Kiai Dahlan Main TikTok
Kiai Dahlan Main TikTok
Oleh : Gus Zuhron Arrofi*
PWMJATENG.COM – Ada sekitar 40 mahasiswa yang saya minta untuk melakukan survey pada tempat-tempat pengajian yang diselenggarakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Sebanyak 30 tempat berhasil disurvei. Masjid, sekolah, gedung pertemuan dan pesantren adalah tempat-tempat favorit bagi warga Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pengajian. Jumlah jama’ah pun beragam, berkisar mulai dari sekitar 30 jama’ah sampai dengan 500 jama’ah.
Dari survei itu ditemukan tiga kesimpulan.
Pertama, materi yang disampaikan para da’i Muhammadiyah tidak relate dengan kebutuhan anak-anak muda. Generasi milenial dan gen-z merasa tidak cocok dengan muatan materi yang disampaikan sehingga mereka tidak cukup tertarik untuk datang di tempat tersebut. Dalam waktu yang bersamaan sulit menjumpai tempat-tempat pengajian yang mengakomodasi selera anak-anak muda. Pengajian Muhammadiyah didominasi oleh kaum kolonial yang merupakan representasi masa lalu.
Kedua, pengajian Muhammadiyah dinilai kaku, terlalu serius, sepi dari humor dan kesannya materinya itu-itu saja. Minim sekali kelompok garis lucu dan garis luwes di Muhammadiyah. Situasi itu barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa orang-orang Muhammadiyah itu militan dan serius dalam beragama. Mungkin juga karena berpegang pada hadis nabi yang mengatakan “terlalu banyak tertawa bisa mematikan hati”. Tapi perlu diingat jika tidak ada tawa maka bisa ditinggalkan jama’ah.
Ketiga, kurang memanfaatkan media untuk konten pengajian. Padahal alam pikiran anak-anak hari ini sudah jelas berbeda dari kaum tempo dulu. Pemanfaatan audio visual dan media lain menjadi sangat penting. Sepertinya kesadaran akan hal itu belum cukup nyata di kalangan warga Muhammadiyah. Model pengajian masih didominasi oleh monolog. Kemasan yang satu ini biasanya menjadi menu istimewa dalam setiap pengajian. Jama’ah dibiarkan setia menjadi pendengar, duduk sambil lier-lier ngantuk, dan tiba-tiba pengajian telah usai.
Kalau kita kembali kepada sejarah, bukankah pendiri Muhammadiyah telah mencontohkan sesuatu yang sangat moderen, berbeda dan memukau pada saat itu. Dahlan menawarkan pikiran, kemasan dan tampilan yang melampaui zamannya. Meskipun harus menanggung risiko dengan sebutan Kiai kafir, disesatkan dan dirobohkan Langgarnya. Dalam film Sang Pencerah Kiai Dahlan diilustrasikan mengajarkan agama dengan media bermain Biola. Ini jelas menunjukkan bahwa suami Siti Walidah paham betul makna perkembangan zaman.
Mestinya langkah berani itu perlu kembali diulang oleh generasi sekarang agar dakwah Muhammadiyah lebih fleksibel dan dapat diterima oleh semua pihak. Rasanya menarik kalau sebelum tablig akbar ada pertunjukan Barongsai, parade milad Muhammadiyah pakai pakaian adat, pengajian ranting di cafe, bakti sosial PCM pakai baju Sinterklas, dan subuh bergembira diakhiri dengan futsal.
Jika Kiyai Dahlan hidup di zaman sekarang, mungkin beliau akan sedikit protes dengan gaya kakunya kita dalam berdakwah. Beliau pasti menganjurkan para juru dakwah untuk punya channel youtube, aktif di IG, Facabook, Twiter dan platform media sosial lainnya. Semua media itu diarahkan untuk satu tujuan yakni menyebarkan Islam sesuai paham Muhammadiyah dengan sedikit sentuhan humor. Sambil terus melayangkan protes diam-diam Kiai Dahlan sedang belajar untuk membuat akun tik-tok dan berlatih untuk mengatakan “jangan lupa like and suscribe”…he..he… ojo nesu lho…
*Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha