IPM di Tengah Dinamika Pelajar Indonesia
Di paruh kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kebijakan yang berdampak pada pelajar agaknya masih kurang tingkat ketercapaiannya. Perwujudan “mencerdaskan kehidupan bangsa” belum bisa direalisasikan dengan maksimal. Ditambah kondisi sosial sebagian pelajar di Indonesia yang bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Lantas, bagaimana Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang notabenenya organisasi pelajar harus bersikap?
Kebijakan Pemerintah atas Pendidikan Nasional
Sebagaimana kita ketahui, pendidikan merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi pemerintah selaku pengambil kebijakan terhadap rakyatnya. Tertuang dalam pasal 31 UUD 1945 bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara, dan pemerintah memiliki kewajiban untuk membiayainya. Pun dalam pasal 28 UUD 1945, pendidikan termasuk salah satu hak yang harus diperoleh masyarakat. Namun, apakah selama ini masyarakat telah terpenuhi kebutuhan akan pendidikannya?
Sensus nasional yang dilakukan oleh Badan Statistik Nasional pada tahun 2020 melaporkan masih terdapat 3,56 % warga Indonesia yang tidak pernah sekolah, disusul 11,27 % tidak tamat sekolah. Jika kita lihat dari kacamata makro kependidikan, angka-angka di atas memang sangat kecil, namun ketika berbicara terkait pendidikan sebagai hak, maka sudah seharusnya dua persentasi di atas mampu berada di angka 0 %.
Dilansir dari laman www.kemendikbud.go.id, 20 % dari APBN Tahun 2021 yakni sebesar 500 triliun rupiah dialokasikan untuk dana pendidikan. Angka yang fantastis ketika berbicara tentang anggaran pada tiap-tiap sektor yang pemerintah sasar. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana upaya pemerintah dalam merealisasikan alokasi dana yang besar tersebut. Pada tahun 2020 saja, pemerintah hanya bisa merealisasikan 91,61 % dari alokasi APBN, mengapa hal ini bisa terjadi? Ini yang perlu menjadi catatan besar bagi kita semua.
Perlu kita ketahui, beberapa program yang pemerintah canangkan melalui Kemendikbudristek, di antaranya: Program Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Kuliah, Tunjangan Guru Non-PNS, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri, Bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum dan Pengembangan Destinasi Pariwisata.
Degradasi Moral Pelajar
Satu dekade terakhir, Indonesia dihadapkan dengan persoalan kenakalan pelajar yang seakan tak kunjung usai. Persoalan mengenai tawuran, kekerasan seksual, diskriminasi guru, ketidak hadiran siswa di ruang kelas (fenomena mbolos), penyalahgunaan narkoba, perundungan (bullying) dsb mewarnai dinamika pendidikan di Indonesia. Kemudian, mengapa probematika tersebut muncul di negara yang notabenenya memiliki budaya ketimuran?
Beberapa persoalan yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai “kenakalan” pelajar disebabkan oleh dua faktor, internal dan eksternal pelajar itu sendiri. Pada faktor internal, terdapat dua penyebab utama, yakni: krisis identitas dan kontrol diri. Sedangkan pada faktor eksternal, terdapat: situasi keluarga, kondisi teman sebaya dan atmosfer sosial lingkungan sekitar.
Dilansir dari www.bnn.go.id pada tahun 2018 saja, 2,29 juta orang pelajar menjadi korban dari penyalahgunaan narkoba. Angka yang sangat bombastis bukan?
Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar berupa tindakan kriminal boleh jadi membuat kita berpikir ulang mengenai integrasi dalam masyarakat. Kenakalan pelajar berupa tindak kriminal bisa memberikan pengaruh yang besar dalam masyarakat, meskipun pengaruh mereka tidaklah diinginkan (unintended). Karena dengan maraknya pemberitaan kriminalitas di kalangan remaja mendorong kita bertanya penyebab terjadinya tindakan tersebut.
Keluarga memegang peranan yang penting, dan hal ini diakui oleh banyak pihak. Keluarga merupakan elemen penting dalam melakukan sosialisasi nilai, norma, dan tujuan-tujuan yang disepakati dalam masyarakat, dan tingginya angka kriminalitas pelajar sebagai konsekuensi dari tidak berjalannya aturan dan norma yang berlaku di masyarakat dianggap sebagai kesalahan keluarga. Jika melihat dari sisi teoritis, tentu saja bukan hanya keluarga yang dipersalahkan, masyarakat pun dapat dipersalahkan dengan tidak ditegakkan aturan secara ketat atau membantu sosialisasi norma dan tujuan dalam masyarakat.
Sarwono (1998), mengatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan primer pada setiap individu. Sebelum anak mengenal lingkungan yang luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. karena itu sebelum anak-anak mengenal norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, pertama kali anak akan menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya. Orang tua berperan penting dalam emosi pelajar, baik yang memberi efek positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua masih merupakan lingkungan yang sangat penting bagi pelajar.
Adapun Rauf (2002) mengungkapkan bahwa kenakalan pelajar atau bahkan kriminalitas pelajar dapat dipengaruhi oleh tiga kutub, diantaranya: kutub keluarga, kutub sekolah dan kutub masyarakat.
Peran Sentral IPM Sebagai Organisasi Pelajar
Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak pada ranah pelajar memiliki potensi dan peluang untuk ikut memperbaiki kondisi pelajar di Indonesia, baik dari segi regulasi maupun budaya pelajar. Selain itu, IPM juga memiliki peran dalam tindakan preventif maupun kuratif.
Dalam ranah kebijakan, IPM sebagai bagian dari civil society dapat memberikan usulan, pandangan dan kritik kepada pemerintah pada masing-masing tataran kepemimpinan. IPM dapat melakukan riset, kemudian hasil riset tersebut menjadi rekomendasi kepada pemerintah. Usulan-usulan yang akan diberikan dapat diarahkan seputar: optimalisasi anggaran pendidikan, khususnya bagi masyarakat di daerah terpencil; peningkatan sarana dan prasarana sekolah; insentif guru non PNS; dsb.
Pada ranah pembentukan budaya, dengan skema kaderisasi dan dakwah kultural, IPM sebenarnya memiliki potensi untuk membiasakan budaya-budaya kariimah. Tinggal bagaimana pimpinan pada tiap pimpinan mampu memaksimalkan kedua media tersebut.
Selain dua cara di atas, pada tahap kuratif, IPM juga memiliki kemampuan advokasi yang dapat digunakan ketika menghadapi kasus-kasus yang bersinggungan dengan kriminalitas. Namun, fungsi advokasi ini beberapa periode muktamar terakhir belum mampu dimaksimalkan oleh pimpinan pada masing-masing kepemimpinan. Bisa jadi karena bidangnya masih baru, dan pada akhirnya berimbas pada pemahaman para pimpinan akan bidang advokasi.