Oleh : Bayu Dwi Cahyono, M.Pd.
PWMJATENG.COM – Kewarganegaraan dan hak asasi manusia telah menjadi pokok pembicaraan global yang mempengaruhi lanskap sosial-politik masyarakat kontemporer. Dalam konteks pendidikan Islam, integrasi prinsip kewarganegaraan dan hak asasi manusia menghadirkan tantangan dan peluang. Pentingnya kewarganegaraan yang bertanggung jawab, adil, dan etis telah ditekankan dalam Al-Qur’an. Konsep kewarganegaraan dalam Al-Qur’an mencakup loyalitas terhadap negara, keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, dan keragaman.
Hak asasi manusia dalam hukum Islam tidak hanya mengakui hak-hak manusia (huququl ‘ibad) tetapi juga didasarkan pada kewajiban dasar manusia untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Kuasa (huququllah). Hukum Islam menetapkan prinsip-prinsip utama dalam perlindungan hak asasi manusia yang signifikan dengan tujuan hukum Islam yaitu prinsip perlindungan agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-‘aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifdz al-mal).
Interseksionalitas kewarganegaraan dan hak asasi manusia dalam pendidikan Islam menekankan kompleksitas dan keragaman pengalaman individu. Penting bagi pendidikan Islam untuk mengadopsi pendekatan inklusif dan memperhitungkan lapisan-lapisan identitas yang saling terkait dalam upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang adil, merata, dan menghormati hak asasi manusia untuk semua. Ini merupakan prasyarat untuk mewujudkan visi pendidikan Islam sesuai dengan nilai-nilai universal manusia.
Baca juga, Boleh Bukber Asal Salat Maghrib Nggak Terlewat
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghormati perbedaan, sehingga perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Toleransi saling menghormati ini akan menjadikan keberagaman dinamis, kekayaan budaya menjadi identitas sebuah bangsa yang patut dipertahankan. Terdapat tiga tantangan utama yang dihadapi pendidikan Islam saat ini, yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, demokratisasi, dan dekadensi moral. Di inti lembaga-lembaga pendidikan Islam harus melakukan reformasi kurikulum untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif dalam menghadapi persaingan global.
Dialog antar agama bukan hanya peristiwa sekali-sekali atau diskusi formal. Ini adalah proses membangun hubungan berdasarkan saling menghormati, memahami, dan berempati. Untuk melakukannya, Anda perlu mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian terhadap cerita, pandangan, dan pengalaman orang-orang dari agama lain. Dari model yang dikembangkan oleh Jackson et al. (1989), kita dapat menyimpulkan bahwa langkah-langkah yang dapat diambil dalam memberdayakan komunitas terpinggirkan melalui kerja komunitas adalah; penanganan kasus pembangunan, dukungan bersama, identifikasi dan kampanye isu, partisipasi komunitas, dan gerakan sosial.
Fusi teknologi dan pendidikan bukan sekadar tren; itu adalah pergeseran mendasar dalam cara pengetahuan disampaikan dan diperoleh. Melalui implementasi strategis dan pendekatan holistik, teknologi menjadi pijakan dalam membentuk masa depan di mana pendidikan bersifat dinamis, inklusif, dan dapat diakses oleh semua. Integrasi prinsip kewarganegaraan dan hak asasi manusia ke dalam pendidikan Islam menekankan potensi transformatif sistem pendidikan dalam mempromosikan masyarakat inklusif. Dengan menavigasi dimensi-dimensi teoritis, sejarah, dan praktis, para pemangku kepentingan dapat bekerja secara kolaboratif untuk membentuk warga yang didasarkan pada kesadaran hak dan tanggung jawab etis dalam etos Islam.
*Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Editor : M Taufiq Ulinuha