Bagaimana Hukum Salat Qabliyah Jumat?
Oleh : Dr. H. Ali Trigiyatno, M.Ag.*
Pendahuluan
Di tengah masyarakat kita mengenal dua praktek adzan salat Jumat, ada yang adzan dua kali dan ada yang sekali. Bagi yang adzan dua kali, selesai adzan pertama biasanya disambung degan salat sunat yang mereka sebut dengan salat qabliyah Jumat.
Kedudukan salat qabliyah ini menjadi kajian dan perbincangan tersendiri dalam fikih. Ada yang menganggap ini sunnah, dan ada yang menganggap ini bukan sunnah. Salat sunnah yang dilakukan sebelum salat Jumat hanya diakui sebagai salat sunnat mutlak menurut yang tidak mengakui adanya salat qabliyah Jumat.
Perlu disadari bersama, bahwa ulama tidak ada perbedaan pendapat bahwa sebelum Jumat ada dan disyariatkan salat sunat mutlak berapa yang ia mau kerjakan bebas saja jumlahnya. Hal ini ditunjuki oleh hadis di bawah ini.
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى. (صحيح البخاري (2/ 4)
Dari Salman al-Farisi ia berkata. Rasulullah SAW bersabda : ”Tidaklah seorang hamba mandi pada hari Jum’at dan bersuci dengan sebaik-baik bersuci, lalu ia meminyaki rambutnya atau berparfum dengan minyak wangi, kemudian ia keluar (menunaikan sholat Jum’at) dan tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk), kemudian ia melakukan sholat apa yang diwajibkan atasnya dan ia diam ketika Imam berkhutbah, melainkan segala dosanya akan diampuni antara hari Jum’at ini dengan Jum’at lainnya.” (HR Bukhari).
Hadis semakna juga dikemukakan di bawah ini.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى.
“Dari Abu Ayyub al-Anshari [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dan memakai wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaian yang terbaik, kemudian ia keluar sehingga ia sampai di masjid kemudian ia shalat semampunya dan tidak mengganggu siapapun, kemudian berdiam diri sambil memperhatikan kepada khutbah Imam sejak ia datang sampai ia berdiri shalat, maka perbuatan tersebut menjadi pembebas dosa antara Jum’at hari itu dan Jum’at yang lain.” [HR. Ahmad]
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الجُمُعَةَ فَصَلّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّى مَعهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الجُمْعَةِ الاُخْرَى وَ فَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa yang mandi dan mendatangi shalat Jum’at kemudian ia shalat sunnah semampunya kemudian ia diam mendengarkan khutbah imam sampai selesai, lalu ia mengerjakan shalat Jum’at bersamanya, maka dosa-dosanya yang terdapat di antara Jum’at itu dan Jum’at yang berikutnya dan ditambah tiga hari pasti diampuni.” [HR. Muslim]
Adapun salat sunnat bakdiyah Jumat, maka dalam hal ini jelas disyariatkan yang mana jumlah raka’atnya bisa dua atau empat. Dianjurkan 4 raka’aat jika dikerjakan di masjid, dan dua raka’aat jika dilakukan di rumah.
Khilafiyah Ulama Menyikapi Salat Qabliyah Jumat
Dr Saud bin Ibrahim bin Muhammad asy-Syuraim menjelaskan dalam kitab asy-Syamil fi Fiqh al-Khathib wa al-Khutbah halaman 96 dan seterusnya, ada dua pendapat ulama dalam hal salat qabliyah Jumat.
Pendapat pertama mengatakan, tidak disyariatkan salat sunnah rawatib qabliyah Jumat. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki, pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali dan salah satu wajah sahabat Imam asy-Syafi’i. Muhammadiyah termasuk yang berpendapat seperti ini.
Pendapat kedua, ada disunnahkan salat sunnah rawatib qabliyah Jumat, ini dianut kalangan mazhab Hanafi. Di antara kalangan ini ada yang mengatakan salat qabliyah Jumat dua rakaat seperti dikemukakan oleh sebagian sahabat asy-Syafi’i dan Ahmad. Sebagian lagi menuntunkan empat rekaat seperti diutarakan oleh sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Ahmad.
