LIMA KESEMPATAN
Oleh Hayati Nufus
MIM Bloran Kerjo, Karanganyar
Arini mengamati ekspresi bunda ketika mendengarkan teman satu bangsalnya bercerita tentang penyakitnya. “Saya sudah satu tahun ini cuci darah Bu, alhamdulillah saya sehat dan badan saya terasa nyaman-nyaman saja tidak banyak keluhan.” “Biasanya sesudah cuci darah saya merasa lebih segar dan bisa makan apa saja yang saya mau.” Dengan ringannya si ibu penderita gagal ginjal itu bercerita sambil menunjukkan kateter yang terpasang di perutnya untuk memudahkan proses cuci darah (CAPD). Continous Ambulatory Peritoreal Dialysis disingkat CAPD adalah terapi cuci darah lewat perut yang merupakan terapi alternatif bagi pasien pengidap gagal ginjal kronis selain hemodialis dan transplantasi ginjal. Bunda mengernyitkan dahinya antara ngeri, iba dan heran tergambar jelas dalam ekspresi wajahnya.
Setelah si ibu berlalu bunda berbisik pada Arini. “Kok ada ya Rin orang seriang itu menghadapi penyakit yang super berat kaya gitu ?”
Arini tersenyum mencoba memahami keheranan bunda, menatap bunda dengan penuh rasa cinta ia berkata perlahan sambil mengelus tangan bunda.
“Bun, apapun yang tampak luarnya menyakitkan belum tentu seperti itu hakikatnya.” “Menurur Ustadz Arin , seseorang yang sudah sampai pada tingkat keikhlasan dan kepasrahan yang tinggi terhadap ketentuan Allah ia akan mampu menjalani hidup dengan lebih ringan dan bahagia apapun kondisi yang ia hadapi, meskipun orang lain menganggapnya menderita.” Bunda termenung mendengar penjelasan Arini mungkin berusaha menghayati apa yang ia dengar.
Ini hari ketiga Arini menunggui bunda di rumah sakit, jantung bunda bermasalah efek dari penyakit diabet yang dideritanya bertahun- tahun. Awalnya dokter menyarankan untuk mengkonsumsi obat yang diresepkan karena ada penyumbatan kecil di jantung bunda, tetapi karena serangan kerap berulang disertai keluhan bunda tentang rasa sakit dan rasa sesak di dada yang membuatnyaa kesulitan bernafas maka akhirnya dokter memutuskan untuk memasang ring.
Bunda sering mengeluh dan takut menghadapi penyakit yang dideritanya apatah lagi bila harus meminum obat yang cukup banyak jenisnya, rasa bosan dan enggan sering menderanya. Arini sangat mengerti apa yang bunda rasakan ia hanya bisa menghibur bunda dan mengingatkannya kembali tentang teman-teman bunda saat di rawat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.. “Bun di luar sana banyak orang yang jauh lebih menderita dan sakit lebih parah dari bunda tapi mereka menghadapinya dengan sabar, tabah dan tidak mengeluh.” Arini berhenti sejenak melihat reaksi bunda yang tampak serius memperhatikan . “Mereka dapat hidup normal, sehat dan panjang umur, bahkan setelah belasan tahun pun mereka masih sehat dan punya semangat hidup yang tinggi.”
Beberapa hari menunggui bunda di rumah sakit dan berinteraksi dengan banyak pasien menyisakan kesan yang mendalam pada jiwa Arini, ia teringat tentang sebuah pitutu Rosul yang sekian tahun lalu ia pelajari saat di pondok pesantren yaitu tentang perintah untuk memperhatikan lima perkara sebelum datang lima perkara.
Rosulullah berabad-abad silam telah meninggalkan wasiat yang berharga agar manusia tidak terlena dengan kemudaannya, tidak lalai dengan kesehatannya dan tidak takabur dengan kekuatannya. Perhatikan lima perkara sebelum datang lima perkara:
1. Masa mudamu sebelum datang masa tuamu.
2. Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu
3. Masa kayamu sebelum datang masa miskinmu
4. Masa senggangmu sebelum datang masa sempitmu
5. Masa hidupmu sebelum datang kematianmu.
Ternyata semua manusia pada umumnya diberi lima kesempatan yaitu masa muda, masa sehat, masa jaya, masa senggang dan masa hidup. Pada waktunya lima kesempatan itu akan berlalu. Yang muda akan menjadi tua, yang sehat akan menjadi sakit, yang kaya akan menjadi miskin, yang senggang akan menjadi sempit, ujungnya perjalanan hidup manusia akan berakhir di pintu kematian, semua manusia akan melaluinya.
Arin menyaksikan para pasien yang ditemuinya di rumah sakit dengan berbagai macam keluhan penyakit, tergetar hatinya menyaksikan penderitaan mereka. Usia mereka beragam dari yang masih belia sampai sangat udzur. Arin percaya dan meyakini bahwa para pasien itu dahulu mereka muda, sehat, kuat dan berjaya. Mungkin mereka tidak pernah sedikit pun membayangkan akan mengalami penderitaan seperti ini, menjadi sakit dan ringkih.
Arini semakin sadar betapa lemahnya manusia di hadapan ketentuan Allah. Tidak ada yang langgeng di dunia ini, kekuatan fisik dan kemapanan hidup yang begitu dibanggakan manusia ternyata tidak ada artinya dihadapan takdir Sang Maha Kuasa, para pasien itu tergolek lemah di atas pembaringan mengundang iba siapa pun yang memandangnya. Lima kesempatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia itu seperti lintasan cahaya kilat hanya sesaat dan sebentar saja. Menjadi tua adalah keniscayaan, mengalami sakit adalah alami menuju kematian adalah pasti.
Semua kesenangan hidup masa muda pada waktunya akan berlalu, proses itu terjadi seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Sayangnya banyak manusia kadang terlambat menyadari sehingga sulit untuk memperbaikinya.
Proses menua adalah sunatullah tidak ada yang bisa menghentikannya. Sebuah nasihat bijak mengatakan bahwa kita akan memanen apa yang kita tanam di masa muda. Bila saat muda membiasakan diri dengan pola hidup benar dan sehat maka masa tua akan dijalani dengan lebih nyaman walaupun bukan berarti tanpa keluhan. Karena usia tua adalah masa saat banyak fungsi vital tubuh sudah tidak dapat bekerja secara optimal seperti pada usia muda sehingga menimbulkan banyak keluhan. Saat melihat ada pasien yang wafat di salah satu satu kamar rumah sakit ditangisi oleh keluarganya Arin pun berpikir kita semua hanya menunggu giliran.
Ada rasa khawatir dan cemas yang sangat menyelinap di relung hati Arin paling dalam, sebuah pertanyaan terlintas dalam pikirannya, mampukah dia memanfaatkan lima kesempatan dengan amal dan prestasi yang diridhoi Allah sebelum datang lima perkara yang akan mengikis dan memutus semua kenikmatan hidup?
Wallahu a’lam.
Kerjo, 25 Januari 2019