Berita

Gerakan Dakwah Kolaboratif Angkatan Muda Muhammadiyah

Oleh: Alfian Damastyo Putra S.IP Kepala KL Lazismu Muntilan, Kab. Magelang

Semangat ijtihad acap kali kita dengar dan gaungkan dalam keseharian kita sebagai warga Muhammadiyah. Tentu saja semangat pembaruan ikut andil dalam membangun pondasi kuat Muhammadiyah tidak terbatas dalam kajian komprehensif keagamaan namun juga gerak sosialnya.

Kiprah salah satu organisasi Islam terbesar di dunia yang telah melesat lebih dari satu abad ini tentu saja menjadi pelopor dalam menghadapi perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terus menuntut kepekaan setiap gerak persyarikatan.

Muhammadiyah lagi-lagi ditantang untuk menyiapkan jawaban atas persoalan demi persoalan umat terlebih lagi permasalahan sosial secara umum.

Sejak awal kiprahnya, Muhammadiyah telah melangsungkan amalan yang berdimensi sosial dan berdampak nyata bagi masyarakat sekitarnya. Pemikiran tentang bagaimana gerakan islam menjadi gerakan pembebasan bagi masyarakat dengan kondisi yang sedang terpuruk tentu menjadi cikal tindakan serta aksi di masa itu. Tidak terkecuali gerakan yang dilakukan memiliki niat kuat untuk membebaskan umat dari cengkeraman kebodohan, kemiskinan dan kesenjangan yang terjadi sejak akhir abad 18.

Muhammadiyah di era tersebut berani mengambil langkah yang terbilang radikal bagi kebanyakan orang dalam mengadopsi sistem dan cara baru demi menyelamatkan umat dan memastikan dakwah islam terus mengalir.

Baca juga: UMKU Gelar Sumpah Profesi Apoteker Angkatan Ke-3, Rektor Pesankan Kembangkan Keilmuan

Sebagaimana perjuangan gerakan sosial tersebut kemudian dilanjutkan oleh Kyai Sudja’ yang menggagas pendirian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), Rumah Miskin dan Rumah Yatim. Istilah-istilah tersebut tidak asing lagi bagi kita saat ini, namun pada awal abad 19 tentu merupakan sebuah gebrakan dengan visi melintas zaman.

Muhammadiyah tidak hanya mampu mematahkan stigma elitis, namun juga menegaskan sikap keberpihakan kepada kaum mustadh’afin. Pemikiran dan gagasan tentang gerakan sosial telah berkembang pesat jauh setelah dikukuhkannya Kyai Sudja’ sebagai ketua pertama PKO pada 1920. Tidak lain gagasan itu berkembang menjadi majelis dan lembaga yang geraknya didukung penuh oleh persyarikatan. Sebutlah Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Majelis Pembinaan Kesehatan Umum (MPKU), Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS), Majelis Hukum dan HAM dan Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu).

Sudah barang tentu tantangan permasalahan sosial yang dihadapi akan lebih kompleks ke depan, sehingga dibutuhkan aktor-aktor baru dalam gerakan sosial yang lebih memahami konteks permasalahan akar rumput dan perubahan sosial yang cepat dewasa ini. Angkatan muda Muhammadiyah dalam hal ini dilirik sebagai agen yang diharapkan membawa angin segar dalam langkah strategis persyarikatan menghadapi dinamika dan persoalan sosial.

Tidak bisa dipungkiri generasi milenial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (1997-2012) merupakan generasi muda yang dalam pendewasaannya mengalami perubahan sosial politik di Indonesia pasca reformasi yang lebih dinamis serta perubahan sosial dikarenakan sebab ekonomi, budaya, urbanisasi dan teknologi yang tentu saja sangat cepat dirasakan dua dekade terakhir. Sehingga tepat jika angkatan muda kemudian mampu memiliki kepekaan dan pandangan yang lebih luas perihal kondisi sosial masyarakat saat ini dan tantangannya ke depan. Angkatan muda digadang-gadang mampu melanjutkan estafet dakwah dan misi sosial Muhammadiyah yang saat ini mayoritas dipegang oleh generasi X (kelahiran 1965-1980).