Kalangan yang berpendapat ada salat sunnah qabliyah Jumat di antaranya berhujjah dengan hadis Rasulullah Saw.:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ لاَ. قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA berkata: Sulayk al-Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Lalu Nabi bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi bersabda: Shalatlah dua rakaat dan ringankan saja (jangan membaca surat yang panjang). (Sunan Ibn Majah: 1104).
Hadis tersebut dihukumi sahih oleh al-Albani hanya saja pada kata qabla an-taji`a dihukumi syadz (ganjil). Sedang menurut penjelasan al-Mizzi dan Ibnu Taimiyah, riwayat yang asli itu berbunyi qabla an-tajlisa bukan qabla an-taji`a. Hal ini bisa terjadi karena dalam sunan Ibnu Majah banyak terjadi tashif (perubahan) akibat dari sebagian penukil yang tidak mutqin (cermat). ( lihat al-‘Urf asy-Syadzi li al-Kasymiri : II : 60)
Hadis tersebut dipahami oleh pendukung salat qabliyah Jumat sebagai dalil salat qabliyah Jumat. Namun oleh kalangan penolaknya dipahami sebagai dalil salat tahiyyatul masjid.
Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,
وكان إذا فرغ بلال من الأذان، أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة، ولم يكن الأذان إلا واحدا، وهذا يدل على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها، وهذا أصح قولي العلماء، وعليه تدل السنة، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في أذان الجمعة، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل، وهذا كان رأي عين فمتى كانوا يصلون السنة؟!
“Jika Bilal selesai adzan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbah (Jumat). Tidak ada satu pun yang berdiri mendirikan salat dua rakaat sama sekali. Dan tidak pula adzan dikumandangkan kecuali satu kali (adzan) saja. Hal ini menunjukkan bahwa shalat Jumat itu seperti shalat ‘Id yang tidak didahului dengan salat sunah qabliyah. Inilah pendapat yang paling tepat dari dua pendapat ulama dan juga pendapat yang didukung oleh sunah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, dan ketika beliau naik mimbar, Bilal langsung mengumandangkan adzan Jum’at. Jika adzan selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sllam memulai khutbah tanpa ada jeda. Ini perkara yang jelas terlihat dengan mata kepala langsung. Jadi, kapan mereka salat sunah (qabliyah Jumat)?” (Zaadul Ma’aad, 1: 417)
Kemudian beliau rahimahullahu Ta’ala juga berkata,
ومن ظن أنهم كانوا إذا فرغ بلال رضي الله عنه من الأذان قاموا كلهم فركعوا ركعتين فهو أجهل الناس بالسنة، وهذا الذي ذكرناه من أنه لا سنة قبلها هو مذهب مالك وأحمد في المشهور عنه، وأحد الوجهين لأصحاب الشافعي
“Siapa saja yang menyangka bahwa apabila Bilal radhiyallahu ‘anhu selesai beradzan maka mereka semua berdiri dan mendirikan salat dua raka’at, maka itulah orang yang paling jahil terhadap sunah. Pendapat yang telah kami sebutkan bahwa tidak ada salat qabliyah sebelum salat Jumat adalah pendapat Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, dan juga salah satu dari dua pendapat ulama madzhab Syafi’i.” (Zaadul Ma’aad, 1: 417)
Pendukung pendapat adanya salat qabliyah Jumat juga menggunakan dalil qiyas dalam persoalan ini. Namun menggunakan qiyas dalam urusan ibadah mahdhah tentunya banyak ulama yang keberatan. Karena pada dasarnya ibadah ditentukan dengan nash atau contoh dari Nabi dan dalam hal ini tidak ada riwayat yang sahih dan meyakinkan adanya salat qabliyah Jumat selain dari salat sunat mutlak tersebut.
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ibnu Hajar Al Asqallani rahimahullah berkata,
وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء
“Adapun shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2: 426)
*Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
Editor : M Taufiq Ulinuha