntut untuk siap menghadapi tantangan berbeda sekaligus berpeluang berkiprah lebih luas lagi.
Media televisi
Televisi kian berperan penting dalam kehidupan kita. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Azimah Subagijo, menyebutkan di antara semua bentuk media penyiaran, televisi memiliki penetrasi paling luas di masyarakat. Sebanyak 94 persen masyarakat menonton tayangan di layar kaca itu, disusul radio (43 persen), internet (26 persen), dan media cetak (15 persen). Dengan sebaran seperti itu, televisi berpengaruh kuat terhadap kehidupan masyarakat.
Kini semakin disadari, tontonan di layar kaca sehari-hari turut membentuk perilaku penonton, terutama generasi muda yang masih dalam proses pencarian jati diri. Tayangan yang berkualitas di televisi potensial menyuntikkan spirit positif bagi publik. Sebaliknya, siaran yang buruk cenderung menebarkan hal-hal negatif.
Sayangnya, sebagian tayangan stasiun televisi kita masih bermasalah. KPI mencatat, selama tahun 2012, ada 114 program yang melanggar prinsip standar siaran yang baik. Itu antara lain mencakup pelanggaran atas perlindungan anak dan remaja, kesopanan dan kesusilaan, seks, atau penggolongan program. “Kami sudah memberikan berbagai bentuk sanksi, tetapi masih belum banyak perubahan,” kata Azimah Subagijo.
Pengamat budaya massa asal Bandung, Idi Subandy Ibrahim, menilai, televisi saat ini terlalu larut dalam arus dominasi pasar dan keharusan mengejar rating. Itu terlihat dari tayangannya yang kian berwatak komersial, dihegemoni gaya hidup selebritis, dan mengumbar berbagai hal yang serba pemukaan. Menjelang Pemilu 2014, kondisi kian mengkhawatirkan dengan adanya elite partai politik pemilik televisi yang rentan memanfaatkan media itu sebagai ajang kampanye.
Dalam kondisi demikian, alih-alih memenuhi fungsi pendidikan dan mencerdaskan masyarakat, tayangan televisi justru rentan menggoda penonton untuk berperilaku materialis, hedonis, melakukan kekerasan dan main hakim sendiri, atau bersikap intoleran. Wajah televisi kini cenderung seragam dengan orientasi pasar dan hiburan.
Kehadiran TVMu diharapkan meretas keseragaman itu sambil menawarkan tayangan yang lebih mencerahkan. Muhammadiyah potensial memenuhi harapan itu karena memiliki sumberdaya manusia yang cukup serta berpengalaman mengelola lembaga pendidikan, sosial, dan keagamaan. Anggota dan jaringan luas organisasi juga bisa menjadi ceruk pasar yang menjanjikan.
“TVMu diharapkan menyuarakan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin (menebar kasih sayang pada sesama). Siarannya hendaknya berwatak inklusif, dan tidak terjebak dalam dakwah agama yang formalistik,” kata Indi Subandy.
Tantangan
Mampukah Muhammadiyah menjawab tantangan dalam industri televisi yang dinamis dan memiliki logika tersendiri? Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, optimistis dengan strategi baru dakwah organisasi itu lewat layar kaca. Media itu bakal dimanfaatkan untuk menampilkan gambaran nyata tentang Islam yang mencerahkan dan Indonesia yang berkemajuan.
“Kami berusaha menyuguhkan tontonan yang memberi energi positif, membangkitkan optimisme, dan kesadaran bahwa kita bisa menjadi bangsa yang berkemajuan, bermatarbat, dan produktif. Ini tanggung jawab moral Muhammadiyah,” katanya.
Direktur Eksekutif TVMu, Edy Kuscahyanto, mengungkapkan untuk sementara stasiun itu dapat ditonton lewat satelit Telkom1 dengan frekuensi 3483 dan internet UseeTV.com. Jika sudah memungkinan, saluran ini bakal dikembangkan menjadi televisi kabel, dan kemudian televisi digital. Tayangan awal berdurasi sekitar 5-6 jam yang terus diulang selama 24 jam.
Acaranya bervariasi, mulai dari berita, dialog, dakwah, sampai pendidikan. Disiapkan pula siaran khusus untuk sekolah Muhammadiyah dengan jam-jam tertentu, seperti pelajaran untuk SD, SMP, SMA, madrasah dan pesantren. Beberapa kuliah subuh tokoh Muhammadiyah yang sudah wafat juga dihadirkan kembali, semisal Buya Hamka atau AR Fakhruddin.
Setelah diresmikan, TVMu telah mengudara dan ditangkap publik. Apakah stasiun ini benar-benar “Cerdas Mencerahkan” atau justru turut terbenam dalam dominasi pasar dan wajah televisi yang serba seragam, waktu yang akan membuktikan.
Penulis: Ilham Khoiri, wartawan Kompas. Tulisan ini juga dimuat di harian Kompas, Kamis, 28 November 2013. (Editor: Fakhrudin)