Salah satu ijtihad yang dilakukan dalam rangka menjawab tantangan zaman dimulai dari kiprah angkatan muda progresif yang kemudian dikonversi menjadi lokomotif persyarikatan. Angkatan muda diharapkan dapat memodernisasi rumusan Muhammadiyah untuk mengurai problematika keumatan. Tentu tujuan ini membutuhkan kolaborasi aktif dari pimpinan persyarikatan untuk secara kontinu merangkul, menyerap gagasan dan melibatkan angkatan muda dalam aktivitas sosial seperti kerelawanan, filantropi, pemberdayaan dan turba sehingga ada hubungan yang terjalin apik diantara keduanya.

Dakwah kolaboratif ini pula yang saat ini sedang gencar dilakukan, selain memudahkan kaderisasi di berbagai tingkatan juga secara spesifik memetakan potensi yang dimiliki kader. Seperti Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) yang telah melakukan kolaborasi dengan mahasiswa dari pelbagai Universitas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam rangka misi kemanusiaan, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah yang menggandeng tim Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah dalam rangka pengabdian dan pemberdayaan masyarakat 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) serta Relawan Lazismu yang juga diikuti oleh angkatan muda dari Ortom Muhammadiyah di seluruh tingkatan untuk kegiatan sosial-kemanusiaan.

Potensi dari gerakan dakwah yang dikolaborasikan dengan angkatan muda tentu akan berdampak signifikan dalam kerja-kerja kemanusiaan. Harapannya tentu bukan hanya sekedar gerakan sosial yang bersifat karitatif namun jauh daripada itu, yaitu bagaimana gerakan sosial muhammadiyah benar-benar mampu memberdayakan. Angkatan muda dianggap memiliki daya jangkau yang lebih luas terhadap informasi yang beredar, kemampuan analisa yang lebih kritis terhadap isu sosial kontemporer dan mampu menginisiasi gerakan yang lebih tepat sasaran di masa sekarang. Kemudian bagaimana pegiat sosial dari pimpinan persyarikatan melakukan pengarahan dan memberikan gambaran yang sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, sehingga kontribusi Muhammadiyah dalam gerakan akar rumput menjadi lebih masif, terukur dan berdampak bukan hanya sesaat namun berkesinambungan.

Ujung tombak baru gerakan sosial ini tentu tidak tajam dan runcing dengan sendirinya, Angkatan Muda Muhammadiyah haruslah terus mengasah kepekaan atas permasalahan keumatan yang terjadi dewasa ini, sehingga keberpihakan terhadap keadilan, hak atas kehidupan dan perlawanan atas kesewenang-wenangan tetap terpatri dalam diri. Gagasan dan gerakan dikembangkan tidak sebatas memberi, tapi juga melindungi, mendayaguna dan mengakselerasi kemajuan sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap komunitas masyarakatnya.

Tepat di tengah-tengah budaya barat yang semakin destruktif, pergeseran norma sosial, sikap pragmatisme dan hedonisme justru membuat pemuda semakin jauh dari realita sosial dan kondisi kaum mustadh’afin. Sehingga siapapun yang masih berjuang atas nama kemanusiaan dan keadilan sosial di tengah-tengah kondisi bangsa yang sedang tidak baik-baik saja ini tentulah menjadi bagian dari perjuangan fii sabilillah, selama itu pula perjuangan tidak akan pernah usai.

Sebagaimana mengutip motto Dr. Said Tuhuleley, “SELAMA RAKYAT MENDERITA, TIDAK ADA KATA ISTIRAHAT”.

Yogyakarta, 16 September 2023

Editor : M Taufiq Ulinuha

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